RUU EBT

RUU EBT merupakan RUU inisiatif dari Komisi VII DPR RI. Hingga November 2021, proses pembentukan RUU EBT memasuki tahap harmonisasi di Badan Legislasi untuk pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU. Sugeng Suprawoto, Ketua Komisi VII DPR RI, mengatakan RUU EBT akan diselesaikan pada akhir tahun 2021.[1] RUU EBT sendiri terdiri dari 14 (empat belas) bab dan 61 (enam puluh satu) pasal. 

[1] https://nasional.kontan.co.id/news/ditargetkan-terbit-pada-oktober-2021-begini-isi-rancangan-undang-undang-ruu-ebt

Dokumen

Naskah Akademik

Naskah Akademik yang diumumkan di web DPR RI setelah melalui harmonisasi di Badan Legislasi pada 13 September 2021.

RUU

Draft terakhir yang diumumkan di pada web DPR RI setelah melalui harmonisasi di Badan Legislasi pada 17 Maret 2022. Klik

Penjelasan Pengusul

Draft terakhir yang diumumkan di web DPR RI setelah melalui harmonisasi di Badan Legislasi pada 13 September 2021.

Pandangan Fraksi-Fraksi

Pandangan sembilan fraksi di DPR RI terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Terbarukan yang disampaikan oleh Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto

Your content goes here. Edit or remove this text inline or in the module Content settings. You can also style every aspect of this content in the module Design settings and even apply custom CSS to this text in the module Advanced settings.

Your content goes here. Edit or remove this text inline or in the module Content settings. You can also style every aspect of this content in the module Design settings and even apply custom CSS to this text in the module Advanced settings.

RUU EBT

RUU EBT merupakan RUU inisiatif dari Komisi VII DPR RI. Hingga November 2021, proses pembentukan RUU EBT memasuki tahap harmonisasi di Badan Legislasi untuk pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU. Sugeng Suprawoto, Ketua Komisi VII DPR RI, mengatakan RUU EBT akan diselesaikan pada akhir tahun 2021.[1] RUU EBT sendiri terdiri dari 14 (empat belas) bab dan 61 (enam puluh satu) pasal. 

[1] https://nasional.kontan.co.id/news/ditargetkan-terbit-pada-oktober-2021-begini-isi-rancangan-undang-undang-ruu-ebt

Dokumen

Naskah Akademik

Naskah Akademik yang diumumkan di web DPR RI setelah melalui harmonisasi di Badan Legislasi pada 13 September 2021.

RUU

Draft terakhir yang diumumkan di pada web DPR RI setelah melalui harmonisasi di Badan Legislasi pada 17 Maret 2022. Klik

Penjelasan Pengusul

Draft terakhir yang diumumkan di web DPR RI setelah melalui harmonisasi di Badan Legislasi pada 13 September 2021.

Pandangan Fraksi-Fraksi

Pandangan sembilan fraksi di DPR RI terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Terbarukan yang disampaikan oleh Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto

Kronologi & Dokumen

Masukan Stakeholder

  • Perkumpulan Profesi Nuklir Indonesia (Apronuki), Materi 1, Materi 2 
  • Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Materi
  • Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesian (MKI), Materi
  • Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Materi 1, Materi 2, Materi 3
  • Kamar Dagang dan Industri (Kadin)
  • Tropical Landscapes Finance Facility (TLFF)
  • PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), Materi
  • Prakarsa Jaringan Cerdas Indonesia (PJCI), Materi
  • Asean Center for Energy (ACE), Materi
  • Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Materi
  • Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia (HIMNI), Materi
  • Women in Nuclear (WiN) Indonesia, Materi
  • ThorCon International, Pte, Ltd, Materi
  • Komisi Teknis Energi-DRN, Materi
  • Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas), Materi
  • Pusat Pengkajian dan Penerapan EBT UMM, Materi
  • Kepala Ekonomi dan Perdagangan Delegasi Uni Eropa di Indonesia
  • Pusat Studi Regulasi Dan Manajemen Teknologi Nuklir Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Materi
  • Nippon Advanced Information Service, Jepang. Materi
  • Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), Materi
  • Masyarakat Infrastruktur Indonesia, Materi
  • ADPMET (Asosiasi Daerah Penghasil Migas dan Energi Terbarukan), Materi
  • Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Energi Bersih, Materi
  • Yayasan Cerah dan ICEL, Materi
  • PT. PLN, Materi
  • Universitas Syiah Kuala, Materi
  • Institute Teknologi Bandung, Materi
  • Universitas Indonesia, Materi
  • Institute Teknologi Sepuluh November, Materi

Sejumlah pihak yang menyampaikan masukan kepada DPR RI dalam penyusunan RUU EBT, diolah dari web DPR RI

Ringkasan Kegiatan

Catatan RAPAT

  • 14 September 2020. Rapat I Penyusunan RUU EBT. Komisi VII dan Kepala Pusat PUU Setjen DPR. Lapsing, Catatan Rapat, Risalah.
  • 17 September 2020. RDPU Komisi VII dengan Perkumpulan Profesi Nuklir Indonesia, METI, MKI, dan Koalisi Perempuan Indonesia. Lapsing, Catatan Rapat, Risalah, Youtube
  • 21 September 2020. RDPU Komisi VII dengan KADIN, TLFF, dan PT. Sarana Multi Infrastruktur. Lapsing, Catatan Rapat, Risalah, Youtube
  • 1 Oktober 2020. RDPU Komisi VII dengan PJCI, Asean Center for Energy, AESI, HIMNI, Women in Nuclear Indonesia, dan Perwakilan ThorCon International. Lapsing, Catatan Rapat, Risalah, Youtube
  • 25 November 2020. RDPU Komisi VII DPR RI dengan Masyarakat Infrastruktur Indonesia. Lapsing, Catatan Rapat, Risalah.
  • 1 Desember 2020. RDPU Komisi VII dengan Universitas Syiah Kuala Aceh, ITB, ITS dan UI. Lapsing, Catatan Rapat, Risalah, Youtube.
  • 26 Januari 2021. Rapat Komisi VII  dengan BKD DPR RI yakni penyampaian draft RUU EBT. Lapsing, Catatan Rapat, Risalah.
  • 5 April 2021. RDPU Komisi VII DPR RI dengan ADPMET. Lapsing, Catatan Rapat, Risalah, Youtube.
  • 7 April 2021. RDPU Komisi VII dengan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Energi Bersih. Lapsing, Catatan Rapat, Risalah, Youtube.
  • 11 Juni 2021. Konsinyering RUU EBT. Lapsing, Catatan Rapat, Risalah, Naskah Akademik
  • 12 Juni 2021. Konsinyering RUU EBT. Lapsing, Catatan Rapat, Risalah, Draf RUU
  • 1 Juli 2021. Rapat intern Komisi VII, penyampaian pandangan fraksi-fraksi terhadap RUU EBT. Lapsing, Catatan Rapat, Risalah, Pandangan Fraksi
  • 13 September 2021. Rapat Harmonisasi RUU EBT. Lapsing, Catatan Rapat, Risalah, Youtube, RUU, NA, Pandangan Fraksi
  • 23 November 2021. RDPU Badan Legislasi DPR RI dengan Siwabessy Initiative. Lapsing, Catatan Rapat, Risalah, Youtube.
  • 14 Desember 2021, Rapat Badan Legislasi DPR RI dengan Menteri ESDM RI. Dirjen Ketenagalistrikan, Dirjen EBT dan Konservasi Energi, Dirjen Minerba, Dirut Pertamina, Dirut PLN dan CEO PPI. Lapsing, Catatan Rapat, Risalah, Youtube 
  • 17 Maret 2022 Rapat intern Badan Legislasi untuk harmonisasi RUU tentang Energi Baru Terbarukan. Lapsing, Catatan rapat, Risalah, Youtube. 
  • 30 Mei 2022 Rapat Badan Legislasi dengan Komisi VII pengambilan keputusan hasil pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi atas RUU tentang Energi Baru dan Energi Terbarukan. Lapsing, Catatan Rapat, Risalah, Youtube. 
  • 14 Juni 2022 Rapat Paripurna Penetapan Usul DPR atas hasil harmonisasi RUU tentang Energi Baru dan Energi Terbarukan. Lapsing, Catatan Rapat, Risalah, Youtube. 
  • 16 Januari 2023 Rapat intern Komisi VII bersama Audience Komunitas Teknologi Energi Bersih. Lapsing, Catatan Rapat, Youtube.
  • 24 Januari 2023 Rapat Kerja Komisi VII dengan Menteri ESDM, Mentri LHK RI, Menteri Keuangna RI, Menteri BUMN RI, Menteri Penddiikan, Kebudayaan dan Ristek RI, Menteri Hukum dan HAM RI dan Pemimpin Komite II DPD RI, membahas Mekanisme Kerja Pembahasan RUU tentang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Pembahasan DIM per DIM RUU EBET dan Pengesahan Pembentukan Panja, Tim Perumus, Tim Kecil dan Tim Sinkronisasi. Lapsing. Catatan Rapat. Risalah. Yotube.
  • 25 Januari 2023 Rapat Dewan Pimpinan Panja dengan Panja RUU EBET dari Unsur Pemerintah dan Tim Kerja RUU EBET DPD RI dengan pembahasan DIM RUU EBET (Rapat dilakukan secara TERTUTUP). Lapsing. Catatan Rapat. Risalah. Youtube.
  • 26 s.d. 28 Januari 2023 Konsinering Panja RUU EBET dengan Panja RUU EBET dari Unsur Pemerintah dan Tim Kerja RUU EBET DPD RI membahas terkait Konsinering Lanjutan Pembahasan DIM RUU EBET (TERTUTUP). Lapsing. Catatan Rapat. Risalah. Youtube. 

Ket: Setidaknya ada tiga dokumen yang dihasilkan dalam setiap pelaksanaan rapat, yaitu Laporan Singkat (Lapsing), Catatan Rapat, dan Risalah. Tulisan yang berwana merah berarti dokumennya tidak diumumkan di web DPR.

WEBINAR

  • 28 September 2020. Narasumber: Pimpinan Komisi VII DPR RI. Materi Webinar
  • 12 Oktober 2020. Narasumber: PUU Badan Keahlian DPR, Ketua Komisi Teknis Energi-DRN, Staf Ahli Bidang IPTEK-Setjen Wantannas, Tenaga Ahli & Peneliti Pusat Pengkajian & Penerapan EBT Universitas Muhammadiyah Malang. Materi Webinar DPR
  • 15 Oktober 2020. Narasumber: Kepala Ekonomi dan Perdagangan Delegasi Uni Eropa di Indonesia. ToR
  • 19 Oktober 2020. Narasumber: PUU Badan Keahlian DPR RI, Dr. Intan Soeparna (Universitas Airlangga), Liem Peng Hong (Nippon Advanced Information Service (NAIS Co., Inc.) Jepang, dan Anwar Riza Antariksawan (BATAN). Materi Webinar DPR

Rapat RUU EBT

Lapsing

Catatan Rapat

Risalah

Isu Krusial

Peran Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan EBT

Naskah Akademik mengidentifikasi perlunya penguatan peran pemerintah daerah dalam pengelolaan dan pemanfaatan energi baru terbarukan. Dalam naskah akademik disebutkan bahwa kebijakan penyediaan energi listrik dari listrik Energi Baru Terbarukan utamanya di daerah pedalaman atau terpencil dan daerah pulau-pulau kecil diserahkan ke Pemerintah Daerah untuk dikelola. Sementara dalam RUU EBT versi Agustus 2021, kewajiban penyediaan Energi Baru dan Terbarukan dilakukan masih dengan memasukan unsur pemerintah pusat. Pun dimasukan unsur Pemerintah Daerah didalamnya, tidak terlihat adanya pembagian tugas pokok dan fungsi secara jelas antara Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah.

Kemudahan Berusaha untuk Energi Terbarukan

RUU EBT versi Agustus 2021 memberikan proporsi kemudahan perizinan yang serupa bagi Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dalam mengusahakan Energi Baru dan Energi Terbarukan. Sementara, Naskah Akademik tidak menjabarkan lebih lanjut mengenai mengapa Energi Baru dan Energi Terbarukan mendapatkan kemudahan yang sama. Padahal perlu ada perbedaan kemudahan yang diberikan antara Energi Baru dan Energi Terbarukan mengingat model-model Energi Baru, seperti energi nuklir seharusnya dilakukan pengetatan safeguard untuk izin perlu untuk dilakukan, bukan justru dimudahkan. Lalu Naskah Akademik perlu memperjelas seperti apa kemudahan prosedur dan jangka waktu yang dilaksanakan serta bagaimana implementasinya, utamanya jika dihubungkan dengan konsep perizinan berusaha.  

Inventarisasi Potensi Energi Secara Terintegrasi

RUU EBT versi Agustus 2021 mengidentifikasi permasalahan ketersediaan data yang masih kurang lengkap yang menjadikan hambatan dalam penyusunan perencanaan. Ketersediaan data yang dimaksud mencakup data potensi energi secara spesifik yang dapat diusahakan di daerah yang dapat secara langsung dimanfaatkan karena telah disesuaikan dengan rencana tata ruang dan KLHS di daerah tersebut. Selain itu, belum ada arus informasi ketersediaan data dari ragam pemangku kepentingan seperti akademisi, pelaku usaha, Pemerintah Pusat Provinsi dan Kabupaten/Kota serta masyarakat guna menggali informasi mengenai pengembangan EBT. Dalam RUU EBT inventarisasi potensi sumber daya energi yang terintegrasi, serta jaminan ketersediaan data utamanya dari pelaku usaha belum jelas terlihat bagaimana pengaturannya.

Pembinaan dan Pengawasan Energi Terbarukan

Tidak Dijelaskan dalam RUU EBT Naskah Akademik RUU EBT versi Agustus 2021 mengidentifikasi belum adanya sistem pengawasan yang kredibel dan transparan, serta lemahnya fungsi pengawasan dan evaluasi program atau proyek energi nasional oleh pemerintah menyebabkan banyaknya proyek mangkrak. Pengawasan saat ini hanya bergantung pada kemandirian dari desa dan usaha mandiri desa di wilayah tersebut sehingga sangat tergantung pada inisiatif desa, tanpa adanya enforsir dari pihak pemerintah. Untuk itu NA RUU EBT versi 25 Januari 2021 menawarkan sejumlah solusi seperti: a) perlu adanya peran pemerintah untuk membina, menyediakan sarana, termasuk skala kecil masyarakat desa, dengan aturan yang secara jelas mampu menjangkau hingga ke tingkat desa; b) diterapkannya konsep pembinaan dan pengawasan terhadap pengelolaan energi baru secara berjenjang, intensif, serta berkelanjutan sedari tahap perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, pengendalian, hingga pertanggungjawaban hasil dari pengelolaan energi baru; c) pembinaan dan pengawasan terhadap pengelolaan energi baru harus partisipatif, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan; d) perlu adanya keselarasan dan kemitraan yang kuat antara berbagai pemangku kepentingan, seperti pemerintah daerah, perguruan tinggi dan swasta untuk dapat berpartisipasi dalam pengawasan; e) pembinaan yang dilakukan dengan melakukan pendampingan secara masif bagi masyarakat.

Materi Audiensi Koalisi 

Diskusi Online 

Seputar Energi Terbarukan

Pandangan Fraksi-Fraksi

RINGKASAN

Berikut merupakan ringkasan pandangan fraksi-fraksi yang ada di komisi VII mengenai penyusunan RUU EBT dan mayoritas menyetujui penyusunan  RUU EBT untuk lanjut ketahap selanjutnya kecuali F-PKS menyetujui dengan catatan.

Fraksi PDIP
  • Pembahasan RUU EBT ini harus ditindaklanjuti dengan upaya serius dan berkesinambungan dalam upaya untuk meningkatkan bauran energi dimasa depan.
  • Materi penting dari RUU ini adalah Energi Baru dan Terbarukan harus memiliki asas berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, berdaya saing, kehandalan, dan keterpaduan.
  • Pembahasan RUU EBT harus mempertimbangkan kesiapan sistem kelistrikan nasional serta keseimbangan pasokan dan permintaan. Karena pada saat ini, sistem jawa, sumatera, Kalimantan interkoneksi dan Sulawesi bagian selatan mengalami over supply.
  • Pembahasan RUU EBT harus menekankan pada kewajiban transfer of knowledge sehingga dapat tercapai kesiapan sistem pengaplikasian yang memadai serta mendukung pengembangan kapasitas nasional agar Indonesia bukan sebagai pangsa impor tetapi sebagai akselerasi pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan juga menciptakan kemakmuran.
  • Pembahasan RUU EBT harus menekankan pada inovasi agar EBT baseload mampu bersaing secara teknis dan komersial dibandingkan dengan energi fosil.
  • Berkaitan dengan hasil penyusunan RUU EBT maka fraksi PDIP menyetujui untuk dibawa ketahap selanjutnya.
Fraksi Partai Golkar
  • Mempertahankan nomenklatur Energi Baru dalam RUU Energi Baru dan Terbarukan, Hal ini dinilai penting agar RUU tersebut dapat menjadi paying hukum bagi kedua jenis sumber energi dalam rangka mensukseskan transisi energi. Transisi energi ke energi baru dan terbarukan harus dilakukan secara bertahap untuk menjaga stabilitas ekonomi negara.
  • Akselerasi pengembangan EBT di Indonesia memerlukan insentif baik berupa insentif fiskal maupun non fiskal, seperti kemudahan dan percepatan perizinan untuk pembangkit listrik dan bahan bakar berbasis EBT, pengurangan pajak penghasilan badan usaha untuk waktu tertentu, penghapusan bea masuk untuk mesin dan suku cadangan teknologi EBT, pengurangan pajak untuk teknologi EBT yang diproduksi di Indonesia, serta jenis insentif lain yang dapat mempercepat pembangunan EBT. Namun, perlu diperhatikan juga bahwa target penerima insentif tidak hanya dibatasi untuk badan usaha yang mengusahakan EBT dan badan usaha di bidang tenaga listrik non-EBT yang memiliki standar portfolio energi terbarukan, namun juga kepada badan usaha atau pihak lain yang melakukan utilisasi EBT dan memiliki kontribusi signifikan dalam penambahan jumlah ka[asitas EBT di Indonesia.
  • RUU EBT juga dapat mengatur kewajiban pemerintah pusat dan daerah untuk mengusahakan sumber dana energi baru dan terbarukan . Di antara sumber dana yang telah diusulkan dalam RUU EBT tersebut, kami berpendapat bahwa pajak karbon juga harus diikutsertakan dalam rincian sumber dana energi baru dan terbarukan. Hal ini perlu menjadi pertimbangan agar perencanaan sistem pajak karbon memiliki paying hukum yang jelas. Dengan adanya pemberian pajak pada satuan emisi karbon, pemanfaatan energi baru dan terbarukan dapat dibandingkan dengan lebih adil dengan pemanfaatan energi yang bersumber dari bahan bakar fosil. Dengan demikian, daya Tarik investasi dan daya saing energi baru dan terbarukan dapat meningkat dan target pengurangan emisi karbon dapat tercapai.
  • Akselerasi pengembangan EBT di Indonesia diharapkan kedepannya mampu menjadikan EBT tidak hanya sebagai energi alternatif, namun sebagai sumber daya energo nasonal utama yang berkelanjutan.

 Bedarkan berbagai macam pertimbangan tersebut, maka fraksi partai golkar dengan ini menyatakan sepakat agar rancangan undang undang energi baru dan terbarukan (RUU EBT) segera dilakukan pembahasan lanjut dan harmonisasi di badan legislasi.  

Fraksi Partai Gerindra
  • RUU EBT sangat diperlukan sebagai paying hukum dari semua regulasi yang berkaitan dengan energi baru dan terbarukan. Sejauh ini pemerintah telah menetapkan beberapa regulasi untuk mempercepat pengembangan EBT, namun belum ada landasan hukum yang kuat ditingkat undang undang. Hal ini juga perlu jadi catatan agar nantinya dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi guna mencegah regulasi yang bertentangan atau tumpeng tindih.
  • Masukan RUU Energi Baru Terbarukan agar dapat mempertimbangkan keseimbangan pasokan dan demand terhadap sistem ketenagalistrikan negara agar tidak terjadi oversupply.
  • Masukanya Energi Baru Terbarukan agar dapat mempertimbangkan kemampuan fiskal APBN.
  • Menekankan pada inovasi agar energi baru terbarukan mampu bersaing secara teknis dan komersial disbanding energi fosil, serta berkewajiban untuk transfer of knowledge sehingga tercapai kesiapan sistem pengaplikasian yang memadai.
  • Mendukung pengembangan kapasitas nasional agar Indonesia bukan sebagai pangsa impor tetapi sebagai akselerasi pertumbuhan ekonoi, menciptakan lapangan kerja, dan juga menciptakan kemakmuran.
  • Indonesia memiliki sumber energi baru terbarukan yang sangat besar potensi tersebut sangat bisa dikembangkan selain untuk mencukup kebutuhan energi nasional juga untuk membantu dalam bidang perekonomian. Oleh karena itu, RUU EBT juga harus mencakup regulasi yang kuat dalam rangka mempermudah investasi menuju kemandirian energi baru terbarukan. Diperlukan stabilitas regulasi dan juga perlunya dicarikan solusi terkait persyaratan tingkat komponen dalam negeri yang bisa tetap mengakomodir kepentingan nasional tanpa terlalu banyak meningkatkan biaya investasi dalam energi baru terbarukan.
  • Perlunya dihadirkan regulasi yang menjadi solusi dari kendala-kendala pengembangan EBT selama ini seperti persoalan infrastruktur, lebutuhan investasi awal yang besar, dan juga terkait situs-situs energi terbarukan yang memiliki resiko dari sisi kelestariannya.
  • Peran serta kewenangan Pemerintah Daerah terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan energi baru dan terbarukan juga perlu dibahas lebih lanjut guna memaksimalkan potensi pengembangan dan pemanfaatan energi baru terbarukan.

 

Fraksi Partai Gerindra DPR RI menyatakan menyetujui RUU Tentang Energi Baru Terbarukan untuk dilanjutkan pembahasan ke tingkat selanjutnya.  

Fraksi Partai Nasdem
  • Penamaan judul RUU menggunakan Energi Baru Terbarukan dimana energi baru adalah sumber energi yang dapat dihasilkan oleh atau dari teknologi baru baik yang berasal dari sumber energi terbarukan maupun sumber energi tak terbarukan, sedangkan energi terbarukan adalah sumber energi yang dihasilakan dari sumber daya energi yang dapat diperbaharui dan berkelanjutan. Energi terbarukan terdiri atas panas bumi, angin, biomassa, sinar matahari, aliran dan terjunan air, sampah, limbah produk pertanian, limbah atau kotoran hewan ternak, Gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut, dan energi terbarukan lainnya.
  • Tantangan yang dihadapi dari sisi bisnis adalah meningkatkan investasi EBT dan mempercepat pencapaian target energi terbarukan Indonesia sebagai bagian dari target bauran energi nasional di kebijakan energu nasional (KEN). RUU EBT berupaya mewujudkan hal ini dengan memfasilitasi skema harga yang lebih menarik untuk energi terbarukan, meningkatkan insentif, mentapkan kewajiban bagi pengembang energi tak terbarukan untuk memproduksi energi terbarukan, dan mendiversifikasi sumber energi. Maka dari itu guna mencapai NDC, target bauran energi baru terbarukan adan KEN tidak boleh dirubah atau dikurangi, bahkan harus ditambahkan sedangkan untuk energi primer lainnya berbasis fosil masih boleh dirubah.
  • Peran gas menjadi penting dalam masa transisi energi dan pencapaian target bauran energi pada tahun 2025 dan 2050. Energi primer gas dapat digunakan sebagai energi transisi dan energi kotor menjadi energi bersih. Impelementasi kebijakan energi nasional melalui strategi bauran energi yang dilaksanakan secara konsisten akan mendukung tercapainya kemandirian energi, ketahanan energi dan pada akhirnya akan membuat Indonesia berdaulat dalam pemenuhan energinya. Energi yang bersih dan berkelanjutan menjadi salah satu pendukung pembangunan berketahanan iklim dan kita harus dapat memanfaatan sumber daya alam yang kita miliki.
  • Perlu ada pasal yang dapat mendorong untuk segera mendorong berbagai penelitian, mempercepat investasi dalam membangun infrastruktur pembangkit listrik berbasis energi baru dan terbarukan misalnya pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Indonesia misalnya dengan adanya insentif dari pemerintah dan kemudahan perizinan, serta pengawasan impelementasi harus lebih ketat dalam mencegah berbagai dampak yang dapat terjadi.
  • Dalam hal ini mendukung PLTN, perlu ada pasal yang mengatur mengenai pemanfaatan thorium dan uranium produksi dalam negeri sebagai bahan baku PLTN, sehingga bahan baku tersebut yang selama ini kita ekspor bisa kita manfaatkan dalam negeri sekaligus membatasi adanya kemungkinan import.

Fraksi partai nasdem di komisi VII DPR RI mengapresiasi dan mendukung diusulkannya RUU EBT. Hal ini sejalan dengan komitmen pemerintah dengan paris agreement yang sudah diratifikasi melalui UU No 16 Tahun 2016.

Fraksi Partai Demokrat
  • F-PD meminta agar penyediaan EBT mendapat prioritas oleh pemerintah untuk memenuhi target pencapaian sesuai dengan KEN.
  • F-PD mendorong untuk membuat standarisasi pengaturan portfolio EBT, agar pengembangan EBT mendapatkan kepastian dalam tataran yang sama dalam level of playing field.
  • F-PD meminta agar adanya sertifikat EBT bagi setiap pengembangan EBT dan dapat dipergunakan sebagai pengganti yang diberikan kepada pengembang energi fosil yang tidak mengembangkan EBT.
  • F-PD mendorong untuk memuat pasal yang mengatur mengenai harga energi terbarukan agar ada kepastian dalam investasi serta memastikan pola pengembalian terhadap dana investasi pada EBT.
  • F-PD mendorong perlu adanya pasal yang mengatur insentif EBT sebagai bentuk dukungan untuk memberikan daya Tarik investasi EBT.
  • F-PD meminta perlu adanya pasal tentang dana EBT yang mencakup sumber dan rencana penggunaaanya.
  • F-PD mendorong adanya pengaturan badan khusus pengelola EBT sebagai badan yang bertanggung jawab memiliki otoritas yang jelas dalam mengelola, dan memiliki kewenangan pengelolaan dana EBT. Badan yang dimaksud bukan badan baru, tetapi bisa berupa penguatan dari badan-badan yang sudah terbentuk sebelumnya, seperti BPDB (Badan Pengelola Perkebunan Sawit), BPDLH (Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup), atau badan terkait lainnya, yang menjadi suatu kesatuan yang solid dan tidak terpisah dengan badan lainnya.

 

Berdasarkan catatan tersebut, F-PD menyetujui rancangan RUU EBT sebagai RUU Inisiatif Komisi VII untuk diteruskan ke Badan Legislasi agar dapat dilakukan proses harmonisasi.

Fraksi PKB
  • F-PKB menilai pentingnya peran pentingnya peran PT PLN yang menjadi single off taker akan sumber energi berbasis energi baru terbarukan untuk diberikan penugasan sebagai berikut: 1) Mengutamakan pengembangan dan pengoperasian energi terbarukan, dengan penetapan target untuk setiap wilayah sesuai dengan kebijakan energi nasional (KEN), Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN); 2) Pola pengadaan pembangkit energi baru terbarukan yang transparan; 3) Perjanjian jual beli tenaga listrik (PJBL) yang bankable agar perbankan nasional dapat menyediakan project finance. 
  • F-PKB menilai perlunya pembentukan Badan Pengelola Energi Baru Terbarukan (BP – EBT) dalam rangka percepatan transisi energi menuju pemanfaatan energi yang berkelanjutan, dengan tugas pokok dan fungsi untuk mengkoordinasikan implementasi kebijakan energi baru terbarukan dalam mencapai kebijakan energi nasional dan berkoordinasi dengan kementrian/Lembaga dan institusi terkait seperti kementerian ESDM, Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian BUMN, Kementerian PUPR, Kementerian Keuangan, Bappenas, PT PLN, PT Pertamina dan PT PGN. Namun hal ini bertentangan dengan pasal 7 ayat (2) yang menunjuk badan usaha milik negara khusus dalam hal pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning pembangkit listrik tenaga nuklir. Sementara, definisi dari badan usaha milik negara khusus juga belum diatur baik di dalam undang undang nomor 19 tahun 2003 tentang badan usaha milik negara maupun di dalam undang undang nomor 11 tahun 2020 tentang cipta kerja pasal 120 tentang badan usaha milik negara. 
  • F-PKB menilai pentingnya pengaturan skema pemberian insentif baik itu fiskal dan/atau non-fiskal kepada para pelaku usaha energi baru terbarukan, pelaku industri dan masyarakat pengguna energi baru terbarukan serta memastikan pelaksanaannya tidak terkendala dengan turunannya di kemudian hari sebagaimana tertuang di dalam pasal 52 RUU tentang Energi Baru Terbarukan masih harus diatur di dalam peraturan pemerintah. Sementara, di dalam Undang Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang penanaman modal pasal 20 berbunyi “fasilitas sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 tidak berlaku bagi penanaman modal asing tidak berbentuk perseroan terbatas.
  • F-PKB menilai perlunya Langkah pemerintah dalam memfokuskan pembangunan pada beberapa energi baru terbarukan yang unggul di Indonesia sebagai contoh pembangkit listrik tenaga nuklir sebagaimana diatur dalam rancangan undang undang tentang EBT pasal 26 tentang sumber energi terbarukan yang seharusnya menjadi titik tekan di dalam penyusunan RUU ini. 
  • F-PKB menilai pentingnya peningkatan “Political Will” dalam meangani permasalahan energi baru terbarukan dalam skala yang massive dan melibatkan berbagai pihak diantaranya pemerintah pusat, pemerintah daerah, pelaku usaha energi baru terbarukan, dan masyarakat di daerah penghasil. Dengan demikian, akan semakin menguatkan paradigma bahwa desentralisasi politik menempatkan rakyat sebagai subyek pembangunan yang diberikan ruang partisipasi dalam pengelolaan secara umum. Sehingga kami berharap RUU ini dapat diaplikasikan secara tepat dan terintegrasi ke depannya guna meningkatkan pengembangan dan pemanfaatan serta akselerasi transisi energi baru terbarukan di Indonesia.

      F-PKB DPR RI menyatakan persetujuannya terhadap RUU ini, untuk bisa diproses pada tahapan selanjutnya dan disahkan menjadi undang undang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku demi tercapainya kemaslahatan untuk seluruh masyarakat Indonesia.

      Fraksi PKS
      • F-PKS memandang bahwa rancangan undang undang tentang energi baru dan terbarukan (RUU EBT) ini harus menjadi paying hukum yang kuat dalam pengembangan EBT di Indonesia. Oleh karena itu, norma-norma yang diatur dalam RUU ini harus disusun secara komprehensif, terstruktur, dan tidak bertentangan dengan aturan perundang-undangan yang berlaku.
      • F-PKS menyadari bahwa pengembangan dan pembangunan listrik menggunakan energi baru terbarukan sangat bergantung pada tingkat keekonomian. Saat ini mayoritas tingkat keekonomian pembangkit EBT masih berada di atas energi fosil, sehingga perlu dibuat pengaturan harga yang tepat agar tercapai tingkat keekonomiannya, sebagaimana dalam pasal 50 dan 51 RUU EBT ini. Namun, pengaturan tersebut harus dilakukan secara spesifik untuk tiap jenis EBT, karena nilai keekonomian atu pembangkit dengan pembangkit yang lain berbeda, sehingga harus dijelaskan lebih tegas dalam peraturan turunannya.
      • F-PKS memandang bahwa tarif masukan (Feed in Tariff, FIT) adalah kebijakan yang tidak tepat untuk diterapkan di Indonesia dalam pengembangan Energi Terbarukan. Walaupun kebijakan ini bertujuan untuk menutupi biaya keekonomian ET yang lebih tinggi dari energi fosil dengan menanggung selisih antara biaya produksi dan besaran FIT yang ditetapkan, kebijakan FIT akan menguras dana APBN yang besar, sedangkan pada saat yang sama kondisi APBN saat ini belum sehat akibat perlambatan ekonomi sebagai dampak dari pandemic Covid-19 serta adanya beban hutang juga yang semakin besar, pembiayaan pengembangan energi terbarukan haruslah selalu mempertimbangkan kapasitas dan kemampuan keuangan negara. Fraksi PKS meminta pengaturan harga EBT ini mengacu kepada UU No 30 Tahun 2007 tentang energi yaitu oenetapan harga bedasarkan nilai keekonomian berkeadilan yang mempertimbangkan biaya produksi energi, termasuk biaya lingkungan dan biaya konservasi serta keuntungan yang wajar bagi badan usaha yang dikaji bedasarkan kemampuan masyrakat dan ditetapkan oleh pemerintah. Penetapan harga EBT dapat dilakukan melalui proses lelang, mekanisme harga patokan biaya pokok produksi (BPP) tertinggi atau dapat juga melalui negosiasi kesepakatan harga.
      • F-PKS menilai bahwa pengenaan kewajiban pembelian listrik energi terbarukan (ET) oleh perusahaan listrik milik negara (PLN), sebagaimana dalam pasal 40 RUU EBT ini, tidak tepat. Fraksi PKS memandang kewajiban pengembangan energi terbarukan oleh PLN haruslah tetap memperhatikan kemampuan dan kapasitas keuangan PLN, kesinambungan dan keberlangsungan penyelenggaraan ketenagalistrikan oleh perusahaan listrik negara tersebut serta mempertimbangkan aspek sistem ketenagalistrikan secara umum yang meliputi keselarasan supply dan demand, ketersediaan sumberdaya energi setempat, tingkat keekonomian , serta adanya jaminan terpenuhinya aspek reliability, security dan sustainability, prioritas pengembangan energi terbarukan oleh PLN ini adalah untuk daerah-daerah yang pembangkitnya masih menggunakan diesel sebagai bahan bakar. Hal ini diharapkan akan menurunkan biaya pokok produksi dan pada gilirannya akan mengurangi anggaran subsidi/kompensasi dari pemerintah.
      • F-PKS memandang perlunya kajian lebih jauh dan mendalam tentang penerapan standar portfolio energi terbarukan (SPET) sebagaimana dalam pasal 41 RUU ini. Hal ini diperlukan agar kebijakan ini dapat memberi dampak yang positif dan menciptakan ekosistem yang mendukung pengembangan ET. Dsadari bahwa pembangkit energi fosil membawa eksternalitas negative kepada lingkungan berupa emisi gas rumah kaca, sehingga erlu dkompensasi dengan kewajiban untuk menyediakan Sebagian dari portfolionya berupa energi terbarukan. Apabila pembangkit energi fosil tersebut tidak memenuhi kewajibannya, mereka dapat membeli sertifikat ET yang berasal dari pembangkit ET yang telah beroperasi. Apabila sertfikat ini tidak tersedia di pasar, makan dapat diterapkan denda sebesar biaya produksi ET yang termahal. Semua ini perlu dikaji secara obyektif sesuai dengan realitas dan kemampuan badan usaha penyedia listrik energi fosil.
      • F-PKS menilai bahwa penerapan dana energi baru terbarukan sebagaimana dalam pasal 53 RUU EBT ini, merupakan sebuah solusi atas lambatnya pengembangan EBT di Indonesia. Akan tetapi, pengelolaan dana EBT tersebut harus dilakukan secara professional oleh sebuah le,baga yang khusus menangani EBT agar lebih mudah dalam impelementasinya, sebagaimana LPDP(Pendidikan) dan BPDS (Sawit) yang sudah lebih dulu beroperasi di Indonesia. Keberadaan Lembaga khusus tersebut diharapkan akan mempermudah pengelolaan dana tersebut karena tidak perlu melalui mekanisme anggaran yang rumit sebagaimana dalam pengelolaan APBN.
      • F-PKS menilai bahwa ketersediaan data terkait potensi energi baru terbarukan secara spesifik yang dapat diusahakan di suatu daerah, sangat penting dalam meningkatkan bauran EBT nasional maupun di daerah. Oleh karena itu, RUU EBT seharusnya mengatur secara tegas kewajiban penyediaan data tersebut oleh pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan yang terait. Termasuk juga data terkait tingkat keekonomian yang harus dpublikasikan oleh pemerintah secara akuntabel dan berkala, sehingga para pemangku kepentingan dan masyarakat umum bisa mendapatkan edukasi yang tepat sekaligus menjadi benchmark dalam pengadaan pembangkit listrik EBT maupun -penyediaan bahan bakar berbasis EBT.
      • F-PKS mendukung adanya BUMN khusus yang melaksanakan pembangunan, pengoperasian dan dekomisioning pembangkit listrik tenaga nuklir sebagaimana pasal 7 RUU EBT ini, karena sifatnya yang pada teknologi serta tingkat kemanan dan potensi keselamatannya yang ketat. Meskipun dalam pelaksanaannya BUMN khusus ini melakukan Kerjasama strategis dengan pihak-pihak yang sudah berpengalaman di bidnag pembangkit listrik tenaga nuklir, tanggung jawab tersebut seharusnya tetap menjadi kewajiban dari BUMN Khusus tersebut. Termasuk harus ada dalam RUU EBT ini adalah perlunya justifikasi secara jelas tentang pentingnya pembangunan pembangkit listrik tersebut, agar bisa diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Di dalam struktur BUMN Khusus ini diharapkan juga terdapat dewan pengawas yang mengakomodasi para pemangku kepentingan yaitu yang diangkat dari kalangan masyarakat, akademisi, organisasi kemasyarakatan dan juga industri.
      • F-PKS mendesak agar pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan EBT dikendalikan secara penuh oleh pemerintah, bukan melalui pihak ketiga sebagaimana dalam pasal 55 ayat 2 RUU EBT ini. Hal ini sangat penting karena pemerintah merupakan entitas tertinggi yang bertugas membina dan mngasi pelaksanaan kegiatan EBT tersebut. Meskipun Kerjasama dengan pihak ketiga sangat dimungkinkan, namun tidak seharusnya hal tersebut ditulis secara eksplisit dalam sebuah RUU, karena bisa menurunkan legilitimasi pemerintah sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan di Indonesia.
      • F-PKS meminta agar pemerintah daerah bisa dilibatkan secara aktif dalam pengembangan EBT di Indonesia. Hal ini sesuai dengan naskah akademik yang menyebutkan bahwa kebijakan penyediaan listrik energi baru terbarukan, khususnta di daerah pedalaman atau terpencil dan daerah pulau-pulau kecil diserahkan ke pemerintah daerah. Sementara dalam RUU EBT, tidak terlihat adanya pembagian tugas pokok dan fungsi secara jelas antara pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah, sehingga, sinergitas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam melakukan perencanaan dan pengelolaan EBT perlu untuk dikaji ulang, utamanya melalui peningkatan fungsi dari pemerintah daerah.
      • F-PKS meminta penegakan hukum yang seadil-adilnya terhadap semua pihak yang melakukan Tindakan pelanggaran terhadap aturan-aturan yang berlaku dalam undang-undangan EBT ini, agar bisa menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum tersebut. Akan tetapi, aturan sanksi tersebut tidak disebutkan secara tegass di dalam RUU EBT, sehingga berpotensi untuk dilanggar oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, F-PKS meminta menambahkan aturan-aturan sanksi khusus terhadap pelanggaran yang dilakukan terhadap RUU ini secara tegas di dalam RUU EBT.

      F-PKS menyatakan menolak dua pasal dalam RUU EBT ini yaitu pasal pasal 40 ayat (1) yang berbunyi “Perusahaan listrik milik negara wajib membeli tenaga listrik yang dihasilkan dari Energi Terbarukan serta pasal 51 ayat (4) yang berbunyi “Dalam hal harga listrik yang bersumber dari Energi Terbarukan lebih tinggi dari biaya pokok penyediaan pembangkit listrik perusahaan listrik milik negara, pemerintah pusat berkewajiban memberikan pengembalian selisis harga energi terbarukan dengan biaya pokok penyediaan pembangkit listrik setempat kepada perusahaan listrik milik negara dan/atau badan usaha tersebut” dalam RUU EBT ini.  F-PKS meminta agar dua pasal ini dihapus dulu sebelum dilanjutkan ke proses dan tahapan berikutnya.

      Fraksi PAN
      • Fraksi PAN menilai perlu adanya kejelasan tujuan dan pengaturan dalam RUU Energ Baru dan Terbarukan terkait dengan UU yang sudah berlaku, seperti UU No 30 Tahun 2007 tentang Energi, UU No, 30 Tahun 2009 tentang ketenagalistrikan, UU No 10 Tahun 1997 tentang ketanaganukliran. Hal ini dilakukan agar tidak melahirkan kerancuan atau dengan kata lain terjadinya tumpeng tindih dalam regulasi. Fraksi PAN juga menilai perlu adanya ketentuan yang mengikat bagi seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) dalam memprioritaskan pengembangan energi baru terbarukan dan berkelanjutan sesuai dengan target kebijakan energi nasional (KEN) dan Rencana Umum Energi Nasinal (RUEN). Target bauran energi baru tera=barukan pada tahun 2025 adalah sebesar 23%, gas bumi sebesar 22%, minyak bumi 25% dan batubara 30%. Pada tahun 2020 bauran energi baru terbarukan tercapai sebesar 11,20%, gas bumi sebesar 19.16%, minyak bumi sebesar 31,60% dan batubara sebesar 38,04%. RUU Energi Baru dan Terbarukan ini harus mampu menjawab tantangan besar yang tertuang dalam KEN tersebut khususnya produksi dan penyerapan energi baru terbarukan.
      • F-PAN melihat terdapat beberapa hal yang perlu diatur dengan seksama dalam RUU EBT ini, diantaranya adalah penjabaran tentang kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pengembangan dan penyediaan energi baru dan terbarukan khususnya penyediaan energi terbarukan (disesuaikan dengan peraturan dan perundang-undangan lainnya yang sudah ada). Fraksi PAN juga meminta agar adanya pengaturan yang jelas mengenai regulasi dan kebijakan terhadap harga energi baru dan terbarukan agar agar ada kepastian dalam investasi dan memastikan pola pengembalian dana investasi energi bari dan terbarukan tersebut serta pengaturan mengenai insentif dan disinsentif baik fiskal dan finansial sesuai kriteria yang telah ditetapkan sehingga memberikan daya Tarik terhadap investasi energi baru dan terbarukan.
      • Terkait dengan nuklir, negara sudah memiliki UU No. 10 /1997 tentang ketenaganukliran, sebagaimana Sebagian substansinya telah diubah dalam UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pemanfaatan Energi nuklir membutuhkan standar keselamatan kerja dan keamanan yang tinggi, serta perlu juga mempertimbangkan dampak bahaya radiasi nuklir terhadap lingkungan hidup. Karena itu, penggunaanya perlu dipertimbangkan sebagai pilihan terakhir. Selain itu, pemanfaatan nuklir perlu juga mempertimbangkan UU tersebut. Salah satu pasal yang terdapat dalam RUU Energi Baru dan Terbarukan ini, Pemerintah Pusat membentuk “badan pengawasn tenaga nuklir”. Dalam hal ini fraksi PAN berpendapt bahwa hal tersebut dianggap tidak perlu karena sudah ada BAPETEN yang mempunyai tugas melaksanakan pemerintahan dibidang pengawasan tenaga nuklir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adanya pembentukan badan baru sangat kontradiksi dengan keadaan saat ini mengingat banyaknya pembekuan dan penghapusan badan/Lembaga negara yang tidak efektif, disamping tentunya akan membebani keuangan negara.
      • Fraksi PAN berpandangan bahwa pengembangan Energi Baru dan Terbarukan haruslah difokuskan pelaksanaanya pada kegiatan ekspor dimana hal ini sesuai dengan tujuan penyelenggaraan energi baru dan terbarukan yakni ketahanan dan kemandirian energi yang tentunya memperhatikan kebutuhan dan ketersediaan energi baru dan terbarukan di dalam negeri.

      Fraksi PAN berharap, konsepsi draft RUU Energi Baru dan Terbarukan ini, nantinya dapat membawa manfaat dan mendorong perekonomian dan kesejateraan seluruh rakyat, mampu memenuhi kebutuhan energi dalam negeri serta dapat secara perlahan menggantikan sumber energi yang selama ini sangat bergantung energi fosil. F-PAN menyetujui atas RUU EBT untuk selanjutnya diteruskan ke badan legislasi sesuai dengan mekanisme peraturan perundang undangan yang berlaku.

      Fraksi PPP
      • F-PPP berpandangan pengembangan energi hijau di Indonesia saat ini masih belum berjalan dengan baik. Sala satu kendalanya, biaya produksi listrik dari pembangkit ramah lingkungan masih lebih tinggi ketimbang pembangkit berbasis energi fosil (batubara). Sebagaimana disampaikan oleh saudara Menteri ESDM Bapak Arifin Tasrfi beberapa waktu yang lalu, “kunci peningkatan pemanfaatan pengembangan energi baru terbarukan (EBT) adalah perbaikan harga tarif listrik agar lebih kompetitif sehingga menarik investor.
      • F-PPP berharap pembahasan RUU EBT dapat dijadikan sebagai momentum pemulihan ekosistem yang rusak, melestarikan ekosistem yang masih utuh, menjaga keanekaragaman hayati dan melakukan penghematan pemakaian energi yang ada agar terus bisa dimanfaatkan oleh mahluk hidup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

       F-PPP menerima dan menyetujui RUU Energi Baru dan Terbarukan untuk dilanjutkan pembahasannya. 

      Contact Us

      Sekretariat Pemantauan

      Jl. Tebet Utara III D No. 12 Jakarta Selatan

      +62 8353626