Seri 3: Kondisi Pemungkin Transisi Energi

Transisi energi merupakan suatu proses yang dinamis dan bersifat jangka panjang. Keterbatasan sumber daya energi fosil serta persoalan lingkungan yang semakin mendesak merupakan pendorong negara-negara di dunia melakukan transisi dalam pengelolaan energinya.

IRENA menyebutkan, secara global sedikitnya ada 4 (empat) kondisi pemungkin untuk mewujudkan transformasi sistem energi dari yang berbasis bahan bakar fosil menjadi energi terbarukan yang rendah karbon pada paruh kedua abad ini, yaitu (1) teknologi informatika (information technology); (2) teknologi cerdas (smart technology); (3) tatanan kerangka kebijakan yang komprehensif (comprehensive policy framework); (4) instrument pasar (market instrument).[1]

Bagaimana Transisi Energi yang Berkelanjutan dapat berjalan di Indonesia? Proses transisi membutuhkan inovasi baik dari sisi teknologi, kebijakan, pendanaan, maupun model bisnis serta kondisi sosial poitik yang mendukung agar dapat menjawab tantangan ketersediaan sumber daya energi yang terbatas sementara kebutuhan energi terus meningkat dan persoalan lingkungan semakin mengkhawatirkan.

Kompleksitas dalam mendorong transisi energi yang berkelanjutan selalu berkembang dan bila tidak segera dilakukan maka tidak dapat diselesaikan hanya dengan pendekatan sektor energi saja namun perlu diciptakan kondisi pemungkin dengan pendekatan multidisiplin dan lintas sektoral sebagai landasan untuk mempercepat proses transisi tersebut.

[1] World Energy Transition Outlook: 1,5°C Pathway, International Renewable Energy Agency (IRENA) 2021, Abu Dhabi. http://www.irena.org/publications

Keberhasilan proses transisi energi sangat dipengaruhi oleh kondisi politik baik di tingkat global, regional maupun di dalam negeri. Kepemimpinan politik di suatu negara memegang peran penting dalam menentukan arah dan strategi transisi energi

Kita tidak dapat menutup mata bahwa konfigurasi politik di pemerintahan maupun Parlemen dipengaruhi juga oleh latar belakang anggota partai politik. Ketika banyak pemangku jabatan di Pemerintahan maupun Parlemen yang berasal dari pelaku industri misalnya energi fosil seperti batubara dan migas, maka akan mempengaruhi pengambilan keputusan yang berpihak atau mengakomodir industri tersebut

Keputusan dan keberpihakan secara politik pemerintah seringkali tidak terlepas dari tujuan ataupun kepentingan partai politik pendukungnya. Sehingga penting kemudian untuk melihat kembali:

  • Apakah pemimpin partai politik yang ada saat ini memahami dengan jelas mengenai Transisi Energi yang Berkelanjutan atau hal-hal yang mendasari mengapa penting untuk melakukan Transisi Energi?
  • Apakah partai politik memiliki visi dan misi yang telah mengintegrasikan isu perubahan iklim dan lingkungan sebagai tantangan pembangunan yang serius yang dapat mengancam kehidupan saat ini dan masa depan?
  • Apakah konstituen partai politik ini memahami isu perubahan iklim dan lingkungan sebagai agenda yang perlu didorong Bersama?

KEPEMIMPINAN POLITIK

Keputusan politik China yang disampaikan pada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) /UN General Assembly untuk menghentikan pendanaan dan proyek-proyek pembangkit listrik berbahan bakar batubara[1] atau biasa disebut Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) diluar negeri merupakan satu kepemimpinan politik China yang memberikan sinyal kepada dunia bahwa era batubara akan segera berakhir. Mengapa demikian? Karena China merupakan investor publik terbesar untuk pembangunan PLTU di seluruh dunia. Bank Ekspor -Impor China (CHEXIM) dan Bank Pembangunan China (CBD) telah menginvestasikan USD 15,6 milyar atau sekitar 50% dari pendanaan publik global untuk PLTU[2]. Namun bila digabungkan dengan investasi publik dan swasta, maka pendanaan publik China hanya sekitar 13%.[3]

_______________________________________________________________________________

[1] Vincent Ni China Affairs Correspondent, and Helen Sullivan, Big Line in the Sand: China promises no new coal-fired power projects abroad, The Guardian, 22 September 2021. https://www.theguardian.com/world/2021/sep/22/china-climate-no-new-coal-fired-power-projects-abroad-xi-jinping

[2] Xinyue Ma and Kevin P. Gallagher, Who Funds Overseas Coal Plants? The Need for Transparency and Accountability, Global Development Policy Center, Global China Initiative, GCI Brief 008.07/2021

[3] Ibid.

Bagaimana dengan Indonesia?

  • Keputusan politik China tentu akan berdampak pada Indonesia yang banyak menerima investasi batubara dari China, tidak hanya pendanaan namun juga teknologi. Ini merupakan momentum yang baik bagi Indonesia untuk mulai menentukan strategi transisi energi ke depan terutama dengan mempertimbangkan potensi energi terbarukan yang sangat melimpah di Indonesia.
  • Pemerintah dan seluruh pemimpin politik harus memiliki perubahan paradigma terkait Transisi Energi yang Berkelanjutan. Sumber daya energi bukan lagi komoditas ekspor yang mendatangkan devisa saat ini namun sebagai modal dasar pembangunan yang memberikan nilai tambah dan manfaat sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan dan kebutuhan generasi mendatang.
  • Pemimpin politik harus memiliki komitmen untuk memprioritaskan energi terbarukan sebagai bagian dari upaya peningkatan kedaulatan dan ketahanan energi, penanggulangan krisis iklim, pemerataan pembangunan daerah serta peningkatan kualitas udara dan kesehatan.

Tata Kelola Energi

  • Tata Kelola pengelolaan energi saat ini menjadi tantangan tersendiri dalam Transisi Energi yang adil dan berkelanjutan di Indonesia. Persoalan Tata Kelola sektor energi bukan hanya tanggung jawab satu sektor namun perlu sinergitas antar sektor dan antar pemangku kepentingan.
  • Berdasarkan toolkit The Electricity Governance Initiative (EGI), Tata Kelola yang Baik (Good Governance) memliki 4 (empat) prinsip utama yaitu: (1) Partisipasi publik; (2) Transparansi dan akses terhadap informasi; (3) Akuntabilitas dan mekanisme umpan balik dalam pengaduan; (4) Kapasitas pembuat kebijakan, regulator, serta kapasitas masyarakat sipil untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan.[1]
  • Transisi Energi yang adil dan berkelanjutan merupakan proses jangka panjang yang mengarah pada perubahan sistem energi secara holistik. Studi[2] yang dilakukan oleh IESR menyebutkan 6 (enam) aspek penting dalam transisi energi berkeadilan yaitu: (1) penerapan tata kelola yang baik dalam merencanakan jalur transisi energi; (2) Perlunya penciptaan kondisi yang memungkinkan untuk investasi energi terbarukan; (3) Adanya konsultasi public dan dialog sosial; (4) Penetapan kebijakan terkait perlindungan sosial dan pengembangan ketrampilan; (5) Penetapan transisi dan diversifikasi ekonomi; (6) Pembentukan mekanisme pendanaan.

    ________________________________________________________________

    [1] Shantanu Dixit, Navroz K. Dubash, Crescencia Maurer, Smita Nakhooda, The Electricity Governance Toolkit: Benchmarking Best Practice and Promoting Accountability in the Electricity Sector, The Electricity Governance Initiative, World Resource Institute, National Institute of Public Finance and Policy, Prayas-Pune Initiatives in Health, Energy, Learning and Parenthood, Juni 2007

    [2] Melina Gabriella dan Pamela Simamora, Memastikan Transisi Energi yang Berkeadilan di Indonesia: Pembelajaran dari Studi Kasus Empat Negara, Institute for Essential Services Reform (IESR), 20 Oktober 2020.

    [3] Clem Attwood, Richard Bridle, Philip Gass, Aidy S. Halimanjaya, Tara Laan, Lucky Lontoh, Lourdes Sanchez and Lasse Toft Christensen, Financial Supports for Coal and Renewables in Indonesia, GSI Report, International Institute for Sustainable Development (IISD) – Global Subsidies Initiative (GSI) May 2017

    [4] ibid

    [5] Panduan Masyarakat tentang Subsidi Energi di Indonesia, Global Subsidies Initiative (GSI) – International Institute for Sustainable Development (IISD) dan Institute for Essential Services Reform (IESR)

    [6] Fabby Tumiwa dan Uliyasi Simanjuntak, Resmikan PLTS Atap Terbesar di Jateng: Keniscayaan Transisi Energi, IESR, 8 Oktober 2020 https://iesr.or.id/resmikan-plts-atap-terbesar-di-jateng-keniscayaan-transisi-energi

    [7] Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, https://www.minerba.esdm.go.id/harga_acuan

    [8] How will the renewables industry overcome its ‘intermittent availability’ challenges? Action Renewables, 9 Desember 2019, https://actionrenewables.co.uk/news-events/post.php?s=how-will-the-renewables-industry-overcome-its-intermittent-availability-challenges

    [9] ARENAWIRE, Australia’s First Hybrid Wind and Solar Farm, 2 February 2018.  https://arena.gov.au/blog/australias-first-hybrid-wind-and-solar-farm/

    Bagaimana perubahan Tata Kelola dalam pengelolaan energi dapat memungkinkan proses Transisi Energi yang adil dan berkelanjutan di Indonesia?

    Perubahan Paradigma dan Keberpihakan terhadap Energi Terbarukan

    • Paradigma energi fosil. Dengan tingkat eksploitasi saat ini, sumber daya energi fosil akan habis dalam waktu yang tidak lama lagi. Ketergantungan terhadap energi fosil yang tinggi seperti saat ini akan membawa Indonesia kedalam kondisi krisis energi dan ketergantungan terhadap impor energi, krisis ekonomi yang disebabkan fluktuasi dan trend harga energi fosil yang cenderung naik sementara subsidi energi masih cukup besar, krisis sosial akibat penggunaan energi fosil yang menghasilkan polusi udara yang berdampak pada kesehatan masyarakat dan krisis lingkungan ditingkat tapak serta krisis iklim di tingkat global akibat emisi karbon yang dihasilkan mulai dari kegiatan penambangan, pengangkutan hingga pemanfaatannya di pembangkitan.          .
    • Selama ini batubara dianggap sebagai sumber energi paling murah pada pembangkit listrik karena mendapat subsidi dari pemerintah. Laporan GSI mengidentifikasi 15 jenis subsidi yang diberikan pemerintah kepada industri batubara di Indonesia.[3] Biaya batubara yang seolah-olah murah tidak mencerminkan biaya internalisasi dari eksternalitas yang ditimbulkan.
    • Paradigma tentang keterjangkauan harga energi. Harga energi yang terjangkau bukan berarti energi murah. Energi tidak murah. Meskipun sumber daya energi tersedia di alam, namun butuh biaya untuk mengolahnya menjadi energi yang dapat digunakan sehari-hari. Harga energi yang dibayarkan konsumen lebih rendah karena ada subsidi yang diberikan oleh pemerintah. Keuntungan subsidi energi biasanya dinikmati oleh golongan atas karena mereka menggunakan energi lebih banyak.[5] Harga energi yang seolah-olah murah mendorong pola konsumsi yang cenderung boros.
    • Paradigma ET. Pengembangan ET secara masif dapat dilakukan melalui bauran energi pada pembangkit listrik. Namun lambatnya pengembangan ET di Indonesia selalu dikaitkan dengan isu harga listrik berbasis ET yang lebih mahal dari listrik berbasis batubara. Perspektif ini sudah ada sejak 20 atau 30 tahun lalu. Namun saat ini, paradigma seperti ini sudah usang. Inovasi teknologi ET serta pemanfaatan ET berkembang sangat cepat di global sehingga membuat harga keekonomian ET semakin terjangkau dan kompetitif. Sebagai contoh energi surya yang dianggap sebagai ET yang paling mahal, faktanya dalam satu dekade terkahir harga modul surya turun hingga 90 persen.[6] Resiko harga batubara yang fluktuatif dan bahkan sejak pertengahan tahun 2021 menunjukkan trend yang terus meningkat, memberikan kekhawatiran terhadap beban subsidi yang lebih tinggi. Disamping itu, sangat tidak adil bila energi terbarukan yang bersih, ramah lingkungan, rendah polusi dan emisi, tidak menimbulkan masalah kesehatan pada manusia dibandingkan dengan energi batubara yang kotor, penghasil emisi karbon terbesar yang menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim, serta menghasilkan polusi yang berbahaya bagi kesehatan manusia.
    • Intermitensi ET dalam pembangkit listrik atau sifat ET yang tidak tersedia secara terus menerus selama 24 jam dari minggu ke minggu atau bulan ke bulan[8] misalnya energi surya yang hanya tersedia di siang hari atau energi angin dan air yang tergantung musim, menjadi salah satu alasan mengapa pengembangan ET berjalan lambat. Namun, tantangan intermitensi ini bukanlah hal yang tidak dapat diatasi. Dengan semakin berkembangnya inovasi teknologi, sifat intermiten ET dapat di prediksi dan diintegrasikan ke dalam perencanaan sistem. Beberapa solusi untuk mengatasi tantangan intermitensi ini antara lain: (1) menggunakan teknologi penyimpanan energi atau baterai yang handal; (2) mengintegrasikan beberapa jenis ET dalam sistem pembangkitan misalnya PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) dengan PLTB (Pembangkit Listrik Tenaga Bayu/Angin) dapat mengahsilkan listrik lebih optimal dan lebih berkelanjutan[9]; (3) Mengembangkan sistem micro-grid dan mini-grid yang terdesentralisasi baik yang terintegrasi dengan jaringan PLN (on-grid) maupun yang tidak (off-grid).
    • Meskipun sumber daya ET selalu tersedia sepanjang masa, namun hal ini tidak menjadi alasan pola konsumsi yang tak terbatas dan boros. Perlu diingat bahwa sumber daya ET yang tersedia di alam memang berlimpah, tetapi butuh biaya yang besar untuk mengubahnya menjadi energi yang kita pakai sehari-hari. Sehingga, untuk mencapai Transisi Energi yang adil dan berkelanjutan, pengembangan ET harus dibarengi upaya efisiensi dan konservasi energi. Efisiensi energi merupakan sumber energi yang tersembunyi yang dapat mengendalikan laju permintaan energi dan meningkatkan kehandalan pasokan energi dalam waktu yang lebih panjang.
    • Tantangan Transisi Energi di Indonesia bukan hanya menggantikan peran energi fosil dengan energi terbarukan namun juga meningkatkan akses energi terhadap masyarakat yang tinggal di daerah-daerah yang sulit dijangkau. Kesenjangan akses energi ini salah satunya disebabkan kurangnya sinergi dalam perencanaan pembangunan.

    Bagaimana meningkatkan perencanaan dan sinergitas antar sektor yang dapat mendorong Transisi Energi yang adil dan berkelanjutan di Indonesia?

    • Pertama, menetapkan kebijakan, rencana dan strategi energi yang terintegrasi dari hulu ke hilir yang sejalan dengan target penurunan emisi karbon 1.5° Visi transisi energi yang adil dan berkelanjutan perlu didefinisikan dengan jelas dan diterjemahkan dalam strategi implementasi yang terukur serta menjadi acuan bagi semua sektor seperti industri, transportasi, pendidikan, keuangan, kesehatan, kehutanan dan lingkungan hidup, kelautan, pariwisata dan lainnya. Proses penyusunannya perlu dilakukan oleh para perencana yang memiliki kapasitas serta melibatkan para pemangku kepentingan baik ditingkat pusat maupun daerah.
    • Kedua, setiap sektor terutama sektor pengguna energi yang besar (high-intensive energy use) perlu membuat peta jalan (roadmap) sektoral yang mengintegrasikan penggunaan energi bersih dan efisiensi energi.
    • Ketiga, memperkuat peran pemerintah daerah dalam pengelolaan energi di daerahnya serta menumbuh kembangkan inisiatif-inisiatif daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota dan Desa) yang melibatkan partisipasi masyarakat lebih luas serta menghargai kearifan lokal.
    • Keempat, keberhasilan transisi energi salah satunya ditentukan dari kehandalan sistem kelistrikan yang mampu mengakomodir kapasitas energi terbarukan yang dominan. “greening power sector” dan menghentikan penggunaan energi fosil di pembangkit listrik secepatnya merupakan syarat mutlak tercapainya transisi energi. Perlu ada regulasi yang mengatur Standar Kinerja Emisi (Emission Performance Standard) yang cukup tinggi pada pembangkit listrik.