Nationally Determined Contributions

 

Mengawal DPR, Memastikan Komitmen Indonesia untuk Net Zero Emision

Apa Itu Nationally Determined Contributions (NDC)?

Secara sederhana, NDCs adalah rencana aksi iklim yang ditetapkan oleh setiap negara di bawah Perjanjian Paris. Setiap NDC menguraikan upaya yang akan dilakukan suatu negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim. NDCs bukan sekadar janji, melainkan komitmen formal yang secara berkala ditinjau dan diperbarui.

Timeline NDC Indonesia

Tahun

Peristiwa / Tahapan

Regulasi / Dokumen Terkait

Keterangan Kelembagaan

2009

Komitmen Awal

Pernyataan Presiden RI (COP-15 Kopenhagen)

Komitmen pengurangan emisi 26% (unconditional) & 41% (conditional).

2010

Integrasi awal dalam perencanaan nasional

RPJMN 2010–2014, RAN-GRK (Perpres 61/2011)

Penyusunan Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK).

2015

Penyusunan & Penyampaian INDC

INDC Indonesia (2015)

KLHK memimpin penyusunan; disampaikan ke UNFCCC.

2016

Ratifikasi Paris Agreement

UU No. 16 Tahun 2016

DPR menyetujui ratifikasi; pengesahan oleh Pemerintah.

2017

First NDC Indonesia

First NDC Indonesia (2016)

KLHK sebagai National Focal Point UNFCCC menyampaikan ke UNFCCC.

2018

Penguatan regulasi implementasi

Perpres 71/2011 jo. Perpres 46/2017 (Inventarisasi GRK)

Penguatan sistem MRV (Measurement, Reporting, Verification) nasional.

2019

Pembentukan Kementerian Koordinator baru

Kemenko Marves (dibentuk 2019)

Koordinasi lintas sektor mulai diperkuat.

2020

Penguatan komitmen nasional

Perpres 18/2020 (RPJMN 2020–2024)

NDC mulai diintegrasikan ke dalam dokumen perencanaan pembangunan nasional.

2021

Penyampaian Updated NDC

Updated NDC Indonesia (2021)

KLHK memimpin revisi; penguatan narasi adaptasi & kontribusi sektor kelautan, kesehatan, dll.

2021

Penyusunan LTS-LCCR 2050

Dokumen LTS-LCCR Indonesia

Dokumen strategi jangka panjang menuju Net-Zero 2060 atau lebih cepat.

2022

Enhanced NDC

Enhanced NDC Indonesia (2022)

Target emisi lebih ambisius. Penyusunan intensif oleh KLHK, koordinasi lintas kementerian.

2022

Penguatan kerangka regulasi implementasi

Perpres 98/2021 (Nilai Ekonomi Karbon), SRN PPI

Sistem registri nasional operasional. Dukungan pengembangan pasar karbon.

2023

Operasionalisasi NDC

SRN, FoLU Net Sink 2030 Roadmap, Perpres 21/2023 (FoLU)

KLHK, Bappenas, Kemenkeu, dan K/L sektoral aktif dalam integrasi kebijakan.

2023

Keterlibatan DPR dalam pengawasan

RDP, Rapat Dengar Pendapat dengan KLHK, Kemenkeu

DPR mulai aktif memantau kebijakan FoLU Net Sink, pengembangan NEK, dan pendanaan perubahan iklim.

2024

Persiapan Second NDC

Proses review capaian NDC 2021-2023

KLHK memulai pengkajian Second NDC bersama kementerian/lembaga terkait.

2025

Penyampaian Second NDC

Direncanakan disampaikan ke UNFCCC

Melalui koordinasi nasional antar K/L; DPR berpotensi terlibat dalam pembahasan substantif dan pengawasan.

2030

Tahun Target NDC

Evaluasi akhir capaian NDC pertama.

2050

Target LTS

LTS-LCCR 2050

Basis transisi menuju NZE 2060.

Peran DPR terhadap NDCs

No. Area Peran Penjelasan
1 Persetujuan Ratifikasi Paris Agreement DPR telah memberikan persetujuan politik saat meratifikasi Paris Agreement dengan UU No. 16 Tahun 2016. Dengan itu, DPR turut melahirkan dasar hukum NDC di Indonesia.
2 Pengawasan Substansi NDC Meskipun tidak menyusun NDC, DPR berhak mengawasi isi NDC (ambisi, target, implementasi), memanggil KLHK, Bappenas, Kemenkeu untuk meminta penjelasan terkait capaian atau revisi NDC.
3 Pengawasan Implementasi NDC DPR melakukan pengawasan berkala terhadap: (i) capaian target emisi NDC, (ii) penggunaan anggaran iklim untuk mendukung NDC, (iii) kemajuan program NDC sektor kehutanan, energi, industri, dll.
4 Pengesahan Anggaran untuk NDC DPR mengesahkan APBN dan pengalokasian anggaran pada program-program yang secara substantif merupakan bagian dari implementasi NDC (FoLU Net Sink, energi terbarukan, transisi energi, dst).
5 Legislasi Pendukung NDC DPR membentuk atau mengubah undang-undang yang menjadi kerangka operasional NDC, misalnya: UU EBT, UU Karbon, UU Energi, UU Lingkungan Hidup.
6 Fungsi Representasi DPR dapat menyuarakan aspirasi masyarakat terkait dampak dan beban implementasi NDC (transisi energi, beban subsidi, green jobs, dsb).

Rekomendasi

Untuk DPR

Penguatan Fungsi Legislasi untuk Sinkronisasi Kerangka Hukum Iklim Nasional

Dalam memperkuat pencapaian target NDC, DPR RI memiliki tanggung jawab utama dalam menjalankan fungsi legislasi sebagai wujud nyata dari mandat konstitusionalnya. DPR harus memastikan bahwa agenda legislasi nasional secara sistematis mengintegrasikan isu-isu perubahan iklim dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Penyusunan dan pembahasan rancangan undang-undang di berbagai sektor pembangunan harus mempertimbangkan dampaknya terhadap komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca. DPR perlu mempercepat pembahasan dan pengesahan RUU Keadilan Iklim sebagai undang-undang pokok yang akan menjadi fondasi hukum nasional dalam mengatur prinsip-prinsip keadilan iklim, kewajiban negara, dan perlindungan terhadap kelompok rentan yang terdampak langsung oleh krisis iklim. Lebih lanjut, DPR berkewajiban melakukan harmonisasi terhadap seluruh undang-undang sektoral, seperti undang-undang di bidang kehutanan, energi, pertambangan, lingkungan hidup, serta tata ruang, yang selama ini berpotensi menghasilkan kebijakan yang kontradiktif dengan komitmen iklim nasional. Harmonisasi ini penting untuk memastikan keselarasan arah pembangunan nasional dengan target mitigasi emisi sebagaimana tercantum dalam NDC. Selain penguatan norma substansi, DPR juga harus memastikan adanya pengaturan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran komitmen pengurangan emisi serta insentif yang memadai bagi sektor swasta, pemerintah daerah, maupun komunitas yang menunjukkan praktik baik dalam aksi mitigasi dan adaptasi iklim.

Penguatan Fungsi Pengawasan dalam Proses Penyusunan dan Pembaruan NDC

Dalam proses penyusunan dan pembaruan dokumen NDC, DPR RI memiliki kewenangan pengawasan yang strategis untuk memastikan akuntabilitas proses perumusan kebijakan pemerintah. DPR harus memastikan bahwa seluruh tahapan penyusunan dan pembaruan NDC berjalan secara transparan, partisipatif, dan inklusif. Keterlibatan masyarakat sipil, akademisi, masyarakat adat, kelompok perempuan, pemuda, penyandang disabilitas, serta kelompok rentan lainnya merupakan aspek penting yang harus dijamin melalui fungsi pengawasan DPR. DPR juga harus mengawal proses disagregasi target NDC dari tingkat nasional ke tingkat provinsi dan kabupaten/kota, sehingga pembagian beban dan tanggung jawab antarwilayah dilakukan secara adil, dengan mempertimbangkan kapasitas fiskal, potensi sektoral, serta kearifan lokal masing-masing daerah. Selain itu, DPR harus mengawasi sinkronisasi target aksi antar kementerian/lembaga dan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah agar tidak terjadi konflik antar kebijakan sektoral yang kontraproduktif terhadap komitmen NDC. DPR perlu memastikan bahwa pemerintah menyusun Rencana Anggaran Biaya (RAB) mitigasi dan adaptasi iklim yang terukur, realistis, serta mencerminkan kebutuhan pendanaan yang sesungguhnya, sehingga proses perencanaan dan penganggaran berjalan secara kredibel dalam mendukung pencapaian target NDC.

Penguatan Fungsi Pengawasan Implementasi NDC dalam Kebijakan Lintas Sektor

DPR RI memegang tanggung jawab konstitusional untuk mengawasi implementasi kebijakan perubahan iklim lintas sektor agar sejalan dengan target pengurangan emisi yang telah dikomitmenkan melalui NDC. DPR harus secara aktif melakukan evaluasi kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan sektor energi, kehutanan, pertanian, industri, transportasi, dan tata kelola lahan, guna memastikan tidak ada kebijakan sektoral yang berpotensi melemahkan upaya mitigasi emisi. DPR harus mendorong peninjauan ulang terhadap kebijakan pemberian izin baru pada industri-industri ekstraktif yang masih beroperasi di kawasan hutan primer, gambut, dan ekosistem karbon penting lainnya. Selain pengawasan kebijakan sektoral, DPR juga berkewajiban mengawal peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam pelaksanaan aksi iklim, baik dari sisi sumber daya manusia, kelembagaan, maupun ketersediaan anggaran daerah. Dalam konteks pendanaan, DPR perlu mengawasi pengelolaan seluruh skema pembiayaan iklim, baik dalam bentuk anggaran negara, pendanaan internasional, perdagangan karbon, maupun pembayaran berbasis kinerja, agar dijalankan secara transparan dan akuntabel serta memberikan manfaat langsung kepada masyarakat lokal, termasuk masyarakat adat dan kelompok marjinal. DPR juga memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa pemerintah menegakkan hukum lingkungan secara konsisten dalam rangka penindakan terhadap pelanggaran lingkungan yang menyebabkan kerusakan ekosistem dan peningkatan emisi. Selain itu, DPR harus mendorong percepatan penyelesaian konflik tenurial yang kerap menjadi hambatan dalam implementasi kebijakan mitigasi berbasis lahan. Seluruh upaya ini perlu dijalankan dengan menjunjung tinggi prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) dalam setiap proyek atau kebijakan yang berdampak pada masyarakat lokal.

Penguatan Fungsi Pengawasan Monitoring, Evaluasi, dan Pelaporan Kinerja NDC

Sebagai bagian dari fungsi pengawasan kinerja pemerintah, DPR RI wajib memastikan bahwa sistem monitoring, evaluasi, dan pelaporan (M&E) kinerja NDC berjalan secara transparan, partisipatif, dan akuntabel. DPR perlu mengawasi pembangunan sistem pelaporan kinerja penurunan emisi yang terbuka, dapat diakses publik, dan mampu menyajikan data yang akurat terkait capaian emisi, pelaksanaan program mitigasi dan adaptasi, serta dampak sosial-ekonomi dari kebijakan iklim. Dalam menjalankan pengawasannya, DPR harus menilai apakah indikator-indikator yang digunakan pemerintah dalam mengukur keberhasilan NDC telah mencerminkan tidak hanya aspek teknis pengurangan emisi, tetapi juga aspek keadilan sosial, perlindungan masyarakat rentan, serta manfaat pembangunan berkelanjutan. DPR juga berkewajiban mendorong integrasi dan interoperabilitas sistem informasi iklim nasional yang saat ini tersebar di berbagai platform seperti SIGN SMART, SRN-PPI, dan AKSARA, agar menghasilkan basis data nasional yang konsisten, komprehensif, serta dapat digunakan secara optimal sebagai landasan pengambilan kebijakan berbasis bukti. Setiap hasil monitoring dan evaluasi NDC harus menjadi dasar dalam pengambilan keputusan lanjutan DPR, baik dalam proses legislasi, pengawasan, maupun penganggaran.

Penguatan Fungsi Representasi untuk Meningkatkan Kesadaran dan Kolaborasi Multipihak dalam Implementasi NDC

Sebagai wakil rakyat, DPR RI memikul tanggung jawab penting dalam membangun kesadaran dan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya agenda perubahan iklim dan komitmen NDC. DPR harus mendorong penyelenggaraan edukasi publik secara berkelanjutan, kampanye nasional, serta dialog-dialog terbuka yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat dalam membangun kesadaran kolektif menghadapi ancaman krisis iklim. Selain penguatan edukasi, DPR juga memiliki peran untuk memperluas jejaring kolaborasi multipihak yang melibatkan sektor swasta, dunia usaha, lembaga riset, organisasi masyarakat sipil, dan media, sehingga tercipta sinergi yang kuat dalam mendukung implementasi NDC secara efektif. DPR harus memastikan bahwa setiap kebijakan iklim tidak hanya bersifat top-down, melainkan didorong oleh partisipasi aktif seluruh pemangku kepentingan di tingkat nasional maupun daerah. Dengan memperkuat fungsi representasi ini, DPR turut memastikan bahwa implementasi NDC berjalan dengan prinsip partisipasi, transparansi, akuntabilitas, serta keadilan antar generasi.

DPR harus memastikan terpenuhinya alokasi pendanaan iklim yang memadai dan efektif. Ini berarti DPR mendukung penganggaran program-program prioritas NDC dalam APBN. Selain itu, DPR perlu mengawasi efisiensi penggunaan anggaran iklim dan koordinasi pendanaan iklim yang komprehensif (termasuk dana hibah internasional). Pendekatan climate budget tagging yang sudah diimplementasikan pemerintah dapat dijadikan alat bantu bagi DPR dalam menelaah porsi belanja terkait iklim. Fungsi anggaran DPR juga berarti memastikan keadilan transisi: alokasi dana negara harus adil bagi daerah dan kelompok yang rentan terhadap dampak iklim. Dukungan politik DPR sangat menentukan; studi Pusat Penelitian DPR menegaskan bahwa dorongan anggaran publik dan diplomasi iklim oleh DPR menjadi faktor penting terpenuhinya komitmen NDC Indonesia

Choris Satun Nikmah

Peneliti IPC

DPR memegang peran sentral dalam membentuk landasan hukum bagi aksi iklim. DPR harus memastikan sinkronisasi dan harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan agar sejalan dengan target penurunan emisi NDC. Tanpa kerangka hukum yang jelas, implementasi NDC rentan terhambat atau inkonsisten. DPR diharapkan proaktif menerbitkan legislasi baru atau merevisi UU sektoral untuk memasukkan target dan strategi NDC. Peran ini juga mencakup ratifikasi dan adopsi kebijakan global ke dalam aturan domestik. Dari sudut pandang normatif, DPR memiliki legitimasi demokratis untuk menerjemahkan komitmen internasional ke kebijakan nasional yang berpihak pada kepentingan rakyat. Dengan kata lain, DPR memastikan komitmen NDC memiliki payung hukum yang kuat dan dukungan politik luas.

Arif Adiputro

Peneliti IPC

Regulasi terkait NDC

Jenis Kebijakan Nama Kebijakan Isi Singkat / Relevansi
Undang-Undang UU No. 16 Tahun 2016 Ratifikasi Paris Agreement, dasar hukum utama NDC
Peraturan Presiden Perpres No. 98 Tahun 2021 Kerangka nilai ekonomi karbon untuk capai target NDC
RPJMN RPJMN 2020–2024 Integrasi target NDC dalam rencana pembangunan nasional
Peraturan Presiden Perpres No. 22 Tahun 2017 tentang RUEN Strategi energi nasional dalam mendukung penurunan emisi
Dokumen Internasional (NDC 1) First NDC (2016) Komitmen awal 29%-41% pengurangan emisi pada 2030
Dokumen Internasional (Updated) Updated NDC (2021) Pemutakhiran target dan strategi pencapaian NDC
Dokumen Internasional (Enhanced) Enhanced NDC (2022) Peningkatan target: 31,89%-43,20% pada 2030

Aspek

Nama Regulasi / Dokumen

Isi / Relevansi

Penyusunan NDC

Permen LHK No. P.70/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017

Pedoman inventarisasi GRK untuk MRV target NDC khusus Hutan melalui program REDD+ untuk aksi mitigasi

Penyusunan NDC

Permen LHK No. 21 Tahun 2022

Aturan pelaksanaan Nilai Ekonomi Karbon, termasuk integrasi capaian ke NDC.

Implementasi Pusat-Daerah

Permen LHK No. P.84/MENLHK/SETJEN/KUM.1/11/2016

Pelibatan masyarakat dan daerah melalui ProKlim untuk aksi mitigasi lokal.

Implementasi Pusat-Daerah

Perdirjen PPI No. P.5/PPI/SET/KUM.1/12/2017

Pedoman Penghitungan Emisi Gas Rumah Kaca Untuk Aksi Mitigasi Perubahan Iklim Berbasis Masyarakat

MRV (Monitoring, Reporting, Verification)

Permen LHK P.72/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017

Pedoman Pelaksanaan Pengukuran, Pelaporan Dan Verifikasi Aksi Dan Sumberdaya Pengendalian Perubahan Iklim

MRV (Monitoring, Reporting, Verification)

Permen LHK P.73/Menlhk/Setjen/Kum.1/12/2017

Pedoman Penyelenggaraan dan Pelaporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional

MRV (Monitoring, Reporting, Verification)

Panduan Teknis SRN dan Manual MRV (Ditjen PPI – KLHK)

Panduan teknis operasionalisasi MRV oleh pelaksana sektor dan daerah (non-regulatif).

Strategi Jangka Panjang

LTS–LCCR 2050

Strategi jangka panjang menuju net-zero emission

Permen LHK (NEK)

Permen LHK No. 21/2022

Tata laksana NEK termasuk perdagangan karbon

Permen ESDM (PLTS Atap)

Permen ESDM No. 26/2021

Kebijakan energi surya sebagai upaya transisi energi

Peraturan Pendukung Lain

SK Menteri LHK (Baseline Emisi, dsb)

Penetapan baseline, metodologi perhitungan, dll.

Jenis Dokumen

Nama Regulasi / Dokumen

Isi / Relevansi

SK Dirjen PPI

SK.8/PPI-IGAS/2015

Membentuk tim MRV nasional untuk REDD+, menetapkan metodologi perhitungan emisi sektor kehutanan.

SK Dirjen PPI

SK.8/PPI-IGAS/2019

Penetapan Forest Reference Emission Level (FREL) Sub Nasional (Provinsi).

Permen LHK

Permen LHK No. 12 Tahun 2024

Mengatur strategi implementasi NDC, termasuk pengembangan kapasitas dan penciptaan kondisi pendukung.

Panduan Teknis

Skema Sertifikasi Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia (SPEI)

Menyediakan pedoman teknis untuk sertifikasi pengurangan emisi GRK, termasuk persyaratan validasi dan verifikasi.

Panduan Teknis

Panduan MRV ProKlim

Membimbing pelaksanaan MRV di tingkat lokal melalui Program Kampung Iklim (ProKlim).

Pemetaan Gap Kebijakan NDC di Daerah

FGD Bersama Pemerintah Daerah dan Masyarakat Sipil

Komitmen NDC di Tingkat Provinsi

Beranda
Kalimantan Timur

Implementasi Nationally Determined Contribution (NDC) di Kalimantan Timur: Progres, Tantangan, dan Prospek Menuju Pembangunan Rendah Karbon

I. Pendahuluan

A. Konteks Global dan Komitmen NDC Indonesia

Indonesia telah menunjukkan komitmennya terhadap agenda iklim global dengan meratifikasi Perjanjian Paris melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016. Ratifikasi ini menggarisbawahi upaya Indonesia untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah 2°C, dengan ambisi untuk terus berupaya mencapai 1,5°C di atas tingkat pra-industri (Climate Action Tracker, n.d.; NDC Partnership, n.d.). Komitmen ini diwujudkan melalui Nationally Determined Contributions (NDC), dokumen yang memuat target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dan upaya adaptasi.

Perjalanan target NDC Indonesia telah mengalami evolusi yang signifikan. Pada NDC awal yang diajukan pada tahun 2016, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi GRK sebesar 29% secara tanpa syarat (unconditional) dan 41% secara bersyarat (conditional) terhadap skenario Business-as-Usual (BAU) pada tahun 2030 (APKindo, n.d.; Indonesian Embassy in Berlin, n.d.; IESR, 2024). Ambisi ini kemudian ditingkatkan dalam Enhanced NDC yang diserahkan kepada UNFCCC pada 23 September 2022. Dalam dokumen ini, target tanpa syarat dinaikkan menjadi 31.89% (dari 29%) dan target bersyarat menjadi 43.20% (dari 41%) di bawah BAU. Target ini secara komprehensif mencakup emisi dari sektor penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan, dan kehutanan (LULUCF) (Antaranews, n.d.; IESR, n.d.; IESR, 2024; Tanahair.net, 2025; UNFCCC, 2022). Apabila emisi LULUCF tidak diperhitungkan, target absolut emisi pada tahun 2030 adalah 1.805 MtCO2e untuk target tanpa syarat dan 1.710 MtCO2e untuk target bersyarat (IESR, 2024). Sektor LULUCF sendiri diproyeksikan memberikan kontribusi substansial, hampir 60% dari total pengurangan emisi yang diperlukan untuk memenuhi target NDC, baik yang tanpa syarat maupun bersyarat (IESR, 2024).

Langkah selanjutnya dalam komitmen iklim Indonesia adalah penyusunan draf Second NDC. Dokumen ini, yang dirilis pada Agustus 2024, memperkenalkan target baru untuk tahun 2035 dan penyesuaian kecil untuk target 2030. Hingga Februari 2025, draf ini masih menunggu persetujuan Presiden dan direncanakan akan mencakup target GRK dari sektor kelautan serta sub-sektor hulu minyak dan gas, menunjukkan perluasan cakupan mitigasi (Antaranews, n.d.; Tanahair.net, 2025). Selain itu, Indonesia telah menyampaikan Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050) pada Juli 2021, yang memproyeksikan puncak emisi GRK nasional pada tahun 2030 dan visi untuk mencapai emisi nol bersih (Net Zero Emissions/NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat (Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, n.d.; IESR, 2024; NDC Partnership, n.d.; Tanahair.net, 2025).

Meskipun Indonesia telah menunjukkan peningkatan ambisi numerik dalam target NDC-nya, evaluasi oleh Climate Action Tracker (CAT) mengkategorikan target tanpa syarat dan bersyarat Indonesia sebagai “Critically Insufficient” (Climate Action Tracker, n.d.; IESR, 2024). Penilaian ini mengindikasikan bahwa target-target tersebut masih dapat dicapai dengan kebijakan yang ada saat ini dan belum cukup mendorong aksi iklim yang transformatif sesuai dengan tujuan ambisius Perjanjian Paris. Peningkatan target NDC dan penambahan sektor yang dicakup, seperti kelautan dan hulu migas, memang menunjukkan adanya peningkatan kesadaran nasional dan kemauan politik untuk memperluas cakupan dan ambisi aksi iklim. Ini adalah indikasi positif dari adaptasi kebijakan pemerintah untuk mengintegrasikan lebih banyak sumber emisi ke dalam kerangka mitigasi. Namun, penilaian “Critically Insufficient” dari CAT menggarisbawahi adanya disparitas antara ambisi yang dinyatakan secara numerik dan urgensi tindakan nyata yang diperlukan untuk mencapai tujuan global 1,5°C. Kondisi ini menyoroti tantangan mendasar dalam menerjemahkan komitmen menjadi kebijakan dan implementasi di lapangan yang benar-benar transformatif.

Ketergantungan yang tinggi pada sektor LULUCF, yang diharapkan menyumbang hampir 60% dari target pengurangan emisi, mencerminkan strategi Indonesia yang memanfaatkan keunggulan komparatifnya dalam sumber daya alam, khususnya hutan. Namun, pendekatan ini juga membawa risiko signifikan terhadap pencapaian target keseluruhan. Jika upaya mitigasi di sektor ini terhambat oleh deforestasi yang terus-menerus, kebakaran hutan, atau kendala tata kelola lahan, maka keberhasilan NDC akan sangat rentan. Selain itu, ketergantungan ini dapat mengindikasikan bahwa sektor-sektor lain yang sulit didekarbonisasi, seperti energi dan industri berat, belum mengalami transformasi yang cukup cepat. Hal ini berpotensi menjadi hambatan jangka panjang bagi transisi rendah karbon yang seimbang dan komprehensif.

B. Peran Strategis Kalimantan Timur dalam Pencapaian Target Iklim Nasional

Kalimantan Timur (Kaltim) memegang peran yang sangat strategis dalam upaya Indonesia mencapai target iklim nasional. Provinsi ini telah diakui sebagai “Pilot Project Perubahan Iklim di Indonesia” (Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, n.d.; Al Mikraj, n.d.). Status ini menempatkan Kaltim sebagai laboratorium kebijakan dan implementasi aksi iklim di tingkat sub-nasional. Keberhasilan atau bahkan kegagalan di Kaltim akan memberikan pelajaran berharga dan model bagi provinsi lain di Indonesia, mempercepat pembelajaran dan replikasi praktik terbaik dalam implementasi NDC. Kaltim bukan hanya penerima kebijakan, tetapi juga kontributor aktif dalam pengembangan strategi iklim Indonesia.

Dengan luas kawasan hutan dan gambut yang signifikan, Kaltim memegang peran krusial dalam mencapai target LULUCF nasional (Al Mikraj, n.d.; APKindo, n.d.; IESR, 2024). Sektor ini, yang menjadi penyumbang terbesar emisi GRK di tingkat nasional, juga memiliki potensi penyerapan karbon yang besar. Oleh karena itu, upaya konservasi dan restorasi di Kaltim sangat vital bagi pencapaian target NDC Indonesia.

Selain itu, Kaltim adalah lokasi Ibu Kota Nusantara (IKN), yang dirancang dengan konsep “kota hutan” dan prinsip pembangunan rendah karbon (IKN.go.id, n.d.; Kliksamarinda.com, n.d.). Pembangunan IKN, meskipun berkonsep hijau, secara inheren menimbulkan dilema antara pembangunan ekonomi yang ambisius dan konservasi lingkungan yang ketat. Proyek infrastruktur berskala besar ini berpotensi menyebabkan peningkatan emisi GRK jangka pendek dari aktivitas konstruksi dan perubahan penggunaan lahan, yang dapat bertentangan dengan target pengurangan emisi LULUCF Kaltim. Oleh karena itu, keberhasilan IKN sebagai “kota hutan” akan sangat bergantung pada manajemen lingkungan yang ketat dan komitmen terhadap prinsip rendah karbon sepanjang siklus pembangunannya, bukan hanya pada visi akhirnya. Tantangan ini memerlukan pengelolaan yang cermat untuk memastikan bahwa IKN benar-benar menjadi model pembangunan berkelanjutan.

II. Kerangka Kebijakan dan Kelembagaan di Kalimantan Timur

A. Kebijakan Daerah Pendukung

Kalimantan Timur telah membangun kerangka kebijakan yang kuat untuk mendukung implementasi NDC di tingkat daerah. Salah satu fondasi kelembagaan adalah Peraturan Gubernur (Pergub) Kalimantan Timur Nomor 27 Tahun 2022, yang merupakan perubahan atas Pergub Nomor 9 Tahun 2017 tentang Pembentukan Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) (Peraturan BPK, 2022). Perubahan ini menunjukkan adaptasi kerangka kelembagaan untuk memperkuat pengendalian perubahan iklim di provinsi tersebut.

Selain itu, Peraturan Daerah (Perda) Kaltim Nomor 7 Tahun 2019 tentang Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Kalimantan Timur menjadi dasar hukum penting bagi aksi iklim di provinsi ini (APKindo, n.d.; Peraturan BPK, n.d.; Peraturan BPK, 2024). Perda ini memberikan landasan legal yang komprehensif untuk berbagai inisiatif mitigasi dan adaptasi.

Langkah progresif lainnya adalah penetapan Pergub Kaltim Nomor 25 Tahun 2024 tentang Pedoman Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) di Daerah pada 24 Juni 2024 (Al Mikraj, n.d.; Peraturan BPK, 2024; Peraturan BPK, n.d.). Pergub ini bertujuan untuk mendukung pencapaian target pengurangan emisi GRK nasional melalui berbagai mekanisme pasar, termasuk perdagangan karbon, pembayaran berbasis kinerja (Result-Based Payment/RBP), pungutan karbon, dan mekanisme inovatif lainnya. Dana yang terkumpul dari penyelenggaraan NEK dapat dialokasikan kembali untuk membiayai aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di daerah (Peraturan BPK, 2024). Penetapan Pergub tentang NEK merupakan langkah progresif yang menunjukkan upaya Kaltim untuk menciptakan ekosistem keuangan berkelanjutan di tingkat provinsi. Dengan memungkinkan perdagangan karbon dan pembayaran berbasis kinerja, Kaltim berupaya menarik investasi dan menciptakan insentif ekonomi bagi pengurangan emisi. Ini berpotensi mengurangi ketergantungan pada anggaran pemerintah semata dan mendorong partisipasi sektor swasta serta masyarakat dalam aksi iklim.

Komitmen Kaltim juga tercermin dalam integrasi program-program perubahan iklim ke dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah. Program seperti REDD+ dan Kampung Iklim telah menjadi prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kaltim (Al Mikraj, n.d.; APKindo, n.d.; World Bank, 2024; Desa Batuah, 2024). Dokumen Rencana Pembangunan Daerah (RPD) Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2024-2026 juga secara eksplisit mempertimbangkan kebijakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim serta Rencana Induk IKN (Kliksamarinda.com, n.d.; IKN.go.id, n.d.). Adanya seperangkat regulasi provinsi yang spesifik (Pergub, Perda) dan integrasinya ke dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah (RPJMD/RPD) menunjukkan komitmen kuat dan kerangka tata kelola yang terdesentralisasi untuk aksi iklim di Kaltim. Ini melampaui sekadar kepatuhan terhadap mandat nasional, memungkinkan provinsi untuk menyesuaikan strategi dengan konteks lokal dan mempercepat implementasi. Kerangka hukum yang kuat ini menjadi fondasi penting bagi aksi yang efektif di tingkat daerah.

B. Peran DDPI dan Tata Kelola

Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) di Kalimantan Timur berfungsi sebagai lembaga adhoc yang vital, dibentuk oleh Gubernur Kaltim dan diakui sebagai “otak” di balik Program Kaltim Hijau (Niaga.Asia, n.d.). Mandat utama DDPI mencakup peningkatan kualitas dan ambisi NDC di tingkat daerah, integrasi NDC ke dalam perencanaan dan penganggaran nasional, serta peningkatan koordinasi antarpihak terkait perubahan iklim (NDC Partnership, n.d.; Niaga.Asia, n.d.).

Struktur keanggotaan DDPI dirancang untuk memfasilitasi kolaborasi multi-pihak. DDPI diketuai langsung oleh Gubernur Kalimantan Timur dan beranggotakan perwakilan dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), Perguruan Tinggi, dan Mitra Pembangunan. Untuk mengoptimalkan fungsinya, DDPI juga memiliki Kelompok Kerja (Pokja) khusus yang berfokus pada Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim (Peraturan BPK, 2022). Komposisi DDPI yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan dan kepemimpinan langsung oleh Gubernur mencerminkan model tata kelola kolaboratif yang didukung secara politis. Hal ini memungkinkan DDPI untuk berfungsi sebagai platform koordinasi yang efektif, mengintegrasikan berbagai perspektif dan sumber daya yang diperlukan untuk mengatasi tantangan perubahan iklim yang kompleks. Sinergi dari banyak pihak, ditambah dengan legitimasi dan daya dorong politik dari Gubernur, sangat krusial untuk keberhasilan inisiatif lintas sektor.

Cakupan kerja DDPI tidak hanya terbatas pada lingkup internal Kaltim, tetapi juga meluas ke ranah internasional (Niaga.Asia, n.d.). Fokus DDPI pada keterlibatan internal dan eksternal menunjukkan ambisi Kaltim untuk tidak hanya mengimplementasikan tetapi juga memimpin dalam aksi iklim di tingkat regional dan internasional. Keterlibatan ini dapat memfasilitasi akses terhadap dukungan internasional, seperti pendanaan dan transfer teknologi, serta pertukaran pengetahuan dan praktik terbaik. Namun, hal ini juga menuntut kapasitas yang kuat dalam diplomasi iklim dan manajemen proyek internasional di tingkat provinsi. Kaltim secara aktif mencari kemitraan dan berupaya menjadi pemain kunci dalam upaya iklim global, menandakan kedewasaan dalam tata kelola iklim provinsi.

III. Inisiatif dan Program Mitigasi Perubahan Iklim Sektoral

A. Sektor Kehutanan dan Penggunaan Lahan Lainnya

Sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (FOLU) merupakan komponen krusial dalam upaya mitigasi perubahan iklim di Indonesia. Secara nasional, sektor ini adalah penyumbang emisi GRK terbesar, mencapai 50%, dengan tambahan 13% dari kebakaran hutan dan lahan gambut (Al Mikraj, n.d.; Berkas DPR, 2021). Mengingat besarnya kontribusi ini, sektor FOLU diharapkan dapat menyumbang hampir 60% dari target pengurangan emisi NDC Indonesia (IESR, 2024).

Untuk mencapai target ambisius ini, Indonesia telah meluncurkan kebijakan Indonesia’s FOLU Net Sink 2030, yang menargetkan penyerapan bersih sebesar -140 juta ton CO2e pada tahun 2030 dan -304 juta ton CO2e pada tahun 2050, sebagai bagian dari visi Net Zero Emission nasional pada tahun 2060 atau lebih cepat (Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, n.d.; IESR, 2024; Tanahair.net, 2025). Menanggapi kebijakan nasional, Provinsi Kalimantan Timur telah menyusun Dokumen Rencana Kerja Aksi Mitigasi Perubahan Iklim Sub-Nasional Kaltim untuk periode 2023–2030, yang secara spesifik mencakup mitigasi pada sektor kehutanan dan lahan (Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, n.d.).

Kalimantan Timur telah menjadi provinsi percontohan untuk program Forest Carbon Partnership Facility(FCPF) Carbon Fund World Bank, sebuah inisiatif REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) yang berbasis pembayaran kinerja (Al Mikraj, n.d.; BPDLH, 2025; CIFOR, n.d.; Desa Batuah, 2024; Neliti, 2020). Program ini menargetkan pengurangan 22 juta ton emisi karbon antara Juni 2019 dan 2024 (CIFOR, n.d.). Kaltim tidak hanya memenuhi, tetapi melampaui target ini dengan keberhasilan mengurangi emisi sebesar 34.278.664,90 ton CO2e pada periode 2019-2020. Angka ini jauh melampaui ambang batas minimum 5 juta ton CO2e yang disyaratkan untuk pembayaran, menghasilkan surplus pengurangan emisi (Al Mikraj, n.d.; Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, n.d.). Sebagai hasilnya, pada tahun 2023, Kaltim menerima pembayaran berbasis kinerja sebesar USD 20,9 juta (setara sekitar Rp 300 miliar) dari Bank Dunia, menjadikannya provinsi pertama di Asia Tenggara yang menerima dana karbon (Al Mikraj, n.d.; Desa Batuah, 2024). Dana ini dialokasikan ke berbagai kabupaten/kota dan masyarakat adat di Kaltim, dengan pembagian yang mempertimbangkan luasan hutan yang dijaga, kegiatan yang dilakukan, tingkat kesulitan akses, dan bobot program (Desa Batuah, 2024). Kaltim berpotensi memperoleh total USD 110 juta dari program FCPF hingga tahun 2024 (Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, n.d.). Keberhasilan Kaltim dalam melampaui target pengurangan emisi FOLU dan menerima pembayaran berbasis kinerja dari Bank Dunia secara konkret menunjukkan efektivitas mekanisme insentif finansial dalam mendorong aksi mitigasi di tingkat sub-nasional. Ini memvalidasi model REDD+ dan FCPF sebagai alat yang ampuh untuk konservasi hutan dan pengurangan emisi, sekaligus meningkatkan kredibilitas Kaltim sebagai mitra iklim internasional.

Meskipun ada capaian signifikan dan pendanaan internasional, dinamika laju deforestasi di Kaltim masih menunjukkan fluktuasi. Laju deforestasi mengalami penurunan drastis pada 2019-2020 (10.660 ha), namun kembali meningkat pada 2020-2021 (20.924 ha), lalu menurun lagi pada 2021-2022 (13.758 ha) (Al Mikraj, n.d.). Fluktuasi ini mengindikasikan adanya tekanan fundamental yang persisten terhadap kawasan hutan dan lahan. Hal ini menunjukkan bahwa upaya mitigasi yang berhasil di tingkat proyek, seperti FCPF, dapat diimbangi oleh faktor-faktor pendorong deforestasi yang lebih besar, seperti ekspansi perkebunan kelapa sawit, aktivitas pertambangan, atau pembangunan IKN. Kondisi ini memerlukan koherensi kebijakan yang lebih kuat dan penegakan hukum yang lebih efektif untuk mencapai pengurangan emisi jangka panjang yang berkelanjutan. Inisiatif lain di sektor ini termasuk perpanjangan moratorium izin konsesi kehutanan baru (2015-2017) (Indonesian Embassy in Berlin, n.d.), target restorasi lahan gambut (2 juta hektar secara nasional) (Tanahair.net, 2025; Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, n.d.), dan rehabilitasi lahan terdegradasi (12 juta hektar secara nasional) (Tanahair.net, 2025).

B. Sektor Energi

Sektor energi merupakan salah satu pilar penting dalam pencapaian target NDC Indonesia. Secara nasional, Indonesia menargetkan peningkatan penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) dari 17% menjadi 23% pada tahun 2025 dan 29% pada tahun 2030 dari total konsumsi energi (Indonesian Embassy in Berlin, n.d.). Namun, bauran EBT nasional saat ini masih sekitar 14%, jauh di bawah target 2025 (IESR, 2024). Rencana energi nasional yang dirilis pada 2018 bahkan masih menunjukkan penambahan 27 GW Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara dalam 10 tahun ke depan, berbanding 15 GW EBT, dengan pengurangan rencana gas dan EBT demi batu bara (Indonesian Embassy in Berlin, n.d.).

Meskipun demikian, Kalimantan Timur memiliki potensi EBT yang melimpah dan secara aktif berupaya memanfaatkannya. Potensi EBT di Kaltim meliputi: energi air sebesar 16.844 GW (bersama Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah), dengan potensi minihidro dan mikrohidro sebesar 3.562 GW (Kompas.com, 2024; Listrik Indonesia, n.d.); energi surya sebesar 13.47 GW, dengan iradiasi surya rata-rata lebih dari 4,8 kWh/m2/hari (IESR, 2024; Kompas.com, 2024; Listrik Indonesia, n.d.); energi angin sebesar 212 MW (Kompas.com, 2024; Listrik Indonesia, n.d.); dan panas bumi sebesar 17 MW (Kompas.com, 2024; Listrik Indonesia, n.d.).

Beberapa proyek EBT unggulan di Kaltim menunjukkan komitmen provinsi ini terhadap transisi energi bersih. Salah satunya adalah Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batoq Kelo berkapasitas 300 MW. PT PLN (Persero) telah menandatangani Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) untuk pembangunan PLTA ini dengan target operasi pada tahun 2030. PLTA Batoq Kelo diharapkan menjadi salah satu PLTA terbesar yang dikembangkan di luar Pulau Jawa dan mampu menurunkan emisi karbon secara signifikan, sekaligus memperkuat posisi Kalimantan sebagai pusat energi hijau nasional (Listrik Indonesia, 2025; PLN, 2025). Selain itu, groundbreaking Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) IKN 50 MW di Kabupaten Penajam Paser Utara (Kaltim) dilakukan pada November 2023. Proyek ini merupakan bagian integral dari konsep “kota hutan” IKN, yang bertujuan menyediakan listrik bersih dan infrastruktur bawah tanah (Espos.id, 2024; Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, 2023).

Meskipun tren kebijakan energi nasional masih menunjukkan ketergantungan pada batu bara, Kaltim secara aktif memanfaatkan potensi EBT-nya yang besar melalui proyek-proyek berskala signifikan seperti PLTA Batoq Kelo dan PLTS IKN. Hal ini mengindikasikan komitmen provinsi yang kuat untuk transisi energi bersih dan diversifikasi bauran energi, yang krusial untuk mencapai target NDC di sektor energi dan mengurangi jejak karbonnya. Pembangunan proyek EBT berskala besar di Kaltim, khususnya yang terkait dengan IKN, menunjukkan bahwa IKN tidak hanya menjadi pusat pembangunan fisik tetapi juga katalisator untuk inovasi dan investasi dalam infrastruktur hijau. Ini berpotensi menjadikan Kaltim sebagai model regional untuk pembangunan kota yang berkelanjutan dan rendah karbon, menarik lebih banyak investasi dan keahlian di masa depan.

C. Sektor Limbah dan Pertanian Berkelanjutan

Sektor limbah dan pertanian berkelanjutan juga merupakan bagian integral dari NDC Indonesia, bersama dengan energi, kehutanan, dan proses industri serta penggunaan produk (IPPU) (Antaranews, n.d.; NDC Partnership, n.d.; Tanahair.net, 2025).

Pada sektor limbah, target nasional untuk pengurangan emisi adalah 1.4% (tanpa syarat) hingga 1.5% (bersyarat) di bawah BAU (APKindo, n.d.). Kalimantan Timur telah mengimplementasikan inisiatif melalui Green Growth Compact (GGC) yang mencakup pembangunan perkebunan berkelanjutan yang juga menangani pengelolaan limbah. Upaya ini termasuk penangkapan gas metana yang dihasilkan dari limbah cair pabrik kelapa sawit dan pemanfaatan limbah biomassa sebagai sumber energi terbarukan (Neliti, 2020).

Di sektor pertanian berkelanjutan, target nasional adalah pengurangan emisi sebesar 0.3% (tanpa syarat) hingga 0.4% (bersyarat) di bawah BAU (APKindo, n.d.). Dinas Pangan, Tanaman Pangan, dan Hortikultura (DPTPH) Kaltim secara aktif mendorong praktik pertanian ramah lingkungan untuk menekan emisi GRK. Ini mencakup penggunaan pupuk organik untuk menjaga kesehatan tanah, pengurangan penggunaan pestisida kimia untuk meminimalkan zat berbahaya, dan penerapan pengendalian hama terpadu sebagai pendekatan holistik (Infosatu.co, 2025). Mengingat luas lahan pertanian dan kehutanan yang besar, Kaltim memiliki posisi strategis untuk mengembangkan pertanian rendah emisi (Infosatu.co, 2025).

Salah satu program unggulan yang melibatkan partisipasi masyarakat adalah Program Kampung Iklim (ProKlim). Program ini mendorong keterlibatan masyarakat dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Kaltim telah mengintegrasikan ProKlim dengan REDD+ ke dalam perencanaan tata ruang dan pembangunan desa. Pada tahun 2021, sebanyak 99 desa di Kaltim telah berkomitmen dalam program REDD+ melalui ProKlim (Al Mikraj, n.d.; Neliti, 2020; YKAN, n.d.). Inisiatif Kaltim dalam pengelolaan limbah dan pertanian berkelanjutan menunjukkan pendekatan holistik dan multi-sektoral terhadap mitigasi GRK yang melibatkan aktor non-negara. Hal ini penting karena emisi dari sektor-sektor ini seringkali tersebar dan memerlukan solusi yang disesuaikan secara lokal, melengkapi upaya di sektor-sektor besar seperti kehutanan dan energi. Keterlibatan masyarakat lokal melalui program seperti Kampung Iklim menunjukkan pengakuan akan pentingnya kearifan lokal dan partisipasi akar rumput dalam mencapai tujuan iklim. Pendekatan bottom-up ini dapat meningkatkan keberlanjutan dan efektivitas program mitigasi dan adaptasi dengan membangun kepemilikan lokal dan mengintegrasikan praktik-praktik tradisional yang ramah lingkungan.

D. Inisiatif Industri Rendah Karbon

Sektor Proses Industri dan Penggunaan Produk (IPPU) merupakan salah satu dari lima sektor yang dicakup dalam NDC Indonesia (Antaranews, n.d.; NDC Partnership, n.d.; Tanahair.net, 2025), dengan target pengurangan emisi sebesar 0.10% (tanpa syarat) hingga 0.11% (bersyarat) di bawah BAU (APKindo, n.d.). Di Kalimantan Timur, beberapa perusahaan besar di sektor industri telah menunjukkan komitmen terhadap dekarbonisasi.

Pupuk Kaltim, misalnya, telah menetapkan target ambisius untuk mencapai emisi nol bersih (net-zero emissions) pada tahun 2060 (Antaranews, 2025). Perusahaan ini telah berhasil mengurangi penggunaan batu bara, memangkas 59.000 ton emisi per tahun, dan terus mengembangkan inovasi untuk transformasi hijau serta memperkuat penerapan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) (Antaranews, 2025). Selain itu, Pupuk Kaltim juga sedang membangun pabrik soda ash pertama di Indonesia, menandai langkah maju dalam industri yang lebih berkelanjutan (Antaranews, 2025).

Industri semen di Kaltim juga menunjukkan minat untuk berinvestasi dalam fasilitas produksi baru guna mendukung pembangunan IKN (UOBAM, 2024). Industri ini secara progresif beralih dari penggunaan batu bara ke bahan bakar rendah karbon seperti biomassa, Refuse Derived Fuel (RDF), dan elektrifikasi yang ditenagai oleh PLTS atau jaringan listrik nasional. Penggunaan biomassa telah meningkatkan Thermal Substitution Rate (TSR) menjadi 7.8% pada tahun 2022, dengan proyeksi mencapai 19.82% pada tahun 2030. Setiap 1% peningkatan TSR dapat mengurangi 2-3 kgCO2e per ton semen yang diproduksi (UOBAM, 2024).

Sektor perkebunan kelapa sawit juga berkontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kaltim (YKAN, 2022). Upaya pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan mencakup penangkapan gas metana dari limbah cair pabrik dan pemanfaatan biomassa sebagai energi terbarukan (Neliti, 2020). Beberapa perusahaan di Kaltim telah memperoleh sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil), menunjukkan komitmen terhadap praktik berkelanjutan (Perpustakaan Kementerian Lingkungan Hidup, n.d.).

Di sektor pertambangan, beberapa perusahaan batu bara besar seperti Indika Energy dan Adaro Energy telah berkomitmen mencapai net-zero pada tahun 2050 atau 2060 (Ember, 2024). Namun, perlu dicatat bahwa emisi metana dari tambang batu bara (Coal Mine Methane/CMM) seringkali belum secara eksplisit dicakup dalam rencana mitigasi mereka (Ember, 2024). Meskipun beberapa perusahaan di Kaltim memproduksi batu bara dengan karakteristik yang lebih ramah lingkungan (rendah abu, nitrogen, dan sulfur) (Adaro Andalan Indonesia, n.d.), kurangnya cakupan emisi metana dari tambang batu bara (CMM) dalam rencana mitigasi mereka menunjukkan kesenjangan kritis dalam strategi dekarbonisasi industri. Metana adalah GRK yang sangat kuat, dan pengabaiannya dapat secara signifikan mengurangi efektivitas upaya pengurangan emisi secara keseluruhan. Hal ini menyoroti kebutuhan akan pendekatan yang lebih komprehensif terhadap semua jenis GRK dan regulasi yang lebih ketat untuk memastikan akuntabilitas penuh dari sektor industri.

Komitmen perusahaan-perusahaan besar di Kaltim terhadap target net-zero dan praktik rendah karbon menunjukkan peningkatan kesadaran dan partisipasi sektor swasta dalam agenda dekarbonisasi. Hal ini krusial mengingat intensitas emisi di sektor industri dan ekstraktif, dan menandakan bahwa insentif regulasi, tekanan pasar, dan pertimbangan ESG mulai mendorong perubahan perilaku korporasi.

IV. Inisiatif dan Program Adaptasi Perubahan Iklim

A. Strategi Adaptasi di Sektor Kunci

Kalimantan Timur telah mengintegrasikan strategi adaptasi perubahan iklim ke dalam kerangka kebijakan daerahnya, terutama melalui Peraturan Daerah (Perda) Kaltim Nomor 7 Tahun 2019 (Peraturan BPK, n.d.). Perda ini menguraikan upaya adaptasi yang komprehensif, mencakup berbagai sektor kunci untuk membangun ketahanan provinsi terhadap dampak perubahan iklim.

Strategi adaptasi di Kaltim meliputi:

  • Ketahanan Ekonomi: Upaya ini berfokus pada dukungan terhadap ketahanan pangan melalui pengembangan sistem data yang lebih baik, promosi tanaman bernilai ekonomi, optimalisasi pemanfaatan limbah organik dan biomassa untuk energi, serta pengembangan bioenergi (Peraturan BPK, n.d.). Dinas Pangan, Tanaman Pangan, dan Hortikultura (DPTPH) Kaltim juga aktif mendorong pertanian berkelanjutan yang ramah lingkungan untuk menjaga kesehatan ekosistem dan ketahanan pangan (Infosatu.co, 2025).
  • Ketahanan Sistem Kehidupan: Perda ini menekankan penguatan sektor kesehatan, pemukiman, dan infrastruktur untuk memastikan masyarakat dan fasilitas vital dapat menahan dan pulih dari dampak iklim (Peraturan BPK, n.d.).
  • Ketahanan Ekosistem dan Wilayah Khusus: Meliputi pengelolaan berkelanjutan kawasan lahan basah, penguatan kawasan perkotaan melalui percepatan pencapaian status kota tangguh dan sekolah tangguh bencana, serta integrasi upaya adaptasi ke dalam rencana penataan ruang perkotaan (Peraturan BPK, n.d.).

Strategi adaptasi Kaltim yang terintegrasi di berbagai sektor menunjukkan pemahaman yang mendalam tentang sifat multidimensional dampak perubahan iklim. Pendekatan komprehensif ini bertujuan untuk membangun ketahanan sistemik, bukan hanya respons reaktif, yang sangat penting bagi provinsi yang rentan terhadap berbagai risiko iklim. Integrasi adaptasi ke dalam perencanaan tata ruang perkotaan dan fokus pada “kota tangguh” sangat relevan dengan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Ini menunjukkan upaya proaktif untuk membangun ketahanan iklim ke dalam infrastruktur dan perencanaan kota baru sejak awal, yang dapat menjadi model bagi pembangunan perkotaan berkelanjutan di Indonesia. Namun, tantangan untuk menerapkan hal serupa di kota-kota yang sudah ada, dengan infrastruktur dan tata ruang yang telah mapan, tetap besar dan memerlukan strategi serta sumber daya yang berbeda.

B. Proyek Adaptasi Spesifik

Selain kerangka kebijakan yang luas, Kalimantan Timur juga mengimplementasikan proyek-proyek adaptasi spesifik yang inovatif. Salah satu contoh menonjol adalah proyek Adaptation Fund di Samarinda (Kemitraan, n.d.).

Proyek ini bertujuan untuk mengembangkan infrastruktur adaptasi banjir sebagai tipologi baru ruang publik. Idenya adalah menciptakan ruang publik yang tidak hanya berfungsi sebagai area rekreasi atau sosial, tetapi juga sebagai infrastruktur multifungsi yang dapat melindungi dari dampak banjir. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang adaptasi perubahan iklim, menyediakan fondasi konkret untuk ketahanan terhadap krisis iklim, dan secara langsung mendukung masyarakat lokal selama kejadian banjir dengan berfungsi sebagai tempat berlindung yang aman (Kemitraan, n.d.).

Pendekatan inovatif proyek ini berfokus pada ruang publik sebagai infrastruktur ideal untuk beradaptasi dengan tantangan perubahan iklim melalui elemen-elemen perkotaan utama. Ini juga merupakan sarana efektif untuk melibatkan komunitas perkotaan dan memfasilitasi pendidikan perubahan iklim, membangun kapasitas lokal dalam menghadapi krisis iklim (Kemitraan, n.d.). Proyek ini didanai oleh Adaptation Fund dan dilaksanakan melalui kemitraan antara Universitas Tujuh Belas Agustus (UNTAG) Surabaya dan Queensland University of Technology (QUT) (Kemitraan, n.d.). Dengan anggaran sebesar USD 824.835, proyek ini berlangsung dari 21 November 2022 hingga 20 Mei 2024 (Kemitraan, n.d.).

Proyek Adaptation Fund di Samarinda yang berfokus pada “infrastruktur adaptasi banjir sebagai tipologi baru ruang publik” merupakan contoh inovasi dalam strategi adaptasi perkotaan. Ini menggabungkan fungsi mitigasi fisik dengan manfaat sosial dan ekologis, menciptakan solusi multi-fungsi yang tidak hanya melindungi dari dampak iklim tetapi juga meningkatkan kualitas hidup dan kesadaran masyarakat. Keterlibatan mitra akademik internasional (QUT) dalam proyek ini menunjukkan komitmen Kaltim untuk memanfaatkan keahlian global dan penelitian mutakhir dalam mengembangkan solusi adaptasi. Transfer pengetahuan dan pembangunan kapasitas yang terjadi melalui kemitraan semacam ini sangat penting untuk meningkatkan efektivitas strategi adaptasi dan memastikan replikabilitasnya di wilayah lain, memposisikan Kaltim sebagai pusat inovasi iklim.

V. Progres dan Capaian Implementasi NDC di Kalimantan Timur

A. Data dan Tren Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK)

Kalimantan Timur telah menunjukkan progres yang signifikan dalam upaya pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK), khususnya di sektor Kehutanan dan Penggunaan Lahan Lainnya (FOLU). Provinsi ini berhasil mengurangi emisi sebesar 34.278.664,90 ton CO2e pada periode 2019-2020 (Al Mikraj, n.d.; Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, n.d.). Angka ini jauh melampaui target minimum 5 juta ton CO2e yang disyaratkan untuk pembayaran berbasis kinerja dari Bank Dunia, dan bahkan melebihi target 22 juta ton CO2e yang ditetapkan hingga tahun 2024 dalam program FCPF Carbon Fund (Al Mikraj, n.d.; BPDLH, 2025; Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, n.d.). Capaian ini menghasilkan surplus pengurangan emisi bagi Kaltim (Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, n.d.). Keberhasilan Kaltim yang tidak hanya memenuhi, tetapi melampaui target pengurangan emisi yang ditetapkan, terutama di sektor FOLU yang krusial, memberikan bukti nyata keberhasilan aksi iklim di tingkat sub-nasional. Capaian ini tidak hanya memperkuat posisi Kaltim sebagai pemimpin dalam pembangunan rendah karbon tetapi juga memberikan validasi penting bagi mekanisme pembayaran berbasis kinerja dan potensi replikasi di wilayah lain.

Komitmen Kaltim terhadap transparansi dan akuntabilitas dalam pelaporan iklim juga terlihat dari ketersediaan data emisi GRK Provinsi Kaltim untuk periode 2021-2023 (Kaltimprov.go.id, 2025). Selain itu, laporan kinerja dari Dinas Lingkungan Hidup provinsi juga tersedia (Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Timur, n.d.). Ketersediaan data emisi GRK provinsi secara berkala dan laporan kinerja dari Dinas Lingkungan Hidup menunjukkan komitmen terhadap transparansi dan akuntabilitas dalam pelaporan iklim. Pendekatan berbasis data ini memungkinkan pemantauan yang efektif, evaluasi yang akurat, dan penyesuaian strategi yang adaptif, yang semuanya penting untuk mengoptimalkan implementasi NDC di masa depan.

Sebagai perbandingan, secara nasional, total reduksi emisi GRK pada tahun 2022 mencapai 466.569.122 tCO2e, atau 42% di bawah BAU. Sektor FOLU berkontribusi sebesar 27.37% dari total reduksi tersebut, sementara sektor limbah menyumbang 1.23% (DJPPI – KLHK, n.d.).

B. Mekanisme Pendanaan dan Pembayaran Berbasis Kinerja

Keberhasilan Kaltim dalam pengurangan emisi telah membuka pintu bagi mekanisme pendanaan inovatif. Provinsi ini menerima pembayaran sebesar USD 20,9 juta dari FCPF Carbon Fund Bank Dunia pada tahun 2023 sebagai imbalan atas pengurangan emisi yang terverifikasi selama periode 2019-2020 (Al Mikraj, n.d.; Desa Batuah, 2024). Potensi pendanaan lebih lanjut juga sangat besar, dengan Kaltim berpotensi memperoleh total USD 110 juta pembayaran berbasis kinerja dari program FCPF dengan target pengurangan 22 juta ton CO2e hingga tahun 2024 (Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, n.d.).

Dana karbon yang diterima ini tidak hanya disimpan di tingkat provinsi, tetapi dialokasikan secara strategis ke berbagai kabupaten/kota dan masyarakat adat di Kaltim. Pembagian dana didasarkan pada faktor-faktor seperti luasan hutan yang dijaga, jenis kegiatan yang dilakukan, tingkat kesulitan akses, dan bobot program (Desa Batuah, 2024). Keberhasilan Kaltim dalam menarik dan mengelola pembayaran berbasis kinerja dari Bank Dunia menegaskan potensi besar model pendanaan iklim yang mengaitkan insentif finansial dengan hasil mitigasi yang terukur. Ini tidak hanya memberikan sumber daya vital tetapi juga menciptakan preseden positif untuk pembiayaan iklim yang berorientasi pada kinerja, yang dapat direplikasi di tingkat nasional dan internasional.

Untuk memperkuat kerangka pendanaan ini, Pemerintah Provinsi Kaltim telah menerbitkan Pergub Kaltim Nomor 25 Tahun 2024 tentang Pedoman Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Pergub ini memungkinkan berbagai mekanisme pasar, termasuk perdagangan karbon, pembayaran berbasis kinerja, pungutan karbon, dan mekanisme lain. Dana yang diperoleh dari perdagangan karbon dapat digunakan secara spesifik untuk membiayai aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di daerah (Peraturan BPK, 2024).

Meskipun ada keberhasilan dalam menarik dana internasional, tantangan dalam pendanaan masih ada. Keterbatasan pendanaan lokal merupakan kelemahan yang dihadapi dalam pelaksanaan program seperti REDD+. Dana internasional mungkin tidak selalu cukup untuk menutupi seluruh biaya yang diperlukan, dan proses pencairan dana dari internasional dapat memakan waktu yang panjang (Al Mikraj, n.d.). Tantangan yang disebutkan mengenai “keterbatasan pendanaan” dan “proses pencairan dana yang panjang” menunjukkan bahwa mekanisme pendanaan iklim, meskipun inovatif, masih menghadapi hambatan birokrasi dan kapasitas di tingkat implementasi. Hal ini menyoroti perlunya penyederhanaan prosedur, peningkatan kapasitas manajemen keuangan di tingkat lokal, dan diversifikasi sumber pendanaan untuk memastikan aliran dana yang stabil dan berkelanjutan untuk aksi iklim.

VI. Tantangan dan Peluang dalam Implementasi NDC

A. Tantangan Internal

Implementasi NDC di Kalimantan Timur, meskipun menunjukkan progres yang menjanjikan, masih menghadapi sejumlah tantangan internal yang perlu diatasi. Salah satu kendala utama adalah keterbatasan kapasitas pemerintah daerah dalam menyusun rencana teknis yang detail dan komprehensif (ACTIA, 2025). Hal ini diperparah oleh kekurangan tenaga ahli yang menyebabkan permasalahan di setiap sektor tidak selalu menemukan solusi yang tuntas dan cenderung bias dalam penyelesaiannya (Al Mikraj, n.d.). Keterbatasan kapasitas teknis dan kekurangan tenaga ahli di tingkat daerah secara kolektif menunjukkan defisit kapasitas kelembagaan yang sistemik. Ini merupakan hambatan mendasar yang dapat memperlambat laju implementasi NDC, bahkan dengan kebijakan yang kuat. Oleh karena itu, investasi dalam pembangunan kapasitas sumber daya manusia dan penguatan struktur koordinasi adalah prasyarat untuk akselerasi aksi iklim.

Selain itu, koordinasi antar sektor seringkali rentan tumpang tindih (ACTIA, 2025). Sistem koordinasi antar pemangku kepentingan, termasuk pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat lokal, seringkali tidak efektif karena adanya perbedaan prioritas dan keterbatasan lembaga pendukung (Al Mikraj, n.d.). Tantangan koordinasi ini dapat menghambat sinergi program dan efisiensi alokasi sumber daya.

Aspek pendanaan lokal juga menjadi kelemahan. Meskipun Kaltim berhasil menarik dana internasional, aliran dana tersebut mungkin tidak cukup untuk menutupi seluruh biaya yang diperlukan untuk program-program iklim yang berkelanjutan. Ditambah lagi, proses pencairan dana dari internasional dapat memakan waktu yang panjang, memperlambat pelaksanaan inisiatif di lapangan (Al Mikraj, n.d.).

Lebih mendalam, konflik antara kepemilikan lahan yang melibatkan masyarakat adat, perusahaan, dan pemerintah, serta permasalahan perizinan, merupakan hambatan signifikan (Al Mikraj, n.d.). Permasalahan ini diperparah oleh penegakan hukum yang lemah terhadap aktivitas ilegal seperti penebangan liar, dengan 272 kasus tercatat di Kaltim pada tahun 2020 (Al Mikraj, n.d.). Konflik lahan dan penegakan hukum yang lemah terhadap aktivitas ilegal mengungkapkan akar masalah tata kelola yang lebih dalam yang secara langsung mengancam keberlanjutan upaya mitigasi LULUCF. Tanpa penyelesaian konflik tenurial yang adil dan penegakan hukum yang tegas, insentif dari program seperti REDD+ dapat tergerus, dan deforestasi akan terus menjadi tantangan. Hal ini menunjukkan bahwa aksi iklim tidak dapat dipisahkan dari reformasi tata kelola lahan dan keadilan sosial.

B. Tantangan Eksternal

Di samping tantangan internal, Kaltim juga menghadapi tekanan eksternal yang memengaruhi implementasi NDC-nya. Dinamika laju deforestasi yang berfluktuasi menunjukkan adanya tekanan eksternal yang terus-menerus terhadap kawasan hutan Kaltim (Al Mikraj, n.d.). Tekanan ini seringkali berasal dari ekspansi sektor ekonomi ekstraktif seperti perkebunan kelapa sawit dan pertambangan, yang dapat menyebabkan perubahan penggunaan lahan dan degradasi hutan.

Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kaltim, meskipun dirancang dengan konsep hijau, secara inheren menimbulkan dilema antara pembangunan ekonomi dan konservasi lingkungan. Proyek infrastruktur berskala besar seperti IKN berpotensi menyebabkan peningkatan emisi GRK jangka pendek dari aktivitas konstruksi dan perubahan penggunaan lahan. Hal ini dapat bertentangan dengan target pengurangan emisi LULUCF Kaltim, terutama jika manajemen lingkungan yang ketat tidak diterapkan secara konsisten sepanjang siklus pembangunan.

Tantangan ini menyoroti perlunya koherensi kebijakan yang lebih kuat antara agenda pembangunan ekonomi dan tujuan iklim. Tanpa sinergi yang efektif antara kebijakan pusat dan daerah, serta penegakan hukum yang tegas, upaya mitigasi yang berhasil di satu sisi dapat diimbangi oleh dampak negatif dari sektor lain. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan implementasi NDC di Kaltim tidak hanya bergantung pada inisiatif mitigasi dan adaptasi spesifik, tetapi juga pada kemampuan provinsi untuk mengelola tekanan pembangunan dan mencapai pertumbuhan ekonomi yang benar-benar rendah karbon dan berkelanjutan.

VII. Kesimpulan

Implementasi Nationally Determined Contribution (NDC) di Kalimantan Timur telah menunjukkan progres yang signifikan, didukung oleh kerangka kebijakan dan kelembagaan yang kuat di tingkat provinsi. Kaltim telah menunjukkan komitmen yang jelas melalui penetapan peraturan daerah dan gubernur yang mendukung mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, termasuk Perda Mitigasi dan Adaptasi serta Pergub tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Pembentukan Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) dengan komposisi multi-pemangku kepentingan dan kepemimpinan langsung oleh Gubernur juga mencerminkan model tata kelola kolaboratif yang didukung secara politis, memungkinkan koordinasi yang efektif dan integrasi berbagai perspektif.

Capaian paling menonjol terlihat di sektor Kehutanan dan Penggunaan Lahan Lainnya (FOLU), di mana Kaltim berhasil melampaui target pengurangan emisi yang ditetapkan dalam program FCPF Carbon Fund. Keberhasilan ini tidak hanya menghasilkan pembayaran berbasis kinerja yang substansial dari Bank Dunia, tetapi juga memvalidasi potensi model pendanaan iklim yang mengaitkan insentif finansial dengan hasil mitigasi yang terukur. Di sektor energi, meskipun kebijakan nasional masih menunjukkan ketergantungan pada batu bara, Kaltim secara proaktif memanfaatkan potensi energi terbarukannya melalui proyek-proyek besar seperti PLTA Batoq Kelo dan PLTS IKN, yang berpotensi menjadikan provinsi ini sebagai pusat energi hijau nasional. Selain itu, inisiatif di sektor limbah dan pertanian berkelanjutan, termasuk Program Kampung Iklim, menunjukkan pendekatan holistik yang melibatkan partisipasi masyarakat akar rumput, memanfaatkan kearifan lokal untuk solusi yang lebih berkelanjutan. Sektor industri juga mulai menunjukkan partisipasi yang meningkat dalam dekarbonisasi, didorong oleh komitmen net-zero dari perusahaan-perusahaan besar dan pertimbangan ESG.

Namun, di balik capaian ini, Kaltim masih menghadapi tantangan yang kompleks. Secara internal, keterbatasan kapasitas kelembagaan dalam penyusunan rencana teknis, tumpang tindih koordinasi antar sektor, dan kekurangan tenaga ahli masih menjadi hambatan. Keterbatasan pendanaan lokal dan proses pencairan dana internasional yang panjang juga mempengaruhi kecepatan implementasi. Lebih krusial lagi, konflik lahan dan penegakan hukum yang lemah terhadap aktivitas ilegal seperti deforestasi terus mengancam keberlanjutan upaya mitigasi, menunjukkan akar masalah tata kelola yang lebih dalam. Secara eksternal, dinamika laju deforestasi yang berfluktuasi mengindikasikan tekanan persisten dari sektor ekonomi ekstraktif. Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), meskipun berkonsep hijau, juga menghadirkan dilema inheren antara pembangunan ekonomi dan konservasi lingkungan, dengan potensi peningkatan emisi jangka pendek dari aktivitas konstruksi.

Secara keseluruhan, Kaltim telah memposisikan dirinya sebagai “Pilot Project Perubahan Iklim di Indonesia,” yang menjadikannya laboratorium penting untuk kebijakan dan implementasi aksi iklim sub-nasional. Keberhasilan dan tantangan yang dihadapi Kaltim akan memberikan pelajaran berharga dan model bagi provinsi lain di Indonesia. Untuk mencapai tujuan pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim jangka panjang, diperlukan komitmen politik yang berkelanjutan, peningkatan kolaborasi multi-pemangku kepentingan, penguatan tata kelola yang transparan dan akuntabel, serta diversifikasi dan aksesibilitas pendanaan yang lebih baik. Mengatasi tantangan-tantangan ini akan memastikan bahwa Kaltim tidak hanya memenuhi target NDC-nya, tetapi juga menjadi contoh nyata pembangunan berkelanjutan di tengah kompleksitas transisi global menuju ekonomi hijau.


Daftar Pustaka

Adaro Andalan Indonesia. (n.d.). Pertambangan. Diakses 14 Juni 2025, dari https://adaroindonesia.com/pages/view/pertambangan.html

ACTIA. (2025, Mei 9). Sinergi Peran Parties-Non Parties dalam Implementasi Strategi NDC. Diakses dari https://actiaclimate.com/peran-parties-non-parties-implementasi-strategi-ndc/

Al Mikraj. (n.d.). Pelaksanaan Program REDD+ di Kalimantan Timur. Omah Jurnal Sunan Giri. Diakses 14 Juni 2025, dari https://www.ejournal.insuriponorogo.ac.id/index.php/almikraj/article/download/5819/3397/

Antaranews. (n.d.). Second NDC pending emission reduction discussion: RI Govt. Diakses 14 Juni 2025, dari https://en.antaranews.com/news/351421/second-ndc-pending-emission-reduction-discussion-ri-govt

Antaranews. (2025, Mei 26). Pupuk Kaltim kurangi batu bara, pangkas 59 ribu ton emisi per tahun. Diakses dari https://www.antaranews.com/berita/4860005/pupuk-kaltim-kurangi-batu-bara-pangkas-59-ribu-ton-emisi-per-tahun

APKindo. (n.d.). Sektor Target Penurunan (Mega ton CO2e) % dari BAU. Diakses 14 Juni 2025, dari https://www.apkindo.org/storage/app/uploads/public/63b/664/1d4/63b6641d45f18949538580.pdf

Berkas DPR. (2021, November). Buletin APBN Vol. VI. Ed. 21. Diakses dari https://berkas.dpr.go.id/pa3kn/buletin-apbn/public-file/buletin-apbn-public-137.pdf

BPDLH. (2025, Maret 6). Carbon Fund of the Forest Carbon Partnership Facility Emissions Reduction Payment Agreement (FCPF). Diakses dari https://bpdlh.kemenkeu.go.id/project/55d591e0-ffad-433d-a06f-e42796815560

CIFOR. (n.d.). Researchers to support East Kalimantan’s low-carbon emission programme with impact evaluation. Forests News. Diakses 14 Juni 2025, dari https://forestsnews.cifor.org/80286/researchers-to-support-east-kalimantans-low-carbon-emission-programme-with-impact-evaluation?fnl=en#:~:text=The%20goal%20is%20to%20reduce,partners%20and%20the%20private%20sector.

Climate Action Tracker. (n.d.). Indonesia: Targets. Diakses 14 Juni 2025, dari https://climateactiontracker.org/countries/indonesia/targets/

Desa Batuah. (2024, Mei 24). Kaltim Jadi Provinsi Pertama Penerima Kompensasi Karbon dari Bank Dunia. Diakses dari https://www.batuah-kukar.desa.id/artikel/2024/5/24/kaltim-jadi-provinsi-pertama-penerima-kompensasi-karbon-dari-bank-dunia

Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Timur. (n.d.). LKJIP. Diakses 14 Juni 2025, dari https://dinaslh.kaltimprov.go.id/lkjip/

Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Timur. (n.d.). Publikasi Dokumen. Diakses 14 Juni 2025, dari https://dinaslh.kaltimprov.go.id/publikasi-dokumen/

Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan. (n.d.). RENCANA KERJA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Diakses 14 Juni 2025, dari https://pktl.menlhk.go.id/assets/img/publication/Renja_Provinsi_KALTIM.pdf

DJPPI – KLHK. (n.d.). Kemajuan Aksi Perubahan Iklim Indonesia: Leading by Examples. Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim. Diakses 14 Juni 2025, dari https://www.ditjenppi.org/indonesia/direktorat/setditjen/kemajuan-aksi-perubahan-iklim-indonesia-leading-by-examples

Ember. (2024, Juli 29). Risiko mengabaikan emisi metana di pertambangan batu bara. Diakses dari https://ember-energy.org/id/laporan/risiko-mengabaikan-emisi-gas-metana-batu-bara/

Espos.id. (2024, Februari 16). Beroperasi Akhir Februari, Ini Penampakan PLTS IKN Tahap 1 di Kaltim. Diakses dari https://foto.espos.id/beroperasi-akhir-februari-ini-penampakan-plts-ikn-tahap-1-di-kaltim-1865142

IKN.go.id. (n.d.). Pembangunan Ibu Kota Baru di Kaltim Bisa Dimulai Tahun Ini. Diakses 14 Juni 2025, dari https://ikn.go.id/pembangunan-ibu-kota-baru-di-kaltim-bisa-dimulai-tahun-ini

Indonesian Embassy in Berlin. (n.d.). Indonesia’s NDC. Diakses 14 Juni 2025, dari https://indonesianembassy.de/ndc/

Infosatu.co. (2025, April 23). DPTPH Kaltim Dorong Pertanian Ramah Lingkungan untuk Tekan Emisi GRK. Diakses dari https://infosatu.co/dptph-kaltim-dorong-pertanian-ramah-lingkungan-untuk-tekan-emisi-grk/

IESR. (n.d.). Nationally Determined Contribution (NDC) Archives. Diakses 14 Juni 2025, dari https://iesr.or.id/en/tag/nationally-determined-contribution-ndc/

IESR. (2024, Januari). STRATEGI PENCAPAIAN NDC 2030 dan LTS LCCR 2050. Diakses dari https://iesr.or.id/wp-content/uploads/2024/01/Strategi-Pencapaian-NDC-2030-dan-LTS-LCCR-2050-Franky-Zamzani.pdf

Kaltimprov.go.id. (2025, Mei 4). Data Emisi GRK Prov. Kaltim Tahun 2021-2023. Satu Data Kalimantan Timur. Diakses dari https://data.kaltimprov.go.id/dataset/data-emisi-grk-prov-kaltim-tahun-2021-2023

Kemitraan. (n.d.). Adaptation Fund Project – Samarinda. Diakses 14 Juni 2025, dari https://www.kemitraan.or.id/program/adaptation-fund-project-samarinda/

Kemitraan. (n.d.). Adaptation Fund Project – Samarinda. Diakses 14 Juni 2025, dari https://kemitraan.or.id/en/program/3476/

Kliksamarinda.com. (n.d.). Dokumen RPD Prov Kaltim 2024-2026. Diakses 14 Juni 2025, dari https://kliksamarinda.com/wp-content/uploads/2023/03/Dokumen-RPD-Prov-Kaltim-2024-2026.pdf

Kompas.com. (2024, Januari 7). Potensi Energi Terbarukan Kalimantan Timur. Diakses dari https://lestari.kompas.com/read/2024/01/07/080000986/potensi-energi-terbarukan-kalimantan-timur

Listrik Indonesia. (n.d.). Ini Potensi Energi Terbarukan Kalimantan Timur. Diakses 14 Juni 2025, dari https://listrikindonesia.com/detail/12336/ini-potensi-energi-terbarukan-kalimantan-timur

Listrik Indonesia. (2025, Mei 29). Proyek PLTA Batoq Kelo Diteken, Target Operasi 2030. Diakses dari https://listrikindonesia.com/detail/16784/proyek-plta-batoq-kelo-diteken-target-operasi-2030

Neliti. (2020, Februari 7). INISIATIF-INISIATIF PROGRAM YANG DIKEMBANGKAN DALAM UPAYA IMPLEMENTASI REDD+ DI KALIMANTAN TIMUR. Diakses dari https://media.neliti.com/media/publications/446932-none-565bd832.pdf

NDC Partnership. (n.d.). Indonesia. Diakses 14 Juni 2025, dari https://ndcpartnership.org/country/idn

Niaga.Asia. (n.d.). Mengenal Dewan Daerah Perubahan Iklim Kalimantan Timur. Diakses 14 Juni 2025, dari https://www.niaga.asia/mengenal-dewan-daerah-perubahan-iklim-kalimantan-timur/

Peraturan BPK. (n.d.). PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2019 tentang Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Kalimantan Timur. Diakses 14 Juni 2025, dari https://peraturan.bpk.go.id/Download/163615/PERDA%20Prov%20Kaltim%207-2019%20Adaptasi%20%26%20Mitigasi%20Perubahan%20Iklim.pdf

Peraturan BPK. (2022, September 21). PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR NOMOR 27 TAHUN 2022. Diakses dari https://peraturan.bpk.go.id/Download/283414/PERGUB%2027-2022%20ttg%20Perubahan%20atas%20Peraturan%20Gubernur%20Kalimantan%20Timur%20Nomor%209%20Tahun%202017%20tentang%20Pembentukan%20Dewan%20Daerah%20Perubahan%20Iklim%20Kalimantan%20Timur.pdf

Peraturan BPK. (2024, Juni 24). GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR PERGUB 25-2024 ttg Pedoman Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon. Diakses dari https://peraturan.bpk.go.id/Download/355385/Pergub%20Kaltim%2025-2024%20ttg%20Pedoman%20Penyelenggaraan%20Nilai%20Ekonomi%20Karbon.pdf

Perpustakaan Kementerian Lingkungan Hidup. (n.d.). MENGUATKAN PERAN SWASTA DALAM PENURUNAN EMISI.pdf. Diakses 14 Juni 2025, dari http://perpustakaan.menlhk.go.id/pustaka/images/docs/MENGUATKAN%20PERAN%20SWASTA%20DALAM%20PENURUNAN%20EMISI.pdf

PLN. (2025, Mei 28). PLN Teken PJBL PLTA Batoq Kelo di Kaltim, Kolaborasi Wujudkan Penyediaan Energi Bersih di Tanah Air. Diakses dari https://web.pln.co.id/media/siaran-pers/2025/05/pln-teken-pjbl-plta-batoq-kelo-di-kaltim-kolaborasi-wujudkan-penyediaan-energi-bersih-di-tanah-air

Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. (2023, November 2). Groundbreaking Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) IKN 50 Megawatt, di Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur, 2 November 2023. Diakses dari https://setkab.go.id/groundbreaking-pembangkit-listrik-tenaga-surya-plts-ikn-50-megawatt-di-kabupaten-penajam-paser-utara-provinsi-kalimantan-timur-2-november-2023/

Tanahair.net. (2025, Februari 24). Indonesia’s second NDC submission awaits president’s approval. Diakses dari https://tanahair.net/indonesias-second-ndc-submission-awaits-presidents-approval/

UOBAM. (2024, Juni). Tren Keberlanjutan dan Transformasi di Sektor Industri Indonesia. Diakses dari https://www.uobam.co.id/web-resources/uobam/pdf/uobam/perspectives/market-commentary/2024/Jun/2024-06%20Tren%20Keberlanjutan%20dan%20Transformasi%20di%20Sektor%20Industri%20Indonesia.pdf

UNFCCC. (2022, September 23). Enhanced NDC – Republic of Indonesia. Diakses dari https://unfccc.int/documents/615082

World Bank. (2024, Agustus 30). Indonesia Sustainable Landscape Management Program. World Bank Documents and Reports. Diakses dari https://documents1.worldbank.org/curated/en/496171623092140593/pdf/Indonesia-Sustainable-Landscape-Management-Program.pdf

YKAN. (n.d.). Inisiatif – Model Kesepakatan Pembangunan Hijau Di Kalimantan Timur. Yayasan Konservasi Alam Nusantara. Diakses 14 Juni 2025, dari https://www.ykan.or.id/content/dam/tnc/nature/en/documents/ykan/infographic/itp/bahasa/RN_A4_PRINT_1223_INFOGRAFIS-YKAN-13-INISIATIF.pdf

YKAN. (2022, Mei 21). Lima Tahun Perkebunan Berkelanjutan di Kalimantan Timur. Yayasan Konservasi Alam Nusantara. Diakses dari https://www.ykan.or.id/content/dam/tnc/nature/en/documents/ykan/laporan-kuartal-dan-tahunan-ykan/itp/itp-22-23/Final_Laporan-Kuartal-edisi-2-2022_YKAN.pdf

Aceh


Laporan Komprehensif Aksi Perubahan Iklim di Provinsi Aceh: Kebijakan, Inisiatif, dan Tantangan Menuju Pembangunan Berkelanjutan

Ringkasan Eksekutif

Provinsi Aceh menunjukkan komitmen yang signifikan dalam mengatasi perubahan iklim, sejalan dengan target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia. Meskipun Indonesia telah meningkatkan ambisi pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dalam Enhanced NDC (ENDC) dan menargetkan Net Zero Emissions (NZE) pada tahun 2060, evaluasi independen menunjukkan bahwa target nasional masih dapat ditingkatkan untuk mendorong aksi transformatif. Aceh, dengan status otonomi khususnya, telah merumuskan kebijakan lokal seperti Qanun Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) dan mengimplementasikan berbagai inisiatif mitigasi dan adaptasi.

Di sektor mitigasi, Aceh memiliki potensi energi terbarukan yang melimpah dan telah memulai proyek-proyek besar seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Peusangan dan studi Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Aceh Besar. Upaya dekarbonisasi juga terlihat dalam pengelolaan limbah dan inisiatif industri rendah karbon, termasuk proyek Carbon Capture and Storage (CCS) di lapangan Arun. Namun, pengalaman dengan inisiatif REDD+ Ulu Masen menyoroti tantangan keberlanjutan proyek besar akibat perubahan kepemimpinan dan isu tenurial.

Dalam adaptasi, Aceh berfokus pada ketahanan pangan melalui pertanian berkelanjutan, ketahanan air, perlindungan pesisir, dan program kesehatan masyarakat. Keterlibatan aktif pemerintah daerah, sektor swasta, dan masyarakat sipil, termasuk kearifan lokal, sangat penting. Meskipun demikian, tantangan seperti keterbatasan kapasitas pemerintah daerah, koordinasi lintas sektor, dan pendanaan yang memadai masih perlu diatasi. Laporan ini menguraikan kebijakan, inisiatif, serta tantangan dan peluang yang dihadapi Aceh dalam perjalanannya menuju pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim.

1. Pendahuluan

1.1. Konteks Perubahan Iklim Global dan Komitmen Nasional (NDC Indonesia)

Indonesia telah secara tegas menyatakan komitmennya terhadap upaya global dalam menekan kenaikan suhu bumi melalui ratifikasi Persetujuan Paris dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 (Acehprov, 2017; Climate Promise UNDP, n.d.; NDC Partnership, n.d.). Komitmen ini diwujudkan dalam dokumen Nationally Determined Contribution(NDC) yang terus diperbarui seiring waktu. Awalnya, target NDC Indonesia yang diajukan pada tahun 2016 adalah pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29% secara tanpa syarat dan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030, dibandingkan dengan skenario Business-as-Usual (BAU) (APKindo, n.d.; Acehprov, 2017; Indonesian Embassy in Berlin, n.d.; LCDI Indonesia, 2019; NDC Partnership, n.d.; Omah Jurnal Sunan Giri, n.d.).

Pada September 2022, Indonesia mengajukan Enhanced NDC (ENDC) yang menunjukkan peningkatan ambisi dengan target pengurangan emisi 31,89% secara tanpa syarat dan 43,2% dengan dukungan internasional (Antaranews, n.d.; Climate Action Tracker, 2022; Climate Promise UNDP, n.d.; IESR, 2024; NDC Partnership, n.d.; Tanahair.net, 2025; UNFCCC, 2022). Sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (Forestry and Other Land Use – FOLU) diidentifikasi sebagai kontributor utama dalam pencapaian target ini, dengan proyeksi kontribusi hampir 60% dari total pengurangan emisi (Climate Action Tracker, 2022; IESR, 2024; MENLHK, n.d.). Visi jangka panjang untuk sektor FOLU adalah mencapai Net Sink pada tahun 2030, yang berarti penyerapan bersih sebesar -140 Mt CO2e (Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, n.d.; MENLHK, n.d.; Tanahair.net, 2025).

Selain itu, Indonesia juga menargetkan pencapaian Net Zero Emissions (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat, sebagaimana tercantum dalam Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR 2050) (Climateworks Centre, n.d.; Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, n.d.; IESR, 2024; NDC Partnership, n.d.; PwC, 2024; Tanahair.net, 2025; World Bank, n.d.). Untuk mendukung implementasi target-target ini, Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) telah disahkan, memberikan kerangka hukum untuk mekanisme pasar karbon dan instrumen ekonomi lainnya guna mengendalikan emisi GRK (IESR, 2024; Madani Berkelanjutan, 2022; MENLHK, n.d.). Saat ini, Indonesia sedang dalam proses mempersiapkan Second NDC (SNDC) yang akan memperluas cakupan gas rumah kaca, termasuk hidrofluorokarbon (HFCs), dan beralih dari baseline BAU ke tahun referensi 2019 (Antaranews, n.d.; CCPI, n.d.; IESR, n.d.; Tanahair.net, 2025).

Meskipun target NDC Indonesia telah ditingkatkan secara numerik, beberapa evaluasi oleh lembaga independen, seperti Climate Action Tracker (CAT), masih mengklasifikasikan target tersebut sebagai “Sangat tidak memadai” (Critically insufficient) dan kebijakan yang ada sebagai “Tidak memadai” (Insufficient) (Climate Action Tracker, 2022; Climate Action Tracker, 2023; IESR, n.d.). Penilaian ini muncul karena proyeksi menunjukkan bahwa Indonesia kemungkinan akan melampaui target NDC-nya dengan kebijakan yang sudah ada saat ini (Climate Action Tracker, 2022). Hal ini mengindikasikan bahwa target yang ditetapkan mungkin belum cukup ambisius untuk mendorong aksi iklim yang benar-benar transformatif dan sejalan dengan upaya global untuk membatasi kenaikan suhu di bawah 1,5°C. Kondisi ini dapat diinterpretasikan sebagai strategi untuk memastikan kepatuhan dan menghindari kritik internasional, daripada mendorong upaya maksimal. Bagi provinsi seperti Aceh, yang berkontribusi pada pencapaian NDC nasional, hal ini menyiratkan bahwa meskipun ada kemajuan di tingkat lokal, dorongan dari target nasional mungkin belum sekuat yang diperlukan untuk memobilisasi sumber daya dan inovasi secara optimal.

Tabel 1: Target Penurunan Emisi GRK Nasional (NDC Indonesia)

Versi NDC Tanggal Pengajuan Target Tanpa Syarat (% BAU) Target Tanpa Syarat (MtCO2e excl. LULUCF) Target Bersyarat (% BAU) Target Bersyarat (MtCO2e excl. LULUCF) Tahun Target Net Zero Sektor Utama yang Dicakup
Awal (First NDC) November 2016 29% (Acehprov, 2017; Indonesian Embassy in Berlin, n.d.) 1,886 MtCO2e (IESR, 2024) 41% (Acehprov, 2017; Indonesian Embassy in Berlin, n.d.) 1,691–1,789 MtCO2e (IESR, 2024) Energi, Kehutanan, Limbah, Pertanian, IPPU (APKindo, n.d.)
Ditingkatkan (Enhanced NDC) September 2022 31,89% (Antaranews, n.d.; Climate Action Tracker, 2022; IESR, 2024; NDC Partnership, n.d.; UNFCCC, 2022) 1,805 MtCO2e (IESR, 2024) 43,2% (Antaranews, n.d.; Climate Action Tracker, 2022; IESR, 2024; NDC Partnership, n.d.; UNFCCC, 2022) 1,710 MtCO2e (IESR, 2024) 2060 atau lebih cepat (Climateworks Centre, n.d.; Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, n.d.; IESR, 2024; Tanahair.net, 2025; World Bank, n.d.) Energi, Kehutanan, Limbah, Pertanian, IPPU (Antaranews, n.d.; Tanahair.net, 2025)
Draf Kedua (Second NDC) Februari 2025 (rencana) (Antaranews, n.d.; Tanahair.net, 2025) Termasuk sektor kelautan dan sub-sektor hulu migas (Antaranews, n.d.; Tanahair.net, 2025)

1.2. Peran Strategis Provinsi Aceh dalam Aksi Iklim

Aceh memegang peran strategis dalam aksi iklim Indonesia, didukung oleh status otonomi khususnya yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (CIFOR, n.d.). Status ini memberikan Aceh fleksibilitas legislatif untuk merumuskan peraturan daerah sendiri (Qanun) dan memastikan alokasi dana pembangunan serta pendapatan sumber daya alam yang proporsional dari pemerintah pusat (CIFOR, n.d.).

Provinsi ini juga dikenal sebagai salah satu wilayah perintis global dalam inisiatif Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) melalui proyek Ulu Masen yang dimulai pada tahun 2007-2012 (CIFOR, n.d.; Forest Industries, n.d.; WRM, 2014). Proyek ini bertujuan untuk melindungi area hutan yang luas, mencapai 750.000 hektar, dan menghasilkan pendanaan karbon sebagai insentif untuk konservasi hutan (CIFOR, n.d.; Forest Industries, n.d.).

Aceh diberkahi dengan sumber daya alam yang melimpah, termasuk tutupan hutan yang luas sekitar 3,3 juta hektar, yang merupakan bagian integral dari ekosistem Leuser dan Ulu Masen (CIFOR, n.d.; Mongabay, 2017; DPRA Acehprov, 2022). Selain itu, provinsi ini memiliki potensi energi terbarukan yang sangat beragam, mencakup energi hidro (5.147 MW di 70 lokasi), panas bumi (1.143 MW di 22 lapangan), surya (7.881 MWe), angin (231 MWe), dan bioenergi (1.174 MW) (Kompas, 2023; DPMPTSP Aceh, n.d.; IESR, 2019; Listrik Indonesia, n.d.). Potensi ini menempatkan Aceh pada posisi yang unik untuk memimpin transisi energi bersih di wilayah barat Indonesia (Humas Acehprov, 2025).

Pemerintah Aceh telah menunjukkan komitmennya untuk mendukung target NDC nasional dan merupakan salah satu anggota pendiri Governors Climate and Forest Task Force (GCF), sebuah forum komunikasi tingkat provinsi/negara bagian untuk agenda perubahan iklim dan kehutanan (Mongabay, 2017). Komitmen ini juga tercermin dalam pengembangan kebijakan iklim lokal, seperti kebijakan TAPE (Tata Kelola Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) yang mencakup indikator komprehensif, termasuk perlindungan wilayah laut dan pasir (Humas Acehprov, 2023). Lebih lanjut, Qanun Aceh Nomor 1 Tahun 2023 tentang Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) menjadi landasan hukum yang kuat untuk upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan di tingkat provinsi (Paralegal.id, 2023; DPRA Acehprov, 2022).

Status otonomi khusus Aceh, meskipun memberikan fleksibilitas dalam merumuskan kebijakan iklim yang relevan secara lokal dan akses ke sumber daya finansial, juga dapat menimbulkan risiko diskontinuitas kebijakan. Pengalaman proyek REDD+ Ulu Masen yang terhenti pada tahun 2014 karena perubahan kepemimpinan dan ketidakjelasan wewenang pengelolaan hutan (CIFOR, n.d.) menunjukkan bahwa inisiatif iklim, meskipun memiliki fondasi yang kuat, dapat rentan terhadap transisi politik. Hal ini menggarisbawahi perlunya mekanisme yang lebih kuat untuk menjamin keberlanjutan komitmen lintas administrasi dan mengurangi dampak perubahan kepemimpinan terhadap program-program lingkungan jangka panjang. Membangun kerangka kerja kelembagaan yang kokoh dan tidak bergantung pada individu atau periode pemerintahan tertentu akan menjadi kunci untuk memastikan keberlanjutan aksi iklim di Aceh.

2. Kebijakan dan Kerangka Regulasi Perubahan Iklim di Aceh

2.1. Qanun dan Rencana Pembangunan Daerah (RPD/RPJMD)

Pemerintah Aceh telah mengukuhkan komitmennya terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup melalui penetapan Qanun Aceh Nomor 1 Tahun 2023 tentang Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) (Paralegal.id, 2023; DPRA Acehprov, 2022). Qanun ini menjadi landasan hukum yang komprehensif, mencakup aspek-aspek penting seperti perlindungan lingkungan, pengelolaan berkelanjutan, ketahanan bencana, serta adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. RPPLH Aceh dirancang sebagai dokumen perencanaan lintas sektoral yang menjadi acuan bagi dokumen perencanaan sumber daya lainnya yang lebih spesifik, seperti pengelolaan gambut, karst, dan mangrove (DPRA Acehprov, 2022).

Integrasi isu perubahan iklim juga tercermin dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) di tingkat provinsi dan kabupaten. Misalnya, RPD Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2023-2026 secara eksplisit memasukkan aspek keberlanjutan pembangunan dan kualitas lingkungan hidup sebagai instrumen pembangunan daerah (Acehtengahkab, 2023). RPJMD ini disusun dengan memperhatikan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), serta mencakup target-target makro pembangunan seperti pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) (Acehtengahkab, 2023). Demikian pula, RPJMD Kabupaten Aceh Besar Tahun 2017-2022 juga mengacu pada RPJPD Kabupaten Aceh Besar 2005-2025 dan disinkronkan dengan RPJM Nasional dan RPJP Nasional, menunjukkan upaya untuk memastikan pembangunan yang kokoh dan berkelanjutan (Bappeda Aceh Besar, 2019; Acehbesarkab, 2022).

Selain itu, Pemerintah Aceh juga menerapkan kebijakan TAPE (Tata Kelola Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Aceh) yang diapresiasi karena indikator kinerjanya yang komprehensif, termasuk program perlindungan wilayah laut dan pasir yang tidak ditemukan pada kebijakan serupa di provinsi lain (Humas Acehprov, 2023).

Meskipun integrasi aksi iklim ke dalam dokumen perencanaan daerah seperti RPJMD telah diamanatkan, efektivitasnya sangat bergantung pada kejelasan pedoman dan konsistensi implementasi di seluruh sektor. Tantangan seringkali muncul dari kompleksitas koordinasi lintas sektor dan kebutuhan akan sistem pemantauan yang kuat untuk menerjemahkan kebijakan menjadi hasil yang nyata. Oleh karena itu, memastikan bahwa setiap perangkat daerah memiliki pemahaman yang seragam dan kapasitas yang memadai untuk mengimplementasikan program-program ini menjadi sangat penting. Adanya kerangka kerja yang jelas untuk pelaporan dan evaluasi, serta alokasi anggaran yang memadai, akan membantu memastikan bahwa kebijakan yang dirumuskan dapat memberikan dampak yang signifikan di lapangan.

2.2. Data Emisi GRK dan Inventarisasi

Pemantauan dan pelaporan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) merupakan komponen krusial dalam kerangka kebijakan perubahan iklim di Aceh. Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh secara tahunan menghasilkan laporan kegiatan inventarisasi GRK dan penurunan emisi yang menjadi kewenangan provinsi di lima sektor utama (Data Acehprov, n.d.). Data ini tersedia melalui platform seperti eWalidata dan Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI), yang bertujuan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas aksi iklim di Indonesia (Data Acehprov, 2024; SRN MENLHK, n.d.; WRI Indonesia, n.d.).

Sektor-sektor utama penyumbang emisi GRK di Aceh, seperti yang diidentifikasi dalam data inventarisasi, mencakup energi, kehutanan, limbah, pertanian, dan proses industri serta penggunaan produk (IPPU) (ResearchGate, 2020; Signsmart, n.d.). Data historis emisi GRK nasional menunjukkan fluktuasi, dengan sektor kehutanan menjadi penyumbang terbesar secara nasional (Berkas DPR, 2021; BPS, n.d.). Meskipun data spesifik Aceh per sektor untuk periode 2020-2024 tidak tersedia secara langsung dalam dokumen yang diberikan, laporan inventarisasi GRK dan Monitoring, Pelaporan, Verifikasi (MPV) tahunan tersedia hingga 2024 (Signsmart, 2024).

Ketersediaan data inventarisasi GRK yang terukur dan terverifikasi sangat penting untuk perumusan kebijakan berbasis bukti dan akuntabilitas. Platform seperti SRN PPI dan eWalidata merupakan langkah positif dalam menyediakan akses terhadap informasi ini (Data Acehprov, 2024; SRN MENLHK, n.d.). Namun, kemudahan akses dan tingkat granularitas data (misalnya, emisi pada sub-sektor tertentu atau tingkat proyek) masih dapat menjadi faktor pembatas untuk analisis yang lebih mendalam dan keterlibatan sektor swasta yang lebih efektif. Untuk memaksimalkan pemanfaatan data ini, diperlukan upaya lebih lanjut dalam standarisasi data, peningkatan kapasitas pengumpul data, dan pengembangan alat analisis yang lebih canggih. Hal ini akan memungkinkan pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya untuk mengidentifikasi area prioritas dengan lebih tepat dan merancang intervensi yang lebih berdampak dalam upaya pengurangan emisi.

3. Inisiatif Mitigasi Perubahan Iklim di Aceh

3.1. Sektor Kehutanan dan Penggunaan Lahan (FOLU)

Aceh memiliki sejarah panjang dalam inisiatif pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+), dimulai dengan proyek perintis Ulu Masen pada tahun 2007-2012 (CIFOR, n.d.; Forest Industries, n.d.; WRM, 2014). Proyek ini, yang dikembangkan oleh Pemerintah Aceh dengan dukungan organisasi konservasi dan perusahaan broker karbon, bertujuan untuk melindungi 750.000 hektar hutan dan menghasilkan kredit karbon (CIFOR, n.d.; Forest Industries, n.d.). Ulu Masen bahkan menjadi proyek REDD+ pertama di dunia yang divalidasi di bawah standar Climate, Community and Biodiversity (CCB) (Forest Industries, n.d.). Namun, proyek ini menghadapi berbagai tantangan, termasuk masalah tenurial lahan yang belum terselesaikan, kurangnya informasi yang jelas kepada masyarakat lokal, perjanjian yang tidak transparan, dan kapasitas pemerintah yang terbatas dalam mengimplementasikan proyek pasar karbon (WRM, 2014). Akibatnya, proyek ini terhenti pada tahun 2012 dan kehilangan status validasi CCB-nya pada tahun 2014 (WRM, 2014). Meskipun demikian, upaya REDD+ di Aceh tidak sepenuhnya berhenti, melainkan bergeser fokus ke tingkat kebijakan, dengan penyusunan Strategi dan Rencana Aksi REDD+ (SRAP REDD+) dan Rencana Aksi Daerah Penurunan GRK (RAD-GRK) (CIFOR, n.d.).

Saat ini, upaya mitigasi GRK di sektor kehutanan Aceh terus berlanjut melalui berbagai program. Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh terlibat dalam operasi pengamanan hutan, rapat pembahasan revisi keputusan gubernur terkait pengelolaan sampah regional, dan rapat koordinasi pemantauan implementasi Qanun Aceh tentang RPPLH (DLHK Aceh, n.d.; DLHK Aceh, 2025). Program-program ini mencakup perlindungan hutan, rehabilitasi lahan, dan pengelolaan hutan berkelanjutan, yang bertujuan untuk meningkatkan serapan karbon dan mengurangi emisi (DLHK Aceh, 2025; DLHK Aceh, n.d.). Pentingnya kearifan lokal juga diakui, dengan studi yang menyoroti peran hukum adat dan lembaga tradisional seperti Panglima Uteun dalam pengelolaan hutan dan konservasi (BPJIID, 2025; MAA Acehprov, n.d.; OJS UNPKediri, 2022; OJS UNPKediri, 2022b; OJS UNPKediri, 2022c).

Pengalaman dari inisiatif Ulu Masen memberikan pelajaran berharga mengenai kompleksitas proyek pembiayaan karbon skala besar, terutama terkait dengan isu tenurial lahan, pembagian manfaat yang adil, dan kesinambungan politik. Untuk inisiatif FOLU di masa depan, sangat penting untuk membangun di atas pelajaran ini, memastikan keterlibatan masyarakat yang kuat, kerangka hukum yang jelas yang mengakui hak-hak adat, dan komitmen politik jangka panjang untuk menghindari kemunduran serupa. Memastikan bahwa manfaat dari pengurangan emisi secara adil didistribusikan kepada komunitas lokal dan bahwa kebijakan tidak terganggu oleh perubahan kepemimpinan akan menjadi kunci keberhasilan program mitigasi berbasis lahan di Aceh.

3.2. Sektor Energi (Energi Terbarukan)

Aceh memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar dan beragam, menjadikannya wilayah yang strategis untuk transisi energi bersih di Indonesia. Potensi ini mencakup energi air (hidro) sebesar 5.147 MW di 70 lokasi, panas bumi 1.143 MW di 22 lapangan, surya 7.881 MWe, angin 231 MWe, dan bioenergi 1.174 MW (Kompas, 2023; DPMPTSP Aceh, n.d.; IESR, 2019; Listrik Indonesia, n.d.). Sungai-sungai di Aceh juga menawarkan potensi minihidro dan mikrohidro yang signifikan (Listrik Indonesia, n.d.).

Berbagai proyek energi terbarukan sedang berjalan atau direncanakan di Aceh:

  • Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA): PLTA Peusangan 1 & 2 di Aceh Tengah dengan kapasitas 88 MW dipastikan akan beroperasi secara bertahap pada akhir tahun 2025 dan beroperasi penuh pada pertengahan 2026 (Humas Acehtengahkab, 2025; Tribungayo, 2024). Kementerian ESDM juga menargetkan PLTA pertama di Aceh beroperasi penuh pada akhir 2024 (ESDM, 2024). Selain itu, terdapat potensi 70 titik PLTA di Aceh (DPMPTSP Aceh, n.d.).
  • Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS): Terdapat kajian potensi PLTS di Banda Aceh, Aceh Besar, dan Sabang, dengan proyeksi daya yang dapat disuplai oleh PLTS Hybrid mencapai 337,879 Wh per hari untuk kebutuhan kritis (Jurnal ITY, n.d.). Meskipun belum ada PLTS skala besar yang beroperasi di Aceh, potensi energi surya provinsi ini sangat tinggi (Jurnal ITY, n.d.; IESR, 2019; Solarpanel-id, 2017; ESDM, 2024b; Lemhannas, n.d.; Lemhannas, n.d.b).
  • Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB): Prospektus PLTB Aceh Besar dengan kapasitas 120 MW telah disusun, menunjukkan potensi signifikan untuk energi angin (Energy Transition Partnership, 2024). Pemerintah Aceh Besar sangat mendukung proyek ini dan siap membantu data teknis yang dibutuhkan (Prokopim Banda Aceh, 2025).
  • Panas Bumi: Pemerintah Aceh mendukung penuh pembangunan Pembangkit Listrik Panas Bumi, dengan target operasi penuh dalam 4-5 tahun ke depan, diharapkan menjadi penggerak utama energi bersih di wilayah barat Indonesia (Humas Acehprov, 2025).

Meskipun Aceh memiliki potensi energi terbarukan yang melimpah dan berbagai proyek sedang berjalan atau direncanakan, tantangan utama terletak pada peningkatan skala proyek-proyek ini untuk memenuhi target ambisius. Keterbatasan infrastruktur transmisi dan distribusi, serta kebutuhan akan investasi besar, menjadi kendala yang perlu diatasi. Transisi dari ketergantungan pada bahan bakar fosil, khususnya dalam pembangkitan listrik, memerlukan kemauan politik yang berkelanjutan dan insentif regulasi yang jelas untuk menarik investasi swasta. Selain itu, memastikan bahwa proyek-proyek ini memberikan manfaat yang adil bagi masyarakat lokal dan meminimalkan dampak lingkungan akan menjadi kunci keberhasilan transisi energi di Aceh.

3.3. Sektor Limbah dan Industri

Aceh menunjukkan upaya mitigasi perubahan iklim melalui pengelolaan limbah dan inisiatif industri rendah karbon. Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh Tengah memiliki bidang khusus untuk pengelolaan sampah dan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), termasuk penyusunan kebijakan, koordinasi, monitoring, dan evaluasi (Dislindup Acehtengahkab, n.d.). Di Banda Aceh, upaya pengelolaan sampah melibatkan teknologi pengolahan sampah, pengurangan sampah, daur ulang, dan pemanfaatan kembali, dengan fokus pada pembinaan bank sampah dan pelatihan manajemen sampah di tingkat sekolah dan instansi (DLHK3 Banda Aceh, n.d.). Kerjasama dengan desa/gampong juga dilakukan untuk pengelolaan sampah (DLHK3 Banda Aceh, n.d.).

Inisiatif industri rendah karbon di Aceh mencakup beberapa aspek:

  • Pemanfaatan Limbah Sawit: Terdapat potensi besar untuk mengurangi emisi GRK dari industri kelapa sawit di Aceh melalui pemanfaatan limbah padat (seperti Empty Fruit Bunch – EFB) dan limbah cair untuk menghasilkan energi. Studi menunjukkan bahwa pemanfaatan EFB dari 25 pabrik CPO di Aceh dapat mengurangi emisi GRK hingga 171.232,21 tCO2e per tahun (ResearchGate, 2012).
  • Kredit Karbon: PT Pembangunan Aceh (PEMA), perusahaan milik pemerintah provinsi Aceh, telah memulai inisiatif kredit karbon dengan menargetkan lebih dari 100.000 hektar lahan di beberapa wilayah sebagai kawasan prioritas untuk pengembangan karbon berbasis Nature-Based Solutions (NBS) (Dialeksis, 2025; PT Pema, n.d.). Teknologi transparansi dan akuntabilitas dalam penghitungan emisi terhindarkan juga menjadi fokus (Dialeksis, 2025).
  • Carbon Capture and Storage (CCS): PT PEMA Aceh Carbon, sebuah perusahaan patungan antara Carbon Aceh dan PT PEMA, sedang menyelesaikan studi kelayakan untuk pengembangan fasilitas CCS di lapangan gas Arun yang telah habis (Carbonaceh, n.d.; Carbonaceh, n.d.b; Carbonaceh, n.d.c; Carbonaceh, n.d.d; Petromindo, 2025; Petromindo, 2025b; Petromindo, 2025c). Proyek Arun CCS diperkirakan akan beroperasi pada tahun 2029 dan berpotensi menjadi bisnis CCS komersial pertama di Asia yang menawarkan penyimpanan CO2 akses terbuka, dengan kapasitas penyerapan lebih dari 1.000 juta metrik ton CO2 (Carbonaceh, n.d.; Petromindo, 2025).
  • Industri Hijau Lainnya: Investasi dalam pabrik daur ulang tembaga dan lithium oleh investor Malaysia didukung oleh Pemerintah Aceh, dengan tujuan menjadikan Aceh sebagai kawasan industri hijau dan berkelanjutan di sektor energi masa depan (Acehinfo, 2025; Acehinfo, 2025b; Acehinfo, 2025c; Indojayanews, 2025; Indojayanews, 2025b; Pikiran Merdeka, 2025; Pikiran Merdeka, 2025b).

Meskipun Aceh menunjukkan potensi dalam pengelolaan limbah dan memiliki inisiatif industri rendah karbon yang menjanjikan, transisi untuk industri berat (seperti kelapa sawit dan potensi industri lainnya) sangat kompleks. Hal ini memerlukan investasi signifikan dalam teknologi baru, insentif kebijakan yang jelas, dan penanganan dampak sosial serta lingkungan. Penting untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif yang menyeimbangkan keuntungan ekonomi dengan keharusan lingkungan. Keberhasilan inisiatif ini akan bergantung pada kemampuan Aceh untuk menarik investasi berkelanjutan, mengembangkan kapasitas teknologi, dan memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi sejalan dengan tujuan dekarbonisasi.

4. Inisiatif Adaptasi Perubahan Iklim di Aceh

Perubahan iklim telah mulai berdampak di Aceh, ditandai dengan kekeringan, kenaikan suhu, penurunan kesuburan tanah, bencana alam, dan gagal panen (Kompas.id, 2022). Menanggapi hal ini, Aceh telah mengembangkan berbagai inisiatif adaptasi untuk meningkatkan ketahanan wilayah dan masyarakat.

4.1. Ketahanan Pangan dan Pertanian Berkelanjutan

Sektor pertanian di Aceh sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, seperti kekeringan dan banjir yang dapat menyebabkan puso (gagal panen) (RRI Banda Aceh, 2025). Untuk mengatasi ancaman ini, Pemerintah Aceh telah mengimplementasikan kebijakan dan program untuk meningkatkan ketahanan pangan dan mempromosikan pertanian berkelanjutan.

Salah satu landasan hukum adalah Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2022 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) (Distanbun Acehprov, 2022). Qanun ini bertujuan untuk melindungi dan mengembangkan lahan pertanian secara konsisten guna menjamin kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan (Distanbun Acehprov, 2022). LP2B juga mencakup rehabilitasi lahan pertanian yang rusak dan diversifikasi tanaman pangan (Distanbun Acehprov, 2022).

Inisiatif konkret dalam pertanian berkelanjutan meliputi:

  • Pemanfaatan Lahan Kosong: Masyarakat didorong untuk memanfaatkan lahan kosong dengan bercocok tanam sayuran, umbian, atau tanaman hias, bahkan dengan metode tanaman gantung jika lahan terbatas (Kemdikbud, n.d.).
  • Penggunaan Pupuk Organik: Penerapan pupuk organik membantu menjaga kesehatan tanah dan mengurangi penggunaan bahan kimia (Infosatu, 2025).
  • Pengendalian Hama Terpadu: Pendekatan holistik untuk mengelola hama mengurangi ketergantungan pada pestisida kimia (Infosatu, 2025).
  • Program Ketahanan Pangan Keluarga: Organisasi seperti PWA Aceh meluncurkan program ketahanan pangan keluarga yang berfokus pada pemberdayaan keluarga, terutama perempuan dan generasi muda, sebagai kunci ketahanan pangan berkelanjutan (Suaramuhammadiyah, 2025).
  • Integrasi Kearifan Lokal: Kearifan lokal, seperti rotasi lahan pertanian dan penggunaan tanaman tertentu untuk menjaga kesuburan tanah, dapat diintegrasikan dalam praktik konservasi (BPJIID, 2025).

Sektor pertanian di Aceh menghadapi dampak langsung dari perubahan iklim. Oleh karena itu, inisiatif yang berfokus pada praktik berkelanjutan dan perlindungan lahan sangat penting. Keberhasilan program-program ini bergantung pada integrasi kearifan lokal dengan teknik modern, memastikan akses terhadap sumber daya, dan membangun ketahanan di tingkat komunitas. Adanya kerangka kebijakan yang kuat seperti Qanun LP2B merupakan langkah maju, namun implementasi yang efektif memerlukan dukungan berkelanjutan dan partisipasi aktif dari petani dan masyarakat.

4.2. Ketahanan Air, Pesisir, dan Kesehatan

Aceh, sebagai provinsi pesisir, sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim yang memengaruhi ketersediaan air, kondisi pesisir, dan kesehatan masyarakat. Proyeksi menunjukkan kenaikan muka air laut yang mengancam kota-kota pesisir seperti Banda Aceh (Jurnal UUI, n.d.).

Inisiatif untuk ketahanan air dan pesisir meliputi:

  • Pengelolaan Air Bersih: Program pengumpulan air hujan, pemanfaatan air sumur dan PDAM, serta pembangunan sumur resapan dilakukan untuk menjamin ketersediaan air bersih bagi rumah tangga (Kemdikbud, n.d.). Upaya penghematan air dan pemanfaatan kembali air yang telah digunakan juga digalakkan (Kemdikbud, n.d.). Perbaikan kebocoran pipa dan pembersihan instalasi pengolahan air juga dilakukan (Tirtapase, 2024).
  • Perlindungan Pesisir: Penanaman dan rehabilitasi mangrove di sepanjang pantai menjadi bentuk perlindungan alami terhadap abrasi dan tsunami, sekaligus memperbaiki ekosistem pesisir (Jurnal UUI, n.d.). Pengembangan usaha alternatif seperti budidaya rumput laut dan ekowisata berbasis lingkungan juga dilakukan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat pesisir pada aktivitas yang tidak pasti akibat perubahan iklim (Jurnal UUI, n.d.).
  • Sistem Peringatan Dini: Penguatan sistem peringatan dini (early warning system) untuk cuaca ekstrem atau potensi banjir rob, serta pemetaan wilayah rawan bencana, bertujuan untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat (Jurnal UUI, n.d.).
  • Infrastruktur Tahan Iklim: Pengembangan infrastruktur yang tahan terhadap dampak perubahan iklim, seperti rumah panggung di kawasan permukiman pesisir, juga menjadi bagian dari strategi adaptasi (LCDI Indonesia, 2021; LCDI Indonesia, 2021b; LCDI Indonesia, 2021c; LCDI Indonesia, 2021d; Jurnal UUI, n.d.).

Dampak perubahan iklim juga memengaruhi kesehatan masyarakat, dengan genangan air akibat banjir dan sanitasi buruk meningkatkan risiko penyakit berbasis lingkungan seperti diare dan demam berdarah (Jurnal UUI, n.d.; Jurnal UUI, n.d.b; Jurnal UUI, n.d.c; Jurnal UUI, n.d.d). Program adaptasi di sektor kesehatan mencakup:

  • Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS): Program Kampung Iklim (ProKlim) mendorong masyarakat untuk menerapkan PHBS sebagai bagian dari adaptasi terhadap perubahan iklim (Acehprov, 2024; Acehprov, 2024b; Acehprov, 2024c; Acehprov, 2024d; Kemdikbud, n.d.).
  • Penyuluhan dan Pelatihan: Penyuluhan dan pelatihan berbasis masyarakat, bekerja sama dengan dinas teknis seperti Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan keterampilan masyarakat dalam menghadapi dampak iklim (Jurnal UUI, n.d.).

Kebutuhan adaptasi perubahan iklim di Aceh bersifat multi-sektoral, mencakup ketahanan air, perlindungan pesisir, dan kesehatan. Strategi adaptasi harus komprehensif, mengombinasikan solusi struktural (misalnya, infrastruktur yang tangguh), non-struktural (misalnya, sistem peringatan dini), dan pendekatan berbasis komunitas (misalnya, perbaikan sanitasi lokal). Implementasi yang efektif memerlukan koordinasi yang kuat antarlembaga dan partisipasi aktif masyarakat. Memastikan bahwa program-program ini terintegrasi dalam perencanaan pembangunan daerah dan didukung oleh pendanaan yang memadai akan sangat penting untuk membangun Aceh yang lebih tangguh terhadap perubahan iklim.

5. Peran Pemangku Kepentingan dan Tantangan Implementasi

Aksi iklim yang efektif di Aceh memerlukan kolaborasi erat antara berbagai pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah hingga masyarakat sipil dan sektor swasta.

5.1. Peran Pemerintah Daerah dan Pusat

Pemerintah Provinsi Aceh memainkan peran sentral dalam merumuskan kebijakan, mengoordinasikan program, dan memantau implementasi aksi iklim di tingkat daerah (Acehtengahkab, 2023; Acehbesarkab, 2022; Data Acehprov, 2024; Jurnal UUI, n.d.). Hal ini terlihat dari penyusunan Qanun RPPLH dan integrasi isu perubahan iklim ke dalam dokumen RPJMD (DPRA Acehprov, 2022; Jurnal UUI, n.d.; Paralegal.id, 2023). Pemerintah daerah bertanggung jawab untuk menerjemahkan target NDC nasional ke dalam rencana aksi lokal yang relevan dengan kondisi spesifik Aceh (ACTIA, 2025).

Dukungan dari pemerintah pusat juga sangat penting, terutama melalui kerangka kerja nasional seperti Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) (IESR, 2024; Madani Berkelanjutan, 2022; MENLHK, n.d.). Regulasi ini memberikan pedoman dan mekanisme untuk implementasi perdagangan karbon, pembayaran berbasis kinerja, dan pungutan atas karbon, yang dapat menjadi sumber pendanaan tambahan untuk aksi iklim di daerah (Madani Berkelanjutan, 2022).

Meskipun terdapat kerangka kerja yang jelas, implementasi aksi iklim yang efektif menuntut tata kelola yang kuat, mandat yang jelas, dan koordinasi yang mulus antara pemerintah pusat dan daerah. Tantangan sering muncul dari tumpang tindih kewenangan, keterbatasan kapasitas teknis di tingkat lokal, dan kebutuhan akan implementasi kebijakan yang konsisten lintas periode administrasi. Pengalaman proyek REDD+ Ulu Masen yang terhenti karena perubahan kepemimpinan dan ketidakjelasan wewenang pengelolaan hutan (CIFOR, n.d.) menjadi contoh nyata bagaimana diskontinuitas politik dapat menghambat program lingkungan jangka panjang. Oleh karena itu, membangun kapasitas kelembagaan yang kuat, meningkatkan koordinasi antar-instansi, dan memastikan komitmen politik yang berkelanjutan adalah kunci untuk mengatasi hambatan ini dan mempercepat aksi iklim di Aceh.

5.2. Peran Sektor Swasta

Sektor swasta merupakan mitra krusial dalam upaya transisi energi dan pembangunan industri berkelanjutan di Aceh. Keterlibatan perusahaan swasta terlihat dalam berbagai inisiatif rendah karbon dan proyek energi terbarukan. Misalnya, PT PEMA Aceh Carbon, sebuah joint venture dengan pemerintah provinsi, sedang mengembangkan fasilitas Carbon Capture and Storage (CCS) di lapangan gas Arun (Carbonaceh, n.d.; Carbonaceh, n.d.b; Carbonaceh, n.d.c; Carbonaceh, n.d.d; Petromindo, 2025; Petromindo, 2025b; Petromindo, 2025c). Selain itu, investor swasta juga menunjukkan minat dalam pembangunan pabrik daur ulang lithium dan tembaga, yang diarahkan untuk menjadikan Aceh sebagai kawasan industri hijau (Acehinfo, 2025; Acehinfo, 2025b; Acehinfo, 2025c; Indojayanews, 2025; Indojayanews, 222; Pikiran Merdeka, 2025; Pikiran Merdeka, 2025b).

Peran sektor swasta tidak hanya terbatas pada investasi langsung, tetapi juga melalui mekanisme pasar karbon dan pembiayaan hijau. Kredit karbon mulai digarap di Aceh oleh PT PEMA, menargetkan ratusan ribu hektar lahan untuk pengembangan karbon berbasis Nature-Based Solutions (NBS) (Dialeksis, 2025; PT Pema, n.d.). Pendanaan iklim dari sektor swasta dapat membantu membangun infrastruktur hijau dan mendorong praktik bisnis yang berwawasan lingkungan (Coaction, 2023; Kemenkeu, n.d.; Katadata, 2022).

Saat ini, upaya mitigasi GRK di sektor kehutanan Aceh terus berlanjut melalui berbagai program. Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh terlibat dalam operasi pengamanan hutan, rapat pembahasan revisi keputusan gubernur terkait pengelolaan sampah regional, dan rapat koordinasi pemantauan implementasi Qanun Aceh tentang RPPLH (DLHK Aceh, n.d.; DLHK Aceh, 2025). Program-program ini mencakup perlindungan hutan, rehabilitasi lahan, dan pengelolaan hutan berkelanjutan, yang bertujuan untuk meningkatkan serapan karbon dan mengurangi emisi (DLHK Aceh, 2025; DLHK Aceh, n.d.). Pentingnya kearifan lokal juga diakui, dengan studi yang menyoroti peran hukum adat dan lembaga tradisional seperti Panglima Uteun dalam pengelolaan hutan dan konservasi (BPJIID, 2025; MAA Acehprov, n.d.; OJS UNPKediri, 2022; OJS UNPKediri, 2022b; OJS UNPKediri, 2022c).

Pengalaman dari inisiatif Ulu Masen memberikan pelajaran berharga mengenai kompleksitas proyek pembiayaan karbon skala besar, terutama terkait dengan isu tenurial lahan, pembagian manfaat yang adil, dan kesinambungan politik. Untuk inisiatif FOLU di masa depan, sangat penting untuk membangun di atas pelajaran ini, memastikan keterlibatan masyarakat yang kuat, kerangka hukum yang jelas yang mengakui hak-hak adat, dan komitmen politik jangka panjang untuk menghindari kemunduran serupa. Memastikan bahwa manfaat dari pengurangan emisi secara adil didistribusikan kepada komunitas lokal dan bahwa kebijakan tidak terganggu oleh perubahan kepemimpinan akan menjadi kunci keberhasilan program mitigasi berbasis lahan di Aceh.

3.2. Sektor Energi (Energi Terbarukan)

Aceh memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar dan beragam, menjadikannya wilayah yang strategis untuk transisi energi bersih di Indonesia. Potensi ini mencakup energi air (hidro) sebesar 5.147 MW di 70 lokasi, panas bumi 1.143 MW di 22 lapangan, surya 7.881 MWe, angin 231 MWe, dan bioenergi 1.174 MW (Kompas, 2023; DPMPTSP Aceh, n.d.; IESR, 2019; Listrik Indonesia, n.d.). Sungai-sungai di Aceh juga menawarkan potensi minihidro dan mikrohidro yang signifikan (Listrik Indonesia, n.d.).

Berbagai proyek energi terbarukan sedang berjalan atau direncanakan di Aceh:

  • Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA): PLTA Peusangan 1 & 2 di Aceh Tengah dengan kapasitas 88 MW dipastikan akan beroperasi secara bertahap pada akhir tahun 2025 dan beroperasi penuh pada pertengahan 2026 (Humas Acehtengahkab, 2025; Tribungayo, 2024). Kementerian ESDM juga menargetkan PLTA pertama di Aceh beroperasi penuh pada akhir 2024 (ESDM, 2024). Selain itu, terdapat potensi 70 titik PLTA di Aceh (DPMPTSP Aceh, n.d.).
  • Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS): Terdapat kajian potensi PLTS di Banda Aceh, Aceh Besar, dan Sabang, dengan proyeksi daya yang dapat disuplai oleh PLTS Hybrid mencapai 337,879 Wh per hari untuk kebutuhan kritis (Jurnal ITY, n.d.). Meskipun belum ada PLTS skala besar yang beroperasi di Aceh, potensi energi surya provinsi ini sangat tinggi (Jurnal ITY, n.d.; IESR, 2019; Solarpanel-id, 2017; ESDM, 2024b; Lemhannas, n.d.; Lemhannas, n.d.b).
  • Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB): Prospektus PLTB Aceh Besar dengan kapasitas 120 MW telah disusun, menunjukkan potensi signifikan untuk energi angin (Energy Transition Partnership, 2024). Pemerintah Aceh Besar sangat mendukung proyek ini dan siap membantu data teknis yang dibutuhkan (Prokopim Banda Aceh, 2025).
  • Panas Bumi: Pemerintah Aceh mendukung penuh pembangunan Pembangkit Listrik Panas Bumi, dengan target operasi penuh dalam 4-5 tahun ke depan, diharapkan menjadi penggerak utama energi bersih di wilayah barat Indonesia (Humas Acehprov, 2025).

Meskipun Aceh memiliki potensi energi terbarukan yang melimpah dan berbagai proyek sedang berjalan atau direncanakan, tantangan utama terletak pada peningkatan skala proyek-proyek ini untuk memenuhi target ambisius. Keterbatasan infrastruktur transmisi dan distribusi, serta kebutuhan akan investasi besar, menjadi kendala yang perlu diatasi. Transisi dari ketergantungan pada bahan bakar fosil, khususnya dalam pembangkitan listrik, memerlukan kemauan politik yang berkelanjutan dan insentif regulasi yang jelas untuk menarik investasi swasta. Selain itu, memastikan bahwa proyek-proyek ini memberikan manfaat yang adil bagi masyarakat lokal dan meminimalkan dampak lingkungan akan menjadi kunci keberhasilan transisi energi di Aceh.

3.3. Sektor Limbah dan Industri

Aceh menunjukkan upaya mitigasi perubahan iklim melalui pengelolaan limbah dan inisiatif industri rendah karbon. Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh Tengah memiliki bidang khusus untuk pengelolaan sampah dan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), termasuk penyusunan kebijakan, koordinasi, monitoring, dan evaluasi (Dislindup Acehtengahkab, n.d.). Di Banda Aceh, upaya pengelolaan sampah melibatkan teknologi pengolahan sampah, pengurangan sampah, daur ulang, dan pemanfaatan kembali, dengan fokus pada pembinaan bank sampah dan pelatihan manajemen sampah di tingkat sekolah dan instansi (DLHK3 Banda Aceh, n.d.). Kerjasama dengan desa/gampong juga dilakukan untuk pengelolaan sampah (DLHK3 Banda Aceh, n.d.).

Inisiatif industri rendah karbon di Aceh mencakup beberapa aspek:

  • Pemanfaatan Limbah Sawit: Terdapat potensi besar untuk mengurangi emisi GRK dari industri kelapa sawit di Aceh melalui pemanfaatan limbah padat (seperti Empty Fruit Bunch – EFB) dan limbah cair untuk menghasilkan energi. Studi menunjukkan bahwa pemanfaatan EFB dari 25 pabrik CPO di Aceh dapat mengurangi emisi GRK hingga 171.232,21 tCO2e per tahun (ResearchGate, 2012).
  • Kredit Karbon: PT Pembangunan Aceh (PEMA), perusahaan milik pemerintah provinsi Aceh, telah memulai inisiatif kredit karbon dengan menargetkan lebih dari 100.000 hektar lahan di beberapa wilayah sebagai kawasan prioritas untuk pengembangan karbon berbasis Nature-Based Solutions (NBS) (Dialeksis, 2025; PT Pema, n.d.). Teknologi transparansi dan akuntabilitas dalam penghitungan emisi terhindarkan juga menjadi fokus (Dialeksis, 2025).
  • Carbon Capture and Storage (CCS): PT PEMA Aceh Carbon, sebuah perusahaan patungan antara Carbon Aceh dan PT PEMA, sedang menyelesaikan studi kelayakan untuk pengembangan fasilitas CCS di lapangan gas Arun yang telah habis (Carbonaceh, n.d.; Carbonaceh, n.d.b; Carbonaceh, n.d.c; Carbonaceh, n.d.d; Petromindo, 2025; Petromindo, 2025b; Petromindo, 2025c). Proyek Arun CCS diperkirakan akan beroperasi pada tahun 2029 dan berpotensi menjadi bisnis CCS komersial pertama di Asia yang menawarkan penyimpanan CO2 akses terbuka, dengan kapasitas penyerapan lebih dari 1.000 juta metrik ton CO2 (Carbonaceh, n.d.; Petromindo, 2025).
  • Industri Hijau Lainnya: Investasi dalam pabrik daur ulang tembaga dan lithium oleh investor Malaysia didukung oleh Pemerintah Aceh, dengan tujuan menjadikan Aceh sebagai kawasan industri hijau dan berkelanjutan di sektor energi masa depan (Acehinfo, 2025; Acehinfo, 2025b; Acehinfo, 2025c; Indojayanews, 2025; Indojayanews, 2025b; Pikiran Merdeka, 2025; Pikiran Merdeka, 2025b).

Meskipun Aceh menunjukkan potensi dalam pengelolaan limbah dan memiliki inisiatif industri rendah karbon yang menjanjikan, transisi untuk industri berat (seperti kelapa sawit dan potensi industri lainnya) sangat kompleks. Hal ini memerlukan investasi signifikan dalam teknologi baru, insentif kebijakan yang jelas, dan penanganan dampak sosial serta lingkungan. Penting untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif yang menyeimbangkan keuntungan ekonomi dengan keharusan lingkungan. Keberhasilan inisiatif ini akan bergantung pada kemampuan Aceh untuk menarik investasi berkelanjutan, mengembangkan kapasitas teknologi, dan memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi sejalan dengan tujuan dekarbonisasi.

4. Inisiatif Adaptasi Perubahan Iklim di Aceh

Perubahan iklim telah mulai berdampak di Aceh, ditandai dengan kekeringan, kenaikan suhu, penurunan kesuburan tanah, bencana alam, dan gagal panen (Kompas.id, 2022). Menanggapi hal ini, Aceh telah mengembangkan berbagai inisiatif adaptasi untuk meningkatkan ketahanan wilayah dan masyarakat.

4.1. Ketahanan Pangan dan Pertanian Berkelanjutan

Sektor pertanian di Aceh sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, seperti kekeringan dan banjir yang dapat menyebabkan puso (gagal panen) (RRI Banda Aceh, 2025). Untuk mengatasi ancaman ini, Pemerintah Aceh telah mengimplementasikan kebijakan dan program untuk meningkatkan ketahanan pangan dan mempromosikan pertanian berkelanjutan.

Salah satu landasan hukum adalah Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2022 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) (Distanbun Acehprov, 2022). Qanun ini bertujuan untuk melindungi dan mengembangkan lahan pertanian secara konsisten guna menjamin kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan (Distanbun Acehprov, 2022). LP2B juga mencakup rehabilitasi lahan pertanian yang rusak dan diversifikasi tanaman pangan (Distanbun Acehprov, 2022).

Inisiatif konkret dalam pertanian berkelanjutan meliputi:

  • Pemanfaatan Lahan Kosong: Masyarakat didorong untuk memanfaatkan lahan kosong dengan bercocok tanam sayuran, umbian, atau tanaman hias, bahkan dengan metode tanaman gantung jika lahan terbatas (Kemdikbud, n.d.).
  • Penggunaan Pupuk Organik: Penerapan pupuk organik membantu menjaga kesehatan tanah dan mengurangi penggunaan bahan kimia (Infosatu, 2025).
  • Pengendalian Hama Terpadu: Pendekatan holistik untuk mengelola hama mengurangi ketergantungan pada pestisida kimia (Infosatu, 2025).
  • Program Ketahanan Pangan Keluarga: Organisasi seperti PWA Aceh meluncurkan program ketahanan pangan keluarga yang berfokus pada pemberdayaan keluarga, terutama perempuan dan generasi muda, sebagai kunci ketahanan pangan berkelanjutan (Suaramuhammadiyah, 2025).
  • Integrasi Kearifan Lokal: Kearifan lokal, seperti rotasi lahan pertanian dan penggunaan tanaman tertentu untuk menjaga kesuburan tanah, dapat diintegrasikan dalam praktik konservasi (BPJIID, 2025).

Sektor pertanian di Aceh menghadapi dampak langsung dari perubahan iklim. Oleh karena itu, inisiatif yang berfokus pada praktik berkelanjutan dan perlindungan lahan sangat penting. Keberhasilan program-program ini bergantung pada integrasi kearifan lokal dengan teknik modern, memastikan akses terhadap sumber daya, dan membangun ketahanan di tingkat komunitas. Adanya kerangka kebijakan yang kuat seperti Qanun LP2B merupakan langkah maju, namun implementasi yang efektif memerlukan dukungan berkelanjutan dan partisipasi aktif dari petani dan masyarakat.

4.2. Ketahanan Air, Pesisir, dan Kesehatan

Aceh, sebagai provinsi pesisir, sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim yang memengaruhi ketersediaan air, kondisi pesisir, dan kesehatan masyarakat. Proyeksi menunjukkan kenaikan muka air laut yang mengancam kota-kota pesisir seperti Banda Aceh (Jurnal UUI, n.d.).

Inisiatif untuk ketahanan air dan pesisir meliputi:

  • Pengelolaan Air Bersih: Program pengumpulan air hujan, pemanfaatan air sumur dan PDAM, serta pembangunan sumur resapan dilakukan untuk menjamin ketersediaan air bersih bagi rumah tangga (Kemdikbud, n.d.). Upaya penghematan air dan pemanfaatan kembali air yang telah digunakan juga digalakkan (Kemdikbud, n.d.). Perbaikan kebocoran pipa dan pembersihan instalasi pengolahan air juga dilakukan (Tirtapase, 2024).
  • Perlindungan Pesisir: Penanaman dan rehabilitasi mangrove di sepanjang pantai menjadi bentuk perlindungan alami terhadap abrasi dan tsunami, sekaligus memperbaiki ekosistem pesisir (Jurnal UUI, n.d.). Pengembangan usaha alternatif seperti budidaya rumput laut dan ekowisata berbasis lingkungan juga dilakukan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat pesisir pada aktivitas yang tidak pasti akibat perubahan iklim (Jurnal UUI, n.d.).
  • Sistem Peringatan Dini: Penguatan sistem peringatan dini (early warning system) untuk cuaca ekstrem atau potensi banjir rob, serta pemetaan wilayah rawan bencana, bertujuan untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat (Jurnal UUI, n.d.).
  • Infrastruktur Tahan Iklim: Pengembangan infrastruktur yang tahan terhadap dampak perubahan iklim, seperti rumah panggung di kawasan permukiman pesisir, juga menjadi bagian dari strategi adaptasi (LCDI Indonesia, 2021; LCDI Indonesia, 2021b; LCDI Indonesia, 2021c; LCDI Indonesia, 2021d; Jurnal UUI, n.d.).

Dampak perubahan iklim juga memengaruhi kesehatan masyarakat, dengan genangan air akibat banjir dan sanitasi buruk meningkatkan risiko penyakit berbasis lingkungan seperti diare dan demam berdarah (Jurnal UUI, n.d.; Jurnal UUI, n.d.b; Jurnal UUI, n.d.c; Jurnal UUI, n.d.d). Program adaptasi di sektor kesehatan mencakup:

  • Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS): Program Kampung Iklim (ProKlim) mendorong masyarakat untuk menerapkan PHBS sebagai bagian dari adaptasi terhadap perubahan iklim (Acehprov, 2024; Acehprov, 2024b; Acehprov, 2024c; Acehprov, 2024d; Kemdikbud, n.d.).
  • Penyuluhan dan Pelatihan: Penyuluhan dan pelatihan berbasis masyarakat, bekerja sama dengan dinas teknis seperti Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan keterampilan masyarakat dalam menghadapi dampak iklim (Jurnal UUI, n.d.).

Kebutuhan adaptasi perubahan iklim di Aceh bersifat multi-sektoral, mencakup ketahanan air, perlindungan pesisir, dan kesehatan. Strategi adaptasi harus komprehensif, mengombinasikan solusi struktural (misalnya, infrastruktur yang tangguh), non-struktural (misalnya, sistem peringatan dini), dan pendekatan berbasis komunitas (misalnya, perbaikan sanitasi lokal). Implementasi yang efektif memerlukan koordinasi yang kuat antarlembaga dan partisipasi aktif masyarakat. Memastikan bahwa program-program ini terintegrasi dalam perencanaan pembangunan daerah dan didukung oleh pendanaan yang memadai akan sangat penting untuk membangun Aceh yang lebih tangguh terhadap perubahan iklim.

5. Peran Pemangku Kepentingan dan Tantangan Implementasi

Aksi iklim yang efektif di Aceh memerlukan kolaborasi erat antara berbagai pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah hingga masyarakat sipil dan sektor swasta.

5.1. Peran Pemerintah Daerah dan Pusat

Pemerintah Provinsi Aceh memainkan peran sentral dalam merumuskan kebijakan, mengoordinasikan program, dan memantau implementasi aksi iklim di tingkat daerah (Acehtengahkab, 2023; Acehbesarkab, 2022; Data Acehprov, 2024; Jurnal UUI, n.d.). Hal ini terlihat dari penyusunan Qanun RPPLH dan integrasi isu perubahan iklim ke dalam dokumen RPJMD (DPRA Acehprov, 2022; Jurnal UUI, n.d.; Paralegal.id, 2023). Pemerintah daerah bertanggung jawab untuk menerjemahkan target NDC nasional ke dalam rencana aksi lokal yang relevan dengan kondisi spesifik Aceh (ACTIA, 2025).

Dukungan dari pemerintah pusat juga sangat penting, terutama melalui kerangka kerja nasional seperti Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) (IESR, 2024; Madani Berkelanjutan, 2022; MENLHK, n.d.). Regulasi ini memberikan pedoman dan mekanisme untuk implementasi perdagangan karbon, pembayaran berbasis kinerja, dan pungutan atas karbon, yang dapat menjadi sumber pendanaan tambahan untuk aksi iklim di daerah (Madani Berkelanjutan, 2022).

Meskipun terdapat kerangka kerja yang jelas, implementasi aksi iklim yang efektif menuntut tata kelola yang kuat, mandat yang jelas, dan koordinasi yang mulus antara pemerintah pusat dan daerah. Tantangan sering muncul dari tumpang tindih kewenangan, keterbatasan kapasitas teknis di tingkat lokal, dan kebutuhan akan implementasi kebijakan yang konsisten lintas periode administrasi. Pengalaman proyek REDD+ Ulu Masen yang terhenti karena perubahan kepemimpinan dan ketidakjelasan wewenang pengelolaan hutan (CIFOR, n.d.) menjadi contoh nyata bagaimana diskontinuitas politik dapat menghambat program lingkungan jangka panjang. Oleh karena itu, membangun kapasitas kelembagaan yang kuat, meningkatkan koordinasi antar-instansi, dan memastikan komitmen politik yang berkelanjutan adalah kunci untuk mengatasi hambatan ini dan mempercepat aksi iklim di Aceh.

5.2. Peran Sektor Swasta

Sektor swasta merupakan mitra krusial dalam upaya transisi energi dan pembangunan industri berkelanjutan di Aceh. Keterlibatan perusahaan swasta terlihat dalam berbagai inisiatif rendah karbon dan proyek energi terbarukan. Misalnya, PT PEMA Aceh Carbon, sebuah joint venture dengan pemerintah provinsi, sedang mengembangkan fasilitas Carbon Capture and Storage (CCS) di lapangan gas Arun (Carbonaceh, n.d.; Carbonaceh, n.d.b; Carbonaceh, n.d.c; Carbonaceh, n.d.d; Petromindo, 2025; Petromindo, 2025b; Petromindo, 2025c). Selain itu, investor swasta juga menunjukkan minat dalam pembangunan pabrik daur ulang lithium dan tembaga, yang diarahkan untuk menjadikan Aceh sebagai kawasan industri hijau (Acehinfo, 2025; Acehinfo, 2025b; Acehinfo, 2025c; Indojayanews, 2025; Indojayanews, 222; Pikiran Merdeka, 2025; Pikiran Merdeka, 2025b).

5.3. Peran Masyarakat Sipil dan Adat

Partisipasi masyarakat sipil dan komunitas adat adalah fundamental untuk aksi iklim yang efektif dan adil di Aceh. Organisasi non-pemerintah (LSM) memiliki peran penting dalam advokasi, pemberdayaan masyarakat, dan implementasi proyek lingkungan. Contohnya, WALHI Aceh aktif dalam advokasi penanganan dan pengelolaan sampah di Banda Aceh (WALHI, n.d.; WALHI, 2023), serta isu-isu strategis seperti HAM, kebijakan publik, lingkungan, dan perubahan iklim (Lokadaya, 2024). LSM juga berperan dalam meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya pendanaan iklim dan membantu komunitas mengakses dana tersebut (Coaction, 2023).

Kearifan lokal dan lembaga adat di Aceh memiliki peran yang tak ternilai dalam konservasi lingkungan dan mitigasi bencana. Sistem hukum adat, seperti Panglima Uteun untuk pengelolaan hutan dan Panglima Laot untuk pengelolaan sumber daya laut, mencerminkan praktik konservasi tradisional yang selaras dengan alam (BPJIID, 2025; MAA Acehprov, n.d.; OJS UNPKediri, 2022; OJS UNPKediri, 2022b; OJS UNPKediri, 2022c). Pengetahuan tradisional masyarakat Simeulue tentang “smong” (peringatan tsunami) adalah contoh nyata bagaimana kearifan lokal dapat menyelamatkan nyawa dalam menghadapi bencana alam (BPJIID, 2025; Jurnal ABDINUS, 2022). Program Kampung Iklim (ProKlim) juga mengintegrasikan partisipasi masyarakat dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di tingkat desa (Kemdikbud, n.d.; Acehprov, 2024).

Meskipun partisipasi masyarakat dan kearifan lokal menawarkan solusi berkelanjutan, integrasinya ke dalam kerangka kerja modern memerlukan penghormatan terhadap hak-hak adat, peningkatan kapasitas, dan tata kelola yang inklusif. Tantangan meliputi memastikan pembagian manfaat yang adil dari proyek-proyek iklim dan mengatasi kesenjangan kapasitas dalam perencanaan dan implementasi. Membangun dialog antar generasi dan mendokumentasikan praktik tradisional dengan teknologi digital dapat memperkuat peran masyarakat adat dalam aksi iklim

6. Tantangan dan Peluang

6.1. Tantangan Utama

Implementasi aksi perubahan iklim di Aceh menghadapi beberapa tantangan signifikan:

  • Keterbatasan Kapasitas Pemerintah Daerah: Kapasitas pemerintah daerah dalam menyusun rencana teknis dan mengimplementasikan program seringkali terbatas, memerlukan pelatihan dan pendampingan dari pusat (ACTIA, 2025; Al Mikraj, n.d.).
  • Koordinasi Lintas Sektor: Koordinasi antar sektor dan antar pemangku kepentingan (pemerintah pusat, daerah, masyarakat lokal) masih rentan tumpang tindih atau tidak efektif karena perbedaan prioritas dan keterbatasan kelembagaan (ACTIA, 2025; Al Mikraj, n.d.).
  • Kesenjangan Pendanaan: Pelaksanaan program iklim membutuhkan pendanaan yang berkelanjutan. Meskipun ada dukungan internasional dan mekanisme nilai ekonomi karbon, aliran dana seringkali tidak cukup atau proses pencairannya panjang, menghambat keberlanjutan program (Al Mikraj, n.d.; Coaction, 2023; Republika, 2025).
  • Konflik Tenurial Lahan: Konflik kepemilikan lahan antara masyarakat adat, perusahaan, dan pemerintah, serta kurangnya pengakuan hak masyarakat adat, menjadi penghambat utama, terutama dalam proyek-proyek berbasis lahan seperti REDD+ (Al Mikraj, n.d.; WRM, 2014).
  • Diskontinuitas Kebijakan: Perubahan kepemimpinan di tingkat provinsi dapat menyebabkan terhentinya atau perubahan fokus program iklim yang sudah berjalan, seperti yang terjadi pada inisiatif Ulu Masen REDD+ (CIFOR, n.d.).
  • Penegakan Hukum: Pengawasan dan penegakan hukum terhadap aktivitas ilegal seperti penebangan liar masih menjadi masalah, mengikis upaya konservasi dan mitigasi emisi (Al Mikraj, n.d.).

6.2. Peluang dan Rekomendasi

Meskipun ada tantangan, Aceh memiliki peluang besar untuk memajukan aksi iklimnya:

  • Potensi Energi Terbarukan Melimpah: Aceh memiliki sumber daya energi terbarukan yang sangat besar (hidro, panas bumi, surya, angin, bioenergi) yang dapat dimanfaatkan untuk transisi energi dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil (Kompas, 2023; DPMPTSP Aceh, n.d.; IESR, 2019; Listrik Indonesia, n.d.).
  • Mekanisme Pasar Karbon: Inisiatif perdagangan karbon dan pembiayaan berbasis kinerja menawarkan peluang pendanaan baru untuk proyek-proyek iklim di daerah (ACTIA, 2025; Dialeksis, 2025; PT Pema, n.d.; Carbonaceh, n.d.; Petromindo, 2025).
  • Dukungan Internasional: Dukungan dari lembaga internasional dan negara mitra membuka peluang pendanaan dan transfer teknologi untuk proyek-proyek iklim (ACTIA, 2025; Antaranews, 2016; EEAS, n.d.).
  • Keterlibatan Masyarakat Kuat: Masyarakat lokal dan adat di Aceh memiliki kearifan tradisional yang kaya dalam pengelolaan sumber daya alam dan ketahanan bencana, yang dapat diintegrasikan ke dalam strategi iklim modern (ACTIA, 2025; CIFOR, n.d.; Mongabay, 2017; BPJIID, 2025; MAA Acehprov, n.d.; Kemdikbud, n.d.; Jurnal UUI, n.d.; WALHI, n.d.; Lokadaya, 2024; Jurnal ABDINUS, 2022; PRPI-ACCI, n.d.).

Rekomendasi:

  1. Penguatan Kapasitas Kelembagaan: Meningkatkan kapasitas pemerintah daerah melalui pelatihan teknis, peningkatan sumber daya manusia, dan penguatan kelembagaan lintas sektor untuk perencanaan dan implementasi aksi iklim.
  2. Harmonisasi Kebijakan: Memastikan konsistensi dan sinergi antara kebijakan iklim nasional dan daerah, serta antar sektor, untuk menghindari tumpang tindih dan memaksimalkan dampak.
  3. Pengembangan Mekanisme Pendanaan Inovatif: Mengembangkan strategi pendanaan yang berkelanjutan, termasuk memanfaatkan potensi pasar karbon domestik dan internasional, serta menarik investasi hijau dari sektor swasta.
  4. Peningkatan Transparansi Data: Memperbaiki sistem pengumpulan, analisis, dan penyajian data emisi GRK yang lebih granular dan mudah diakses untuk mendukung pengambilan keputusan berbasis bukti.
  5. Pemberdayaan Komunitas: Mengakui dan mengintegrasikan peran masyarakat adat dan kearifan lokal dalam program mitigasi dan adaptasi, serta memastikan pembagian manfaat yang adil dari proyek-proyek iklim.
  6. Penegakan Hukum yang Tegas: Memperkuat penegakan hukum terhadap aktivitas ilegal yang merusak lingkungan untuk melindungi aset alam yang vital bagi mitigasi dan adaptasi.

Kesimpulan

Provinsi Aceh telah menunjukkan komitmen yang kuat dan proaktif dalam menghadapi perubahan iklim, tercermin dalam kerangka kebijakan yang berkembang dan berbagai inisiatif mitigasi serta adaptasi. Status otonomi khusus Aceh memberikan landasan yang unik untuk merumuskan kebijakan yang relevan secara lokal, seperti Qanun RPPLH, dan memanfaatkan potensi sumber daya alam yang melimpah, khususnya di sektor energi terbarukan dan kehutanan.

Meskipun demikian, perjalanan Aceh menuju pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim tidak lepas dari tantangan. Pengalaman masa lalu, seperti terhentinya proyek REDD+ Ulu Masen, menggarisbawahi pentingnya kesinambungan politik, kejelasan tenurial lahan, dan koordinasi antar pemangku kepentingan yang kuat. Keterbatasan kapasitas di tingkat lokal, kesenjangan pendanaan, dan kompleksitas koordinasi lintas sektor juga menjadi hambatan yang perlu terus diatasi.

Untuk mencapai target iklimnya secara efektif, Aceh perlu terus memperkuat kapasitas kelembagaannya, menyempurnakan sistem data dan pelaporan, serta memastikan aliran pendanaan yang stabil dan berkelanjutan. Keterlibatan aktif dan pemberdayaan masyarakat, terutama komunitas adat dengan kearifan lokalnya, akan menjadi kunci untuk memastikan bahwa solusi iklim bersifat inklusif dan berkelanjutan. Dengan sinergi yang lebih baik antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil, Aceh dapat tidak hanya memenuhi komitmen iklim nasionalnya, tetapi juga menjadi model pembangunan berkelanjutan yang tangguh di tengah tantangan perubahan iklim global.

Daftar Pustaka

Acehinfo. (2025, Mei 27). Wagub Aceh Dukung Penuh Investasi Pabrik Daur Ulang Tembaga dan Lithium oleh Investor Malaysia. Diakses dari https://www.acehinfo.id/wagub-aceh-dukung-penuh-investasi-pabrik-daur-ulang-tembaga-dan-lithium-oleh-investor-malaysia/

Acehinfo. (2025, Mei 27). Wagub Aceh Dukung Penuh Investasi Pabrik Daur Ulang Tembaga dan Lithium oleh Investor Malaysia. Diakses dari https://www.acehinfo.id/wagub-aceh-dukung-penuh-investasi-pabrik-daur-ulang-tembaga-dan-lithium-oleh-investor-malaysia/

Acehinfo. (2025, Mei 27). Wagub Aceh Dukung Penuh Investasi Pabrik Daur Ulang Tembaga dan Lithium oleh Investor Malaysia. Diakses dari https://www.acehinfo.id/wagub-aceh-dukung-penuh-investasi-pabrik-daur-ulang-tembaga-dan-lithium-oleh-investor-malaysia/

Acehprov. (2017, Agustus 21). Kementerian Lingkungan Hidup Bersama Pemerintah Aceh Gelar Sosialisasi NDC. Diakses dari https://www.acehprov.go.id/berita/kategori/wisata-lingkungan/kementerian-lingkungan-hidup-bersama-pemerintah-aceh-gelar-sosialisasi-ndc

Acehprov. (2024, Juni 5). Aceh Miliki 350 Gampong Iklim. Diakses dari https://www.acehprov.go.id/berita/kategori/wisata-lingkungan/aceh-miliki-350-gampong-iklim

Acehprov. (2024, Juni 5). Aceh Miliki 350 Gampong Iklim. Diakses dari https://www.acehprov.go.id/berita/kategori/wisata-lingkungan/aceh-miliki-350-gampong-iklim

Acehprov. (2024, Juni 5). Aceh Miliki 350 Gampong Iklim. Diakses dari https://www.acehprov.go.id/berita/kategori/wisata-lingkungan/aceh-miliki-350-gampong-iklim

Acehprov. (2024, Juni 5). Aceh Miliki 350 Gampong Iklim. Diakses dari https://www.acehprov.go.id/berita/kategori/wisata-lingkungan/aceh-miliki-350-gampong-iklim

Acehbesarkab. (2022, Juli 1). Perbup No 16 Tahun 2022 Tentang Rencana Kerja Pemerintah Kabupaten Aceh Besar Tahun 2023. Diakses dari https://acehbesarkab.go.id/media/2024.07/1_rkpd_aceh_besar_2023_compressed1.pdf

Acehtengahkab. (2023, September 20). RPD Kab Aceh Tengah 2023-2026. Diakses dari https://acehtengahkab.go.id/media/2023.09/rpd_kab_aceh_tengah_2023-2026_compressed1.pdf

ACTIA. (2025, Mei 9). Sinergi Peran Parties-Non Parties dalam Implementasi Strategi NDC. Diakses dari https://actiaclimate.com/peran-parties-non-parties-implementasi-strategi-ndc/

Al Mikraj. (n.d.). Pelaksanaan Program REDD+ di Kalimantan Timur. Omah Jurnal Sunan Giri. Diakses 14 Juni 2025, dari https://www.ejournal.insuriponorogo.ac.id/index.php/almikraj/article/download/5819/3397/

Antaranews. (n.d.). Second NDC pending emission reduction discussion: RI Govt. Diakses 14 Juni 2025, dari https://en.antaranews.com/news/351421/second-ndc-pending-emission-reduction-discussion-ri-govt

Antaranews. (2016, November 26). Indonesia ready to lead global efforts to overcome global warming. Diakses dari https://www.antaranews.com/berita/552619/@JambiAntara?fullsite=true

APKindo. (n.d.). Sektor Target Penurunan (Mega ton CO2e) % dari BAU. Diakses 14 Juni 2025,

Sulawesi Tenggara

Analisis Komprehensif Aksi Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim di Provinsi Sulawesi Tenggara: Kebijakan, Implementasi, dan Prospek Masa Depan

1. Ringkasan Eksekutif

Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) menunjukkan komitmen yang berkembang dalam mengatasi perubahan iklim, sebagaimana tercermin dalam kerangka kebijakan dan inisiatif proyek yang ada. Secara nasional, Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris dan menetapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) melalui Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC) yang ambisius, dengan visi Net Zero Emission pada tahun 2060 atau lebih cepat. Target NDC ini sangat bergantung pada sektor kehutanan dan penggunaan lahan (FOLU).

Secara geografis dan sosial-ekonomi, Sultra rentan terhadap dampak perubahan iklim, dengan bukti deforestasi yang signifikan yang memperburuk kerentanan ini. Meskipun demikian, provinsi ini memiliki potensi besar dalam energi terbarukan dan inisiatif industri hijau yang menjanjikan. Kerangka kebijakan daerah, seperti Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 2019 tentang Adaptasi Perubahan Iklim dan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 47 Tahun 2020 tentang Rencana Aksi Daerah Adaptasi Perubahan Iklim (RAD-API), menunjukkan landasan hukum yang kuat. Namun, data inventarisasi GRK spesifik provinsi yang terbatas dan belum mutakhir menghadirkan tantangan dalam merumuskan kebijakan yang tepat sasaran dan mengukur kemajuan secara akurat.

Inisiatif mitigasi mencakup proyek-proyek energi terbarukan seperti PLTA Watunohu, PLTB Tolo, PLTSa Konawe, dan co-firing biomassa, yang menunjukkan diversifikasi sumber energi. Keterlibatan Sultra dalam program Result Based Payment (RBP) REDD+ GCF juga menyoroti potensi konservasi hutan. Di sektor limbah, terdapat upaya pengelolaan sampah dan pemanfaatan limbah sebagai sumber energi dan produk bernilai tambah. Industri nikel di Sultra juga mengarah pada dekarbonisasi melalui kawasan industri hijau dan green smelter.

Dalam adaptasi, terdapat program peningkatan ketahanan iklim berbasis komunitas dan peningkatan ketahanan pangan dan air. Keterlibatan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah daerah, masyarakat adat, sektor swasta, LSM, dan akademisi, diakui secara hukum, namun implementasi kolaborasi yang efektif masih memerlukan penguatan. Pendanaan berasal dari berbagai sumber, termasuk APBD, anggaran nasional, dan dukungan internasional, meskipun aksesibilitas terhadap dana eksternal masih menjadi tantangan.

Secara keseluruhan, Sultra memiliki fondasi yang kuat dan peluang besar untuk transisi menuju pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim. Namun, untuk mewujudkan potensi ini, diperlukan peningkatan kapasitas, pembaruan data, penegakan hukum yang lebih kuat, dan penguatan kemitraan yang inklusif untuk memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi sejalan dengan kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.

2. Pendahuluan

Latar Belakang Perubahan Iklim Global dan Nasional

Perubahan iklim telah menjadi salah satu krisis lingkungan paling mendesak di skala global, dengan implikasi yang luas terhadap ekosistem, ekonomi, dan kesejahteraan manusia. Fenomena ini ditandai oleh perubahan pola cuaca ekstrem, kenaikan suhu global, dan peningkatan frekuensi bencana alam. Indonesia, sebagai negara kepulauan yang luas, sangat rentan terhadap dampak-dampak ini, termasuk kekeringan yang berkepanjangan, kenaikan suhu rata-rata, dan berbagai bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor. Kerentanan ini diperparah oleh ketergantungan sebagian besar masyarakat pada sektor-sektor yang sensitif iklim seperti pertanian dan perikanan.  

Menyadari urgensi ini, Indonesia telah menegaskan komitmennya dalam upaya global untuk mengatasi perubahan iklim. Komitmen tersebut diwujudkan melalui ratifikasi Perjanjian Paris pada tahun 2016 melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016. Ratifikasi ini menjadi landasan hukum bagi Indonesia untuk berkontribusi pada upaya kolektif global dalam menekan kenaikan suhu bumi. Sebagai bagian dari komitmen ini, Indonesia secara berkala menyampaikan Nationally Determined Contribution (NDC) kepada Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC). Pada September 2022, Indonesia mengajukan Enhanced NDC, yang meningkatkan target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) secara  

unconditional menjadi 31.89% dan secara conditional menjadi 43.20% dari skenario Business as Usual (BAU) pada tahun 2030. Target ini mencakup emisi dari sektor kehutanan, energi, limbah, pertanian, serta proses industri dan penggunaan produk.  

Selain target jangka pendek dalam NDC, Pemerintah Indonesia juga telah menyusun Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050. Dokumen strategis ini memproyeksikan pencapaian target Net Zero Emission pada tahun 2060 atau lebih cepat, menunjukkan ambisi jangka panjang Indonesia dalam transisi menuju ekonomi rendah karbon dan berketahanan iklim. LTS-LCCR 2050 mengintegrasikan mitigasi dan adaptasi sebagai dua strategi yang saling melengkapi dalam menghadapi perubahan iklim, mengakui bahwa upaya pengurangan emisi harus berjalan seiring dengan peningkatan kapasitas untuk menyesuaikan diri terhadap dampak yang tak terhindarkan.  

Keberhasilan pencapaian target iklim nasional ini sangat bergantung pada implementasi kebijakan dan program yang efektif di tingkat sub-nasional. Provinsi-provinsi di Indonesia, termasuk Sulawesi Tenggara, adalah arena kunci di mana aksi iklim nyata berlangsung. Setiap provinsi memiliki peran penting dalam menerjemahkan komitmen global dan nasional menjadi tindakan lokal yang konkret. Ini menyoroti signifikansi desentralisasi upaya iklim dan kebutuhan akan koordinasi yang kuat antara pemerintah pusat dan daerah. Tanpa sinergi yang efektif di semua tingkatan pemerintahan, pencapaian tujuan iklim nasional akan menjadi sangat menantang.

Konteks Geografis dan Sosial-Ekonomi Provinsi Sulawesi Tenggara dalam Menghadapi Perubahan Iklim

Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki karakteristik geografis dan struktur ekonomi yang membuatnya sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Wilayah ini, dengan garis pantai yang panjang dan ketergantungan pada sektor berbasis sumber daya alam, secara inheren memiliki status geografis dan sektor pembangunan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Dampak-dampak ini sudah mulai dirasakan secara nyata di berbagai sektor penghidupan, memicu serangkaian kejadian bencana yang mengancam kesejahteraan masyarakat.  

Salah satu aspek penting yang memperburuk kerentanan Sultra adalah dinamika tutupan hutan. Data menunjukkan bahwa pada tahun 2020, Sulawesi Tenggara memiliki sekitar 2.01 juta hektar hutan alam, yang mencakup sekitar 55% dari total luas daratannya. Namun, gambaran ini diwarnai oleh laju deforestasi yang mengkhawatirkan. Antara tahun 2002 dan 2024, provinsi ini kehilangan 222 ribu hektar hutan primer basah, yang menyumbang 40% dari total kehilangan tutupan pohon dan mengakibatkan penurunan 11% dari total area hutan primer basah dalam periode yang sama. Secara keseluruhan, total kehilangan tutupan pohon di Sultra dari tahun 2001 hingga 2024 mencapai 569 ribu hektar. Angka ini setara dengan penurunan 18% dari tutupan pohon sejak tahun 2000 dan menyumbang 1.8% dari seluruh kehilangan tutupan pohon di Indonesia. Kabupaten-kabupaten seperti Kolaka, Konawe Selatan, Muna, dan Konawe diidentifikasi sebagai penyumbang terbesar kehilangan tutupan pohon di provinsi ini, menunjukkan adanya titik-titik panas deforestasi yang memerlukan perhatian khusus.  

Kehilangan hutan primer yang signifikan ini menciptakan sebuah lingkaran umpan balik negatif. Hutan berfungsi sebagai penyerap karbon alami yang vital, dan deforestasi mengurangi kapasitas provinsi untuk menyerap GRK, sehingga memperburuk perubahan iklim. Pada saat yang sama, hilangnya tutupan hutan secara drastis meningkatkan kerentanan ekosistem dan masyarakat terhadap bencana hidrometeorologi. Misalnya, daerah yang kehilangan hutan menjadi lebih rentan terhadap banjir bandang, tanah longsor, dan kekeringan yang lebih parah karena hilangnya fungsi hutan sebagai pengatur tata air. Ini secara langsung mengancam mata pencarian dan kesejahteraan masyarakat yang sangat bergantung pada sumber daya alam, terutama di sektor pertanian dan perikanan.

Meskipun demikian, terdapat pula upaya positif dalam perolehan tutupan pohon. Antara tahun 2000 dan 2020, Sulawesi Tenggara berhasil mendapatkan kembali 47.7 ribu hektar tutupan pohon, dengan 72% dari perolehan ini terjadi di luar area perkebunan. Hal ini menunjukkan adanya potensi restorasi ekosistem dan peran penting lahan non-perkebunan dalam upaya penghijauan. Namun, laju perolehan ini masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan laju kehilangan hutan.  

Komitmen Nasional (NDC) Indonesia dan Relevansinya di Tingkat Daerah

Komitmen iklim Indonesia yang termaktub dalam Nationally Determined Contribution (NDC) sangat mengandalkan sektor kehutanan dan penggunaan lahan (FOLU) sebagai pilar utama pengurangan emisi. Sektor ini diharapkan menyumbang hampir 60% dari total target pengurangan emisi nasional. Ini berarti bahwa upaya konservasi, restorasi, dan pengelolaan hutan yang berkelanjutan di tingkat provinsi memiliki dampak yang sangat besar terhadap keberhasilan pencapaian target NDC Indonesia.  

Pemerintah daerah, termasuk di Sulawesi Tenggara, memiliki peran krusial dalam mewujudkan target NDC ini. Mereka diberdayakan untuk berkontribusi pada target NDC melalui tanggung jawab khusus dalam langkah-langkah pengurangan dan adaptasi emisi. Ini mencakup perumusan dan implementasi rencana aksi daerah yang selaras dengan tujuan nasional.  

Namun, terdapat kesenjangan yang perlu diperhatikan antara ambisi nasional dan realitas implementasi di tingkat lokal. Jika provinsi-provinsi dengan hutan luas seperti Sulawesi Tenggara terus mengalami laju deforestasi hutan primer yang tinggi dan perubahan tutupan hutan yang signifikan menjadi lahan terbuka, maka kemampuan Indonesia untuk mencapai target FOLU nasional akan sangat terancam. Tingginya laju deforestasi yang diamati di Sultra secara langsung mengurangi kapasitas provinsi untuk berkontribusi pada target pengurangan emisi nasional. Ini menunjukkan bahwa kebijakan dan program yang ada untuk mencegah deforestasi belum sepenuhnya efektif atau belum diimplementasikan dengan kekuatan yang memadai.

Kondisi ini mengimplikasikan bahwa target NDC nasional, meskipun ambisius di atas kertas, mungkin tidak sepenuhnya tercermin dalam implementasi di tingkat daerah karena berbagai tantangan. Tantangan ini bisa meliputi keterbatasan kapasitas teknis pemerintah daerah, kurangnya penegakan hukum yang efektif terhadap aktivitas ilegal, dan konflik lahan yang belum terselesaikan. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme yang lebih kuat untuk menerjemahkan komitmen nasional menjadi aksi yang efektif dan terukur di tingkat daerah. Ini juga menuntut dukungan yang memadai dari pemerintah pusat dalam bentuk alokasi sumber daya, transfer teknologi, dan penguatan kapasitas bagi pemerintah daerah, serta peningkatan koordinasi untuk memastikan konsistensi dan sinergi dalam upaya iklim di seluruh tingkatan.

3. Kerangka Kebijakan dan Perencanaan Iklim di Sulawesi Tenggara

Peraturan Daerah dan Peraturan Gubernur terkait Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim

Provinsi Sulawesi Tenggara telah membangun landasan kebijakan yang substansial untuk mengatasi perubahan iklim, menunjukkan komitmen legislatif dalam menghadapi tantangan ini. Salah satu pilar utamanya adalah Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 2019 tentang Adaptasi Perubahan Iklim. Perda ini secara eksplisit bertujuan untuk memperkuat strategi antisipasi dampak perubahan iklim dan meningkatkan ketahanan (resilience) masyarakat, baik secara fisik, ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Perda ini juga secara progresif mengatur peran serta berbagai pihak non-pemerintah, termasuk pihak swasta, akademisi, dan masyarakat luas, dalam pelaksanaan aksi adaptasi. Mekanisme keterlibatan ini dapat dilakukan secara individu, kelompok, perkumpulan, atau melalui pembentukan Forum Adaptasi Perubahan Iklim.  

Sebagai penjabaran lebih lanjut dari Perda tersebut, Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 47 Tahun 2020 tentang Rencana Aksi Daerah Adaptasi Perubahan Iklim (RAD-API) juga telah ditetapkan. Pergub ini berfungsi sebagai panduan teknis untuk mengimplementasikan aksi adaptasi di tingkat provinsi, dengan tujuan meningkatkan kemampuan adaptasi dan mendorong pembangunan rendah karbon. Dokumen ini menguraikan langkah-langkah konkret yang harus diambil oleh perangkat daerah untuk mencapai tujuan adaptasi.  

Di sisi mitigasi, Provinsi Sulawesi Tenggara juga telah menyusun Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK). Dokumen ini, yang mencakup perencanaan hingga tahun 2020, bersifat multisektor dan dirancang untuk terintegrasi dengan rencana pembangunan daerah. Berdasarkan data lama yang tersedia dalam RAD-GRK ini, sektor kehutanan merupakan kontributor emisi GRK terbesar di provinsi ini, menyumbang 83,41% dari skenario emisi tahun 2020, diikuti oleh sektor transportasi dengan 11,63%. Sementara itu, sektor energi dan limbah memiliki kontribusi emisi yang relatif rendah.  

Adanya kerangka kebijakan yang kuat ini merupakan langkah maju yang signifikan. Namun, terdapat kebutuhan yang mendesak untuk pembaruan dan sinkronisasi berkelanjutan. RAD-GRK yang disebutkan dalam data hanya mencakup perencanaan hingga tahun 2020. Hal ini menunjukkan adanya potensi kesenjangan antara kerangka kebijakan yang ada dengan target NDC nasional yang telah diperbarui hingga 2030 dan visi LTS-LCCR 2050 yang lebih ambisius. Untuk memastikan efektivitas dan relevansi upaya iklim di Sultra, dokumen perencanaan daerah seperti RAD-GRK perlu diperbarui secara berkala dan disinkronkan dengan ambisi iklim nasional terbaru. Pembaruan ini juga harus mempertimbangkan data emisi terkini untuk memastikan bahwa strategi yang dirumuskan benar-benar relevan dengan kondisi dan tantangan yang dihadapi provinsi saat ini.

Integrasi Isu Iklim dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Sulawesi Tenggara

Integrasi isu perubahan iklim ke dalam dokumen perencanaan pembangunan strategis daerah merupakan indikator kunci komitmen pemerintah dalam mengatasi tantangan ini. Di Provinsi Sulawesi Tenggara, isu iklim telah secara formal diintegrasikan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD).

RPJMD Provinsi Sulawesi Tenggara untuk periode 2025-2029 saat ini sedang dalam tahap penyusunan. Visi pembangunan yang diusung dalam RPJMD ini adalah “Terwujudnya Sulawesi Tenggara yang Maju, Aman, Sejahtera, dan Religius,” dengan salah satu misi utamanya yang secara langsung berkaitan dengan isu iklim adalah peningkatan kualitas lingkungan hidup dan ketangguhan terhadap bencana. Hal ini menunjukkan bahwa aspek lingkungan dan ketahanan iklim telah menjadi prioritas dalam agenda pembangunan lima tahunan provinsi.  

Lebih lanjut, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2025-2045 juga telah ditetapkan. Dokumen ini merupakan penjabaran dari visi, misi, dan arah pembangunan daerah jangka panjang untuk 20 tahun ke depan, dan secara konsisten mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Kehadiran RPJPD ini memberikan arah strategis jangka panjang yang diharapkan dapat memandu pembangunan berkelanjutan di provinsi ini.  

Dokumen-dokumen seperti RAD-GRK dan RAD-API memiliki kedudukan penting sebagai acuan dalam penyusunan RPJPD, RPJMD, dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi/Kabupaten/Kota. Ini menunjukkan bahwa ada upaya untuk memastikan konsistensi antara perencanaan iklim dengan perencanaan spasial dan pembangunan secara keseluruhan.  

Meskipun integrasi isu iklim pada tingkat dokumen perencanaan adalah langkah positif yang menunjukkan kesadaran dan komitmen, tantangan sebenarnya terletak pada bagaimana isu-isu ini diterjemahkan menjadi program dan kegiatan konkret yang didukung oleh alokasi anggaran yang memadai dan implementasi yang efektif di lapangan. Integrasi formal harus diikuti oleh integrasi fungsional. Kualitas implementasi akan sangat bergantung pada beberapa faktor, termasuk kapasitas teknis perangkat daerah dalam merancang dan melaksanakan program-program iklim, adanya koordinasi lintas sektor yang kuat untuk menghindari tumpang tindih dan memastikan sinergi, serta komitmen politik yang berkelanjutan dari para pemimpin daerah untuk memprioritaskan aksi iklim dalam setiap keputusan pembangunan. Tanpa dukungan implementasi yang kuat, dokumen perencanaan yang baik sekalipun mungkin tidak akan menghasilkan dampak yang signifikan dalam menghadapi perubahan iklim.

Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) dan Rencana Aksi Daerah Adaptasi Perubahan Iklim (RAD-API)

Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) Provinsi Sulawesi Tenggara, berdasarkan data yang tersedia, disusun untuk periode perencanaan hingga tahun 2020. Dokumen ini mencakup berbagai bidang, yaitu pertanian, kehutanan, energi, industri, dan limbah. Analisis dari RAD-GRK ini menunjukkan bahwa kontributor emisi GRK terbesar di Sultra adalah sektor kehutanan, yang diperkirakan menyumbang 83,41% dari total emisi berdasarkan skenario tahun 2020. Sektor transportasi berada di posisi kedua dengan 11,63%, sedangkan sektor energi dan limbah memiliki kontribusi emisi yang relatif rendah. Informasi ini, meskipun berdasarkan data yang tidak terlalu baru, memberikan gambaran awal mengenai prioritas sektor yang perlu ditangani dalam upaya mitigasi.  

Di sisi adaptasi, Rencana Aksi Daerah Adaptasi Perubahan Iklim (RAD-API) bertujuan untuk menjamin pencapaian sasaran pembangunan dan secara signifikan meningkatkan ketahanan (resilience) masyarakat terhadap dampak perubahan iklim. Pelaksanaan RAD-API ini melibatkan pembentukan tim lintas instansi yang dikoordinir oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) dan didukung oleh tim pakar. Pendekatan multi-stakeholder ini dirancang untuk memastikan bahwa upaya adaptasi bersifat komprehensif dan relevan dengan kebutuhan lokal.  

Namun, terdapat urgensi yang jelas untuk pembaruan data dan target agar aksi iklim di Sultra tetap relevan dan efektif. Data emisi GRK spesifik untuk Sulawesi Tenggara yang paling rinci dalam sumber yang tersedia sebagian besar terbatas pada periode 2000-2012 , dan RAD-GRK yang disebutkan hanya berlaku hingga 2020. Hal ini menciptakan masalah mendasar: perencanaan aksi mitigasi saat ini mungkin didasarkan pada data yang tidak lagi mencerminkan kondisi emisi GRK terkini di provinsi tersebut. Perubahan ekonomi, tata guna lahan, dan pola konsumsi dalam dekade terakhir kemungkinan besar telah mengubah profil emisi provinsi secara signifikan.  

Keterbatasan data GRK spesifik provinsi yang mutakhir menjadi tantangan signifikan dalam merumuskan kebijakan iklim yang tepat sasaran dan mengukur kemajuan secara akurat. Tanpa data yang akurat dan terkini, alokasi sumber daya dan penentuan prioritas aksi mungkin tidak optimal. Misalnya, jika sektor-sektor lain telah tumbuh menjadi penyumbang emisi yang lebih besar sejak 2012, namun kebijakan masih terfokus pada data lama, upaya mitigasi tidak akan mencapai potensi penuhnya. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang lebih intensif untuk mengembangkan sistem inventarisasi GRK tingkat provinsi yang berkelanjutan dan terperinci. Ini akan memungkinkan Sultra untuk secara presisi mengidentifikasi sektor-sektor prioritas untuk intervensi mitigasi, merumuskan target yang realistis, dan melaporkan kontribusinya terhadap NDC nasional dengan tingkat kepercayaan yang tinggi.

4. Profil Emisi Gas Rumah Kaca dan Dinamika Tutupan Hutan di Sulawesi Tenggara

Analisis Data Inventarisasi Emisi GRK per Sektor (Kehutanan, Energi, Pertanian, Proses Industri dan Penggunaan Produk (IPPU), Limbah)

Analisis profil emisi gas rumah kaca (GRK) di Sulawesi Tenggara mengindikasikan bahwa sektor kehutanan telah menjadi kontributor emisi GRK terbesar di provinsi ini, berdasarkan data yang tersedia dari Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) yang disusun hingga tahun 2020. Data tersebut menunjukkan bahwa sektor kehutanan menyumbang sekitar 83,41% dari total emisi GRK dalam skenario tahun 2020, diikuti oleh sektor transportasi dengan 11,63%. Sektor energi dan limbah tercatat memiliki kontribusi emisi yang lebih rendah pada periode tersebut.  

Namun, penting untuk dicatat bahwa data emisi GRK spesifik untuk Sulawesi Tenggara yang paling rinci dalam sumber yang tersedia sebagian besar terbatas pada periode 2000-2012. Sementara itu, data inventarisasi GRK nasional yang lebih baru untuk tahun 2020 menunjukkan tingkat emisi GRK per sektor secara keseluruhan di Indonesia: Energi (584.284 Gg CO2e), Proses Industri dan Penggunaan Produk (IPPU) (57.194 Gg CO2e), Pertanian (98.703 Gg CO2e), Kehutanan dan Kebakaran Gambut (183.435 Gg CO2e), dan Limbah (126.797 Gg CO2e). Meskipun data nasional ini memberikan gambaran umum, tidak ada rincian spesifik per provinsi untuk Sultra dalam periode yang lebih baru (2020-2024) yang ditemukan dalam sumber yang diberikan. Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) dan Monitoring, Pelaporan, Verifikasi (MPV) tingkat nasional tersedia hingga tahun 2024, tetapi tidak memberikan rincian per provinsi.  

Kesenjangan data GRK spesifik provinsi yang mutakhir menjadi tantangan signifikan dalam merumuskan kebijakan iklim yang tepat sasaran dan mengukur kemajuan secara akurat di Sulawesi Tenggara. Mengandalkan data yang sudah tidak relevan dapat menyebabkan kesalahan dalam identifikasi sektor prioritas untuk intervensi mitigasi dan dalam alokasi sumber daya. Tanpa informasi yang presisi mengenai kontribusi emisi dari setiap sektor di tingkat provinsi dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah daerah kesulitan untuk merancang program mitigasi yang paling efektif dan efisien. Selain itu, keterbatasan data ini juga menghambat kemampuan Sultra untuk secara akurat melaporkan kontribusinya terhadap target NDC nasional dengan tingkat kepercayaan yang tinggi, yang merupakan bagian penting dari komitmen internasional Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang lebih intensif dan berkelanjutan untuk mengembangkan sistem inventarisasi GRK tingkat provinsi yang komprehensif, terperinci, dan mutakhir.

Tren Deforestasi, Perubahan Tutupan Hutan, dan Perolehan Tutupan Pohon

Dinamika tutupan hutan di Sulawesi Tenggara menunjukkan tren yang mengkhawatirkan, yang secara langsung berdampak pada profil emisi GRK provinsi. Antara tahun 2002 dan 2024, Sulawesi Tenggara mengalami kehilangan 222 ribu hektar hutan primer basah. Angka ini merupakan 40% dari total kehilangan tutupan pohon di provinsi tersebut dalam periode yang sama dan mengakibatkan penurunan 11% dari total area hutan primer basah yang ada. Kehilangan hutan primer, yang merupakan ekosistem dengan cadangan karbon tinggi, memiliki implikasi serius terhadap kapasitas penyerapan karbon provinsi.  

Secara lebih luas, total kehilangan tutupan pohon di Sultra dari tahun 2001 hingga 2024 mencapai 569 ribu hektar. Jumlah ini setara dengan penurunan 18% dari tutupan pohon sejak tahun 2000 dan menyumbang 1.8% dari seluruh kehilangan tutupan pohon di Indonesia. Wilayah-wilayah seperti Kolaka, Konawe Selatan, Muna, dan Konawe diidentifikasi sebagai penyumbang terbesar kehilangan tutupan pohon di provinsi ini, menunjukkan adanya tekanan yang signifikan terhadap ekosistem hutan di area-area tersebut. Analisis perubahan tutupan hutan di Kebun Raya Kendari, misalnya, juga menunjukkan dominasi perubahan dari hutan lahan kering primer menjadi lahan terbuka antara tahun 1998-2018, mengindikasikan pola konversi lahan yang serupa di berbagai wilayah provinsi.  

Tingginya laju deforestasi ini secara langsung mengancam kemampuan Sulawesi Tenggara untuk berkontribusi pada target pengurangan emisi nasional, khususnya dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan (FOLU), yang merupakan penyumbang emisi terbesar di Sultra berdasarkan data yang tersedia. Jika deforestasi terus berlanjut pada tingkat ini, akan sangat sulit bagi provinsi untuk memenuhi target mitigasi yang diharapkan dari sektor FOLU dalam NDC nasional. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan dan program yang ada untuk mencegah deforestasi belum sepenuhnya efektif dalam menghentikan atau memperlambat laju kehilangan hutan.  

Ada kebutuhan mendesak untuk memperkuat penegakan hukum terhadap penebangan liar dan konversi lahan ilegal. Ini harus mencakup peningkatan pengawasan, penindakan yang tegas terhadap pelanggar, dan penyelesaian konflik kepemilikan lahan yang sering menjadi pemicu deforestasi. Selain itu, strategi mitigasi iklim harus secara lebih ketat mengintegrasikan kebijakan penggunaan lahan dengan upaya konservasi dan restorasi ekosistem yang terdegradasi. Ini tidak hanya akan membantu mengurangi emisi GRK tetapi juga meningkatkan ketahanan ekosistem terhadap dampak perubahan iklim, seperti banjir dan kekeringan.

Di sisi lain, terdapat upaya positif dalam perolehan tutupan pohon. Antara tahun 2000-2020, Sultra berhasil mendapatkan kembali 47.7 ribu hektar tutupan pohon, dengan 72% dari perolehan ini terjadi di luar area perkebunan. Meskipun angka ini lebih kecil dari kehilangan hutan, hal ini menunjukkan potensi restorasi ekosistem dan peran penting lahan non-perkebunan dalam upaya penghijauan. Memperkuat inisiatif restorasi dan reboisasi di lahan-lahan yang terdegradasi, serta mengelola perolehan tutupan pohon secara berkelanjutan, akan menjadi kunci untuk meningkatkan kapasitas penyerapan karbon Sultra di masa depan.  

Identifikasi Sektor Utama Penyumbang Emisi dan Potensi Penyerapan Karbon

Berdasarkan analisis data yang tersedia, sektor kehutanan adalah kontributor emisi GRK terbesar di Provinsi Sulawesi Tenggara. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh deforestasi dan degradasi hutan yang terus berlanjut, seperti yang ditunjukkan oleh data kehilangan tutupan hutan yang substansial di provinsi ini. Oleh karena itu, upaya mitigasi yang paling efektif di Sultra harus memprioritaskan pengurangan emisi dari sumber-sumber ini.  

Namun, di samping tantangan emisi dari sektor kehutanan, terdapat juga potensi penyerapan karbon yang signifikan di provinsi ini, terutama dari ekosistem mangrove. Mangrove dikenal memiliki kemampuan penyerapan karbon yang luar biasa, delapan kali lipat lebih tinggi dibandingkan hutan biasa. Dengan garis pantai yang luas dan keberadaan ekosistem pesisir, Sultra memiliki peluang besar untuk meningkatkan penyerapan karbon melalui restorasi dan konservasi mangrove. Pendekatan solusi berbasis alam (  

Nature-Based Solutions/NBS) ini tidak hanya akan berkontribusi pada target mitigasi emisi tetapi juga memberikan manfaat adaptasi yang penting, seperti perlindungan pantai dari abrasi dan badai, serta pelestarian keanekaragaman hayati pesisir.

Selain itu, pemanfaatan biomassa dari limbah juga menunjukkan potensi sebagai sumber energi terbarukan. Contohnya, tempurung kelapa di Kabupaten Bombana memiliki potensi energi yang signifikan, mencapai 31.000 GJ pada tahun 2014.Pemanfaatan limbah pertanian dan perkebunan untuk energi atau produk bernilai tambah dapat mengurangi emisi dari sektor limbah dan menciptakan ekonomi sirkular.  

Melihat kondisi ini, strategi mitigasi iklim di Sulawesi Tenggara harus berfokus pada dua pilar utama: pertama, mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan melalui penegakan hukum yang lebih kuat dan pengelolaan hutan lestari; kedua, secara agresif meningkatkan penyerapan karbon melalui restorasi dan konservasi ekosistem kunci seperti mangrove. Pendekatan ini akan tidak hanya mengurangi emisi GRK tetapi juga memberikan manfaat adaptasi dan keanekaragaman hayati yang signifikan, mendukung pembangunan berkelanjutan di provinsi ini.

Tabel 1: Tren Emisi GRK Sulawesi Tenggara per Sektor (2000-2012)

Tahun Sektor Energi (ribu ton CO2e) Sektor IPPU (ribu ton CO2e) Sektor Pertanian (ribu ton CO2e) Sektor Kehutanan (ribu ton CO2e) Sektor Limbah (ribu ton CO2e) Total Emisi (ribu ton CO2e)
2000

317609  

 

42883  

 

99314  

 

756503.90  

 

60929.38  

 

1262311.01  

 

2001

341919  

 

48269  

 

97124  

 

56724.18  

 

63340.66  

 

598726.95  

 

2002 Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia

22321326  

 

2003 Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia

15852151  

 

2004 Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia

49420215  

 

2005 Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia

48875014  

 

2006 Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia

59322699  

 

2007 Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia

23527152  

 

2008 Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia

19225827  

 

2009 Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia

18646816  

 

2010 Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia

10672112  

 

2011 Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia

13850320  

 

2012 Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia

8015833  

 

Catatan: Data emisi GRK spesifik per sektor untuk Provinsi Sulawesi Tenggara yang tersedia dalam sumber terbatas pada periode 2000-2012. Data total emisi GRK untuk tahun 2002-2012 juga tersedia. Data terbaru per sektor untuk Sultra tidak ditemukan dalam sumber yang diberikan. Sektor kehutanan merupakan kontributor emisi GRK terbesar di Sultra berdasarkan data lama (83,41% dari skenario 2020), diikuti transportasi (11,63%), dengan energi dan limbah terendah.  

Tabel 1 ini bertujuan untuk memberikan gambaran kuantitatif mengenai profil emisi GRK historis di Sulawesi Tenggara. Dengan menyajikan emisi per sektor, tabel ini menyoroti sektor-sektor yang secara historis menjadi penyumbang terbesar, seperti kehutanan, yang sangat penting bagi para pembuat kebijakan untuk memfokuskan upaya mitigasi. Meskipun data yang tersedia terbatas dan tidak mencakup periode terbaru, tabel ini memungkinkan pemahaman awal tentang tren emisi di masa lalu.

Lebih penting lagi, penyajian data ini secara eksplisit menyoroti kesenjangan data yang signifikan. Ketiadaan data provinsi yang rinci dan mutakhir untuk tahun-tahun setelah 2012 (dan khususnya setelah 2020) menjadi sangat jelas. Hal ini menunjukkan tantangan utama dalam upaya iklim di Sultra: tanpa inventarisasi GRK yang komprehensif dan terkini, sulit untuk merancang intervensi yang tepat sasaran, mengukur efektivitas kebijakan, dan melaporkan kemajuan secara akuntabel. Oleh karena itu, tabel ini tidak hanya menyajikan informasi yang ada tetapi juga secara implisit menggarisbawahi kebutuhan mendesak untuk investasi dalam sistem pengumpulan dan pelaporan data emisi GRK yang lebih robust di tingkat provinsi.

5. Inisiatif Mitigasi Perubahan Iklim di Sulawesi Tenggara

Inisiatif mitigasi perubahan iklim di Sulawesi Tenggara mencakup berbagai sektor, menunjukkan upaya provinsi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan berkontribusi pada target NDC nasional.

Sektor Energi

Provinsi Sulawesi Tenggara diberkahi dengan potensi energi terbarukan yang melimpah, yang dapat menjadi tulang punggung transisi energi dan dekarbonisasi di wilayah ini. Potensi energi air mencapai 6,340 GW (bersama Sulawesi Selatan), energi minihidro dan mikrohidro sebesar 301 MW, energi surya 3,917 GW, energi angin atau bayu 1,414 GW, dan energi panas bumi 318 MW. Selain itu, potensi biomassa dari tempurung kelapa di Kabupaten Bombana mencapai 31.000 GJ pada tahun 2014.  

Potensi energi bersih yang sangat besar ini menunjukkan peluang signifikan untuk dekarbonisasi sektor energi di Sultra. Meskipun sektor energi Sultra saat ini memiliki kontribusi emisi GRK yang relatif rendah dibandingkan sektor kehutanan (berdasarkan data lama), pemanfaatan potensi energi terbarukan ini belum mencapai kapasitas maksimalnya. Mengembangkan sumber-sumber energi bersih ini tidak hanya akan mendukung upaya mitigasi perubahan iklim, tetapi juga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi hijau, menciptakan lapangan kerja baru di sektor energi terbarukan, dan mengurangi ketergantungan provinsi pada bahan bakar fosil yang berfluktuasi harganya.

Proyek-proyek Energi Terbarukan Skala Besar

Beberapa proyek energi terbarukan berskala besar sedang berjalan atau direncanakan di Sulawesi Tenggara dan wilayah sekitarnya, menunjukkan diversifikasi upaya mitigasi:

  • PLTA Watunohu: Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Watunohu di Kolaka Utara sedang dalam proses persiapan Detailed Engineering Design (DED) oleh PT PLN (Persero). Total biaya proyek ini diperkirakan mencapai USD 70.8 juta. Namun, proyek ini menghadapi kendala berupa kekurangan dana pinjaman yang diperlukan untuk menutupi biaya Engineering, Procurement, and Construction (EPC). Kendala pembiayaan ini perlu diatasi untuk mempercepat realisasi proyek.  

     

  • PLTB Tolo: Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Tolo, meskipun berlokasi di Sulawesi Selatan dengan kapasitas 72 MW, juga memberikan suplai energi hijau ke wilayah Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Barat.Kehadiran PLTB ini tidak hanya berkontribusi pada pasokan listrik bersih tetapi juga membawa perbaikan infrastruktur lokal dan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.  
  • PLTSa Konawe: PT PLN (Persero) siap mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Proyek ini merupakan bagian dari upaya pemanfaatan limbah sebagai salah satu sumber energi terbarukan. Pemanfaatan biomassa, termasuk dari sampah kota, diakui sebagai sumber energi terbarukan dalam kerangka hukum Indonesia.  
  • Co-firing Biomassa PLTU Nii Tanasa Kendari: Perusahaan PT SKM di Konawe Selatan telah melakukan co-firing biomassa, menggunakan kayu gamal, untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Nii Tanasa Kendari. Inisiatif ini tidak hanya bertujuan untuk mengurangi emisi GRK dari PLTU batubara, tetapi juga membuka peluang kerja bagi masyarakat lokal dalam penyediaan biomassa. Pohon gamal yang mudah tumbuh dan dapat dipanen dalam waktu singkat menjadikan sumber biomassa ini berkelanjutan.  
  • PLTS Hybrid Selayar: Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Hybrid pertama dan terbesar di Indonesia dengan kapasitas 1.3 MW beroperasi di Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, dan disupervisi oleh PLN UIW Sulawesi Selatan, Tenggara, dan Barat. Proyek ini diperkirakan berkontribusi pada pengurangan emisi karbon sekitar 1.400 ton CO2 per tahun.  

Keberagaman proyek energi terbarukan ini menunjukkan adanya kemajuan dalam upaya diversifikasi sumber energi di Sultra. Namun, beberapa proyek, seperti PLTA Watunohu, masih menghadapi kendala pendanaan. Ini menyoroti bahwa meskipun Sultra memiliki potensi besar dan inisiatif proyek yang menjanjikan, tantangan utama adalah mengamankan pembiayaan yang memadai dan berkelanjutan untuk mewujudkan proyek-proyek skala besar ini. Hal ini memerlukan strategi pembiayaan inovatif dan kemitraan yang kuat antara pemerintah, BUMN, dan sektor swasta untuk menarik investasi yang diperlukan dan mempercepat transisi energi bersih di provinsi ini.

Sektor Kehutanan dan Penggunaan Lahan

Sektor kehutanan di Sulawesi Tenggara memiliki peran krusial dalam upaya mitigasi perubahan iklim, terutama mengingat kontribusinya yang signifikan terhadap emisi GRK provinsi.

Program REDD+ dan Mekanisme Pendanaan Berbasis Kinerja (RBP) di Sulawesi Tenggara

Sulawesi Tenggara merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terlibat aktif dalam implementasi program Result Based Payment (RBP) REDD+ dari Green Climate Fund (GCF). Keterlibatan ini merupakan hasil kerja sama antara Yayasan SCF (Sulawesi Community Foundation) dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara. Program RBP REDD+ GCF ini secara spesifik bertujuan untuk mendorong praktik pengelolaan hutan lestari dan berkontribusi pada pencapaian target NDC sektor kehutanan, yang merupakan komponen vital dalam komitmen iklim nasional Indonesia.  

Secara nasional, Indonesia telah menerima pembayaran RBP REDD+ sebesar USD 103,8 juta dari GCF untuk kinerja pengurangan emisi (ER) selama periode 2014-2016. Dana ini dialokasikan secara proporsional ke tingkat sub-nasional/provinsi, memberikan insentif finansial langsung untuk upaya konservasi hutan. Kebijakan terbaru GCF, yang diadopsi pada November 2024, menetapkan harga USD 8 per ton untuk pembayaran berbasis kinerja REDD+. Kebijakan ini diharapkan akan mengalirkan ratusan juta dolar ke negara-negara berkembang, termasuk Small Island Developing States (SIDS) dan Least Developed Countries (LDCs), dalam siklus pemrograman 2024-2027. Peningkatan harga per ton karbon ini akan semakin memperkuat insentif bagi Sultra untuk melanjutkan dan memperluas upaya konservasi hutan.  

Keterlibatan Sultra dalam program RBP REDD+ GCF menunjukkan pengakuan atas potensi hutan provinsi dalam mitigasi iklim. Mekanisme pembayaran berbasis kinerja (RBP) memberikan insentif finansial yang kuat untuk upaya pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Namun, keberhasilan jangka panjang program ini tidak hanya bergantung pada penerimaan dana, tetapi juga pada tata kelola yang transparan dan akuntabel dalam penyaluran dan pemanfaatan dana tersebut di tingkat sub-nasional hingga ke masyarakat adat. Konflik kepemilikan lahan dan isu keadilan dalam distribusi manfaat, seperti yang pernah menjadi masalah dalam proyek REDD+ sebelumnya (misalnya Ulu Masen di Aceh ), harus dihindari. Memastikan bahwa manfaat finansial dan non-finansial dari program ini terdistribusi secara adil kepada komunitas lokal yang terlibat langsung dalam konservasi akan sangat penting untuk membangun dukungan berkelanjutan dan legitimasi program.  

Inisiatif Pengelolaan Hutan Berkelanjutan dan Restorasi Ekosistem

Meskipun rincian spesifik mengenai inisiatif pengelolaan hutan berkelanjutan dan restorasi ekosistem di Sulawesi Tenggara tidak dijelaskan secara ekstensif dalam sumber yang tersedia, terdapat contoh relevan dari wilayah Sulawesi lain yang dapat menjadi inspirasi. Masyarakat adat di Karampuang, Sinjai, Sulawesi Selatan, telah menunjukkan peran penting dalam mitigasi perubahan iklim melalui praktik adat mereka, yang dikenal sebagai Gella. Adat Gella ini tidak hanya menjaga kelestarian hutan tetapi juga mengatur manajemen sawah sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan musim yang tidak menentu. Keberhasilan kepemimpinan Gella tercermin dalam lingkungan yang terjaga, sumber air yang tetap tersedia, dan panen yang konsisten.  

Contoh dari Sulawesi Selatan ini menunjukkan bahwa kearifan lokal dapat menjadi mekanisme yang sangat efektif untuk konservasi hutan dan adaptasi iklim. Mengingat kesamaan budaya dan ekologi di berbagai wilayah Sulawesi, model-model kearifan lokal yang sukses ini memiliki potensi besar untuk direplikasi atau diadaptasi di Sulawesi Tenggara. Mengintegrasikan praktik-praktik adat ke dalam strategi pengelolaan hutan berkelanjutan dapat meningkatkan efektivitas upaya konservasi karena masyarakat lokal memiliki pemahaman mendalam tentang ekosistem mereka dan rasa kepemilikan yang kuat terhadap sumber daya alam. Hal ini juga akan memperkuat partisipasi masyarakat dalam program-program kehutanan dan penggunaan lahan, yang pada akhirnya akan mendukung pencapaian target mitigasi dan adaptasi iklim provinsi.

Sektor Limbah

Pengelolaan limbah merupakan sektor penting dalam mitigasi perubahan iklim, terutama melalui pengurangan emisi metana dari tempat pembuangan akhir (TPA) dan pemanfaatan limbah sebagai sumber daya.

Program Pengelolaan Limbah

Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, mengakui urgensi untuk meningkatkan strategi pengelolaan sampah di wilayahnya. Hal ini mencakup kebutuhan akan sosialisasi yang lebih intensif kepada masyarakat mengenai masalah persampahan, upaya untuk memaksimalkan dan menciptakan inovasi baru dalam pengelolaan sampah, serta realisasi program bank sampah. Meskipun ada komitmen dari pemerintah daerah, pengelolaan sampah di TPA Kendari masih menghadapi berbagai tantangan, seperti kurangnya optimalisasi operasional, lemahnya penegakan hukum terkait pembuangan sampah, dan rendahnya kesadaran serta partisipasi masyarakat dalam praktik pengelolaan sampah yang benar.  

DLH Provinsi Sulawesi Tenggara juga telah menegaskan komitmennya untuk menciptakan lingkungan yang bersih, sehat, dan berkelanjutan bagi seluruh warganya melalui berbagai program pengelolaan limbah. Komitmen ini, meskipun penting, menunjukkan bahwa ada kesenjangan antara kebijakan yang dirumuskan dan implementasi di lapangan. Untuk mengatasi masalah ini, kebijakan yang ada perlu didukung oleh peningkatan kapasitas teknis dan kelembagaan di tingkat pemerintah kota/kabupaten. Ini mencakup pelatihan bagi petugas pengelolaan sampah, pengadaan peralatan yang lebih modern, dan pengembangan sistem pengumpulan serta pengolahan yang lebih efisien. Selain itu, alokasi sumber daya yang lebih besar untuk infrastruktur pengelolaan limbah sangat diperlukan, serta kampanye edukasi yang berkelanjutan untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam memilah dan mengurangi sampah dari sumbernya.  

Pemanfaatan Limbah sebagai Sumber Energi

Selain upaya pengelolaan sampah konvensional, Sulawesi Tenggara juga menunjukkan potensi besar dalam pemanfaatan limbah sebagai sumber energi dan produk bernilai tambah, yang berkontribusi pada ekonomi sirkular dan mitigasi emisi.

  • Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Konawe: PT PLN (Persero) siap mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Proyek ini merupakan langkah maju dalam mengubah masalah limbah menjadi solusi energi, mengurangi volume sampah di TPA dan emisi metana yang dihasilkannya.  
  • Pemanfaatan Limbah Organik sebagai Pupuk Cair: Pemanfaatan limbah organik dari Pasar Baruga sebagai pupuk organik cair pada tanaman pakcoy di Sultra menunjukkan praktik ekonomi sirkular yang berkelanjutan. Inisiatif ini tidak hanya mengurangi limbah tetapi juga mendukung pertanian berkelanjutan.  
  • Pengolahan Serabut Kelapa: Di Desa Salosa, serabut kelapa, yang sebelumnya mungkin dianggap limbah, diolah menjadi produk bernilai ekonomis seperti cocofibre dan cococoir. Inisiatif ini tidak hanya mengurangi tumpukan limbah serabut kelapa tetapi juga menciptakan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat lokal.  
  • Program Biogas Rumah (BIRU): Meskipun tidak disebutkan secara spesifik di Sultra dalam sumber yang diberikan, program Biogas Rumah (BIRU) di Indonesia secara umum memanfaatkan limbah ternak dan dapur untuk menghasilkan biogas. Program ini memiliki banyak manfaat: mengurangi emisi gas rumah kaca, menghemat pengeluaran rumah tangga, dan menghasilkan pupuk organik (bio-slurry) yang dapat menjadi sumber pendapatan tambahan bagi pengguna. Model ini sangat relevan dan berpotensi untuk direplikasi di Sultra.  

Berbagai inisiatif ini menunjukkan potensi besar pemanfaatan limbah di Sultra, baik untuk energi maupun produk bernilai tambah. Ini adalah peluang signifikan untuk mengembangkan ekonomi sirkular yang tidak hanya mengurangi emisi GRK dari sektor limbah tetapi juga menciptakan nilai ekonomi baru, mendukung ketahanan pangan (melalui pupuk organik), dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Namun, tantangannya adalah bagaimana memperluas skala inisiatif-inisiatif ini, mengatasi hambatan teknis dan finansial yang mungkin timbul, serta menciptakan rantai nilai yang berkelanjutan untuk produk-produk berbasis limbah. Diperlukan dukungan kebijakan yang kuat, investasi, dan peningkatan kapasitas masyarakat untuk mewujudkan potensi penuh dari pemanfaatan limbah ini.

Sektor Industri

Sektor industri di Sulawesi Tenggara, khususnya industri nikel, memiliki peran ganda dalam konteks perubahan iklim: sebagai penyumbang emisi dan sebagai sektor dengan potensi dekarbonisasi yang signifikan.

Inisiatif Dekarbonisasi Industri Nikel dan Pembangunan Kawasan Industri Hijau

Indonesia telah menunjukkan komitmen untuk mendekarbonisasi sektor industri, termasuk industri nikel, melalui peluncuran Peta Jalan Dekarbonisasi Industri Nikel Nasional. Peta jalan ini direkomendasikan oleh Kementerian PPN/Bappenas bersama WRI Indonesia , menunjukkan upaya terkoordinasi di tingkat nasional.  

Sulawesi Tenggara, sebagai salah satu produsen nikel utama, menjadi lokasi strategis untuk inisiatif dekarbonisasi ini. Provinsi ini memiliki beberapa proyek kawasan industri hijau yang berfokus pada pengembangan hilirisasi nikel, termasuk:

  • Indonesia Giga Industrial Park (IGIP): Berlokasi di Kolaka Utara, IGIP ditargetkan menarik investasi sebesar Rp 109 triliun untuk pengembangan hilirisasi nikel.  
  • Kolaka Resource Industrial Park (KRIP): Juga di Kolaka Utara, KRIP memiliki fokus serupa dengan IGIP dan ditargetkan mendatangkan investasi sebesar Rp 150 triliun.  
  • ASPIRE Stargate: Kawasan industri ini berlokasi di Konawe Utara, Sultra, dan akan mengembangkan green smelter dengan energi ramah lingkungan. Fase pertama proyek ini ditargetkan menarik investasi sebesar Rp 2,89 triliun.  

Perusahaan-perusahaan besar di sektor pertambangan, seperti PT Vale Indonesia, juga memaparkan peran penting dari praktik Environmental, Social, and Governance (ESG) dalam pengelolaan Corporate Social Responsibility (CSR) pertambangan. PT Vale menekankan transisi energi menuju ekonomi rendah karbon, di mana produksi nikel mulai meningkat sementara batubara menurun, menunjukkan pergeseran fokus industri.  

Pembangunan industri nikel dan kawasan industri hijau ini merupakan peluang ekonomi yang sangat signifikan bagi Sulawesi Tenggara, berpotensi menarik investasi besar dan menciptakan lapangan kerja. Namun, ini juga menghadirkan dilema pembangunan ekonomi dan lingkungan dalam industri ekstraktif. Meskipun nikel penting untuk transisi energi global (misalnya, dalam produksi baterai kendaraan listrik), industri pertambangan, termasuk nikel, secara historis memiliki dampak lingkungan yang besar, seperti limbah, polusi air dan udara, serta kerusakan lahan pasca-tambang.

Keberhasilan dekarbonisasi industri nikel dan pembangunan kawasan industri hijau di Sultra akan sangat bergantung pada seberapa ketat standar ESG diterapkan dan diawasi. Penting untuk memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak mengorbankan kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat lokal. Ini memerlukan penegakan peraturan yang kuat, praktik pertambangan yang bertanggung jawab, dan investasi dalam teknologi yang mengurangi jejak karbon dan dampak lingkungan secara keseluruhan.

Sektor Pertanian

Sektor pertanian di Sulawesi Tenggara juga memiliki peran penting dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, terutama melalui penerapan praktik-praktik yang berkelanjutan.

Praktik Pertanian Rendah Emisi dan Berkelanjutan

Salah satu contoh praktik pertanian berkelanjutan yang telah diidentifikasi di Sultra adalah pemanfaatan limbah organik dari Pasar Baruga sebagai pupuk organik cair pada tanaman pakcoy. Praktik ini menunjukkan potensi besar untuk mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia sintetis, yang produksinya merupakan sumber emisi GRK.  

Pemanfaatan limbah organik sebagai pupuk tidak hanya mengurangi emisi GRK dari penggunaan pupuk kimia (aspek mitigasi), tetapi juga meningkatkan kesehatan dan kesuburan tanah, mengurangi kebutuhan akan input eksternal yang mahal, dan pada akhirnya mendukung ketahanan pangan (aspek adaptasi). Tanah yang sehat lebih mampu menahan kekeringan dan banjir, serta menghasilkan panen yang lebih stabil dalam menghadapi perubahan iklim.

Mendorong dan memperluas praktik pertanian ramah lingkungan dan rendah emisi ini dapat memberikan manfaat ganda bagi Sulawesi Tenggara. Ini akan memperkuat ketahanan pangan provinsi sekaligus berkontribusi pada target mitigasi iklim nasional. Untuk mencapai hal ini, diperlukan dukungan dari pemerintah daerah dan lembaga terkait dalam bentuk pelatihan, penyuluhan, dan fasilitasi akses terhadap teknologi dan praktik pertanian berkelanjutan bagi para petani.

Tabel 2: Potensi Energi Terbarukan Utama di Sulawesi Tenggara

Jenis Energi Potensi (GW/MW/GJ) Sumber Data
Energi Air 6,340 GW (bersama Sulawesi Selatan)

 

 

Energi Minihidro dan Mikrohidro 301 MW

 

 

Energi Surya 3,917 GW

 

 

Energi Angin atau Bayu 1,414 GW

 

 

Energi Panas Bumi 318 MW

 

 

Biomassa (Tempurung Kelapa) 31.000 GJ (Kabupaten Bombana, 2014)

 

 

Tabel 2 ini disajikan untuk secara jelas mengilustrasikan potensi sumber daya energi terbarukan yang melimpah dan belum dimanfaatkan secara optimal di Provinsi Sulawesi Tenggara. Dengan mengkuantifikasi potensi-potensi ini, tabel ini memberikan data konkret yang sangat berharga bagi calon investor, menyoroti Sultra sebagai destinasi yang menarik untuk proyek-proyek energi hijau. Ini juga berfungsi sebagai alat penting bagi para pembuat kebijakan di tingkat provinsi untuk mengembangkan peta jalan transisi energi yang komprehensif, dengan memprioritaskan pengembangan sumber-sumber energi terbarukan spesifik yang selaras dengan potensi tertinggi yang ada di wilayah tersebut. Lebih dari itu, pemanfaatan potensi ini akan membuka peluang diversifikasi ekonomi di luar industri ekstraktif tradisional, mendorong pertumbuhan ekonomi hijau, dan menciptakan lapangan kerja baru di sektor energi terbarukan, yang pada akhirnya akan meningkatkan ketahanan ekonomi provinsi.

Tabel 3: Proyek-proyek Mitigasi Perubahan Iklim Unggulan di Sulawesi Tenggara

Nama Proyek/Inisiatif Sektor Utama Status/Tahap Kapasitas/Target (jika ada) Perkiraan Dampak/Catatan
PLTA Watunohu Energi (Hidro) Persiapan DED USD 70.8 juta (total biaya)

Kekurangan dana pinjaman untuk EPC  

 

PLTB Tolo Energi (Angin) Operasional 72 MW

Suplai energi hijau ke Sultra, perbaikan infrastruktur lokal  

 

PLTSa Konawe Limbah & Energi Pengembangan Belum spesifik

Mengubah limbah menjadi energi, mengurangi volume sampah  

 

Co-firing Biomassa PLTU Nii Tanasa Kendari Energi (Biomassa) Operasional Menggunakan kayu gamal

Mengurangi emisi, membuka peluang kerja  

 

PLTS Hybrid Selayar Energi (Surya) Operasional 1.3 MW

Mengurangi emisi sekitar 1.400 ton CO2/tahun, disupervisi PLN UIW Sulsel, Sultra, Sulbar  

 

Kawasan Industri IGIP & KRIP (Kolaka Utara) Industri (Nikel) Pengembangan Rp 109 T & Rp 150 T (target investasi)

Hilirisasi nikel, pembangunan kawasan industri hijau  

 

Kawasan Industri ASPIRE Stargate (Konawe Utara) Industri (Nikel) Pengembangan Rp 2,89 T (investasi fase 1)

Pengembangan green smelter dengan energi ramah lingkungan  

 

Program RBP REDD+ (dengan Yayasan SCF) Kehutanan & Penggunaan Lahan Implementasi USD 103.8 juta (nasional, 2014-2016)

Mendorong pengelolaan hutan lestari, insentif finansial untuk pengurangan emisi  

 

Pemanfaatan Limbah Organik Pasar Baruga Pertanian & Limbah Implementasi Pupuk organik cair

Mengurangi limbah, mendukung pertanian berkelanjutan  

 

Pengolahan Serabut Kelapa (Desa Salosa) Limbah Implementasi Produk bernilai ekonomis (cocofibre, cococoir)

Mengurangi limbah, menciptakan nilai tambah  

 

Tabel 3 ini disajikan untuk memberikan gambaran yang terkonsolidasi mengenai aksi mitigasi konkret yang sedang dilakukan atau direncanakan di Sulawesi Tenggara. Tabel ini memungkinkan pemantauan status implementasi proyek-proyek kunci, mengidentifikasi inisiatif mana yang berjalan lancar dan mana yang mungkin menghadapi kendala (misalnya, kesenjangan pendanaan PLTA Watunohu).

Penyajian ini juga menyoroti di mana investasi diarahkan, memberikan gambaran tentang prioritas pembangunan rendah karbon di provinsi tersebut. Selain itu, tabel ini menawarkan contoh-contoh jelas keterlibatan sektor swasta (misalnya, PLN, PT SKM, industri nikel) dan kontribusi mereka terhadap aksi iklim, yang sangat penting untuk kemitraan masa depan. Secara keseluruhan, tabel ini berfungsi sebagai bukti nyata komitmen Sultra terhadap mitigasi perubahan iklim, yang sangat berharga untuk menarik dukungan dan investasi lebih lanjut.

6. Inisiatif Adaptasi Perubahan Iklim di Sulawesi Tenggara

Inisiatif adaptasi perubahan iklim di Sulawesi Tenggara berfokus pada peningkatan ketahanan komunitas dan sektor-sektor kunci terhadap dampak yang tak terhindarkan dari perubahan iklim.

Program Peningkatan Ketahanan Iklim Berbasis Komunitas (ProKlim)

Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 2019 tentang Adaptasi Perubahan Iklim di Sulawesi Tenggara secara eksplisit mengatur dan mendorong pemberdayaan masyarakat dalam pelaksanaan aksi adaptasi. Perda ini memungkinkan keterlibatan aktif dari berbagai pihak, termasuk perguruan tinggi, lembaga penelitian, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Ini menunjukkan pengakuan legal terhadap pentingnya pendekatan  

bottom-up dalam adaptasi iklim, di mana solusi dirancang dan diimplementasikan dengan melibatkan langsung komunitas yang paling terdampak.

Sebagai bagian dari kerangka ini, pembentukan Forum Adaptasi Perubahan Iklim di tingkat provinsi bertujuan untuk menampung aspirasi masyarakat dan memberikan sumbangan pemikiran dalam merumuskan aksi adaptasi. Forum ini diharapkan menjadi wadah partisipatif yang memungkinkan pertukaran informasi dan koordinasi antara berbagai pemangku kepentingan.  

Pengakuan legal terhadap pendekatan bottom-up dalam kebijakan daerah merupakan fondasi yang kuat untuk adaptasi yang efektif. Hal ini dapat meningkatkan relevansi dan keberlanjutan aksi adaptasi karena memanfaatkan pengetahuan lokal yang mendalam tentang kondisi lingkungan dan sosial komunitas. Ketika masyarakat merasa memiliki dan terlibat dalam proses perencanaan dan implementasi, rasa kepemilikan terhadap program akan meningkat, yang pada gilirannya akan menghasilkan solusi yang lebih tepat dan berkelanjutan. Namun, tantangannya adalah bagaimana memastikan bahwa forum-forum ini tidak hanya menjadi wadah formal, tetapi benar-benar berfungsi sebagai platform yang efektif untuk menyalurkan aspirasi dan mengintegrasikan solusi berbasis komunitas ke dalam perencanaan dan implementasi yang lebih luas, dengan dukungan sumber daya yang memadai.

Peningkatan Ketahanan Pangan dan Air

Ketahanan pangan dan air merupakan dua pilar krusial dalam strategi adaptasi perubahan iklim, terutama di wilayah yang rentan seperti Sulawesi Tenggara. Rencana Aksi Daerah Adaptasi Perubahan Iklim (RAD-API) di Sultra secara khusus bertujuan untuk menjamin pencapaian sasaran pembangunan dan meningkatkan ketahanan masyarakat, termasuk dalam aspek ketahanan pangan dan air.  

Meskipun sumber daya yang diberikan tidak merinci proyek spesifik di Sultra untuk ketahanan air bersih, masalah kelangkaan air telah diidentifikasi sebagai isu kunci di beberapa komunitas, seperti yang terlihat dari upaya masyarakat di Wakatobi dalam mengatasi kelangkaan air sebagai persoalan utama. Hal ini menunjukkan bahwa inisiatif lokal untuk mengelola sumber daya air sangat penting.  

Di sektor pangan, program biogas rumah tangga (BIRU), meskipun tidak disebutkan secara spesifik di Sultra, menunjukkan bagaimana pemanfaatan limbah dapat mendukung ketahanan pangan. Program ini menghasilkan bio-slurryatau ampas biogas yang dapat digunakan sebagai pupuk organik. Penggunaan pupuk organik ini tidak hanya mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia tetapi juga meningkatkan kesuburan tanah, yang pada gilirannya meningkatkan produktivitas pertanian dan ketahanan pangan.  

Ketahanan pangan dan air sangat erat kaitannya dengan adaptasi perubahan iklim. Solusi-solusi lintas sektor diperlukan untuk mencapai ketahanan yang komprehensif. Misalnya, praktik pertanian berkelanjutan yang menggunakan pupuk organik dari limbah dapat mengurangi emisi GRK (mitigasi) sekaligus meningkatkan kualitas tanah dan hasil panen, sehingga memperkuat ketahanan pangan (adaptasi). Demikian pula, praktik pengelolaan air yang efisien, seperti pengumpulan air hujan atau sumur resapan, dapat membantu mengatasi tantangan kekeringan. Mengintegrasikan solusi-solusi ini secara holistik dapat memberikan manfaat ganda, memperkuat ketahanan masyarakat secara keseluruhan terhadap dampak perubahan iklim.

Pengelolaan Risiko Bencana Hidrometeorologi

Sulawesi Tenggara, dengan karakteristik geografisnya, rentan terhadap berbagai bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor. Oleh karena itu, pengelolaan risiko bencana merupakan komponen integral dari strategi adaptasi perubahan iklim provinsi. Perda Nomor 11 Tahun 2019 tentang Adaptasi Perubahan Iklim secara eksplisit menyebutkan penguatan ketahanan terhadap dampak perubahan iklim sebagai salah satu tujuannya.  

Kemitraan antara Wahana Visi Indonesia (WVI) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) merupakan contoh konkret upaya ini. Sejak tahun 2018, WVI telah berkolaborasi erat dengan BPBD untuk membantu masyarakat dalam mengidentifikasi kerentanan mereka terhadap bahaya hidrometeorologi dan geofisika. Kolaborasi ini juga mencakup pengembangan strategi dan sumber daya yang diperlukan untuk meningkatkan ketangguhan dan mengurangi risiko serta dampak bencana, melalui penyusunan Rencana Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Masyarakat (RKBBM). Selain itu, WVI juga mendukung masyarakat untuk terlibat dalam aksi lingkungan dan iklim melalui pengelolaan limbah, yang secara tidak langsung berkontribusi pada pengurangan risiko bencana.  

Kemitraan dengan organisasi non-pemerintah (LSM) dan lembaga penanggulangan bencana lokal sangat penting dalam membangun kapasitas lokal untuk pengurangan risiko bencana. Kolaborasi semacam ini memungkinkan transfer pengetahuan, mobilisasi sumber daya, dan pengembangan solusi yang disesuaikan dengan konteks lokal. Ini secara signifikan meningkatkan kesiapsiagaan dan respons komunitas terhadap bencana. Dengan melibatkan masyarakat secara langsung dalam proses identifikasi risiko dan perumusan strategi, program-program ini menjadi lebih relevan dan berkelanjutan. Penguatan kemitraan ini harus terus didorong untuk memastikan bahwa semakin banyak komunitas di Sultra yang memiliki kapasitas untuk menghadapi dan pulih dari dampak bencana hidrometeorologi yang diperparah oleh perubahan iklim.

Tabel 4: Proyek-proyek Adaptasi Perubahan Iklim Unggulan di Sulawesi Tenggara

Nama Proyek/Inisiatif Sektor Utama Status/Tahap Perkiraan Dampak/Catatan
Program Peningkatan Ketahanan Iklim Berbasis Komunitas (ProKlim) Multi-sektoral (Komunitas) Kebijakan/Implementasi

Pemberdayaan masyarakat, peningkatan ketahanan iklim  

 

Pemanfaatan Limbah Organik sebagai Pupuk Cair Pertanian & Limbah Implementasi

Mengurangi limbah, mendukung pertanian berkelanjutan, meningkatkan ketahanan pangan  

 

Pengelolaan Serabut Kelapa Limbah Implementasi

Mengurangi limbah, menciptakan produk bernilai ekonomi  

 

Program Biogas Rumah (BIRU) Energi & Pertanian Implementasi (Model Relevan)

Mengurangi emisi, hemat biaya, menghasilkan pupuk organik, peluang usaha  

 

Kemitraan Manajemen Risiko Bencana Berbasis Komunitas (WVI-BPBD) Bencana Kemitraan

Identifikasi kerentanan, pengembangan strategi kesiapsiagaan  

 

Tabel 4 ini disajikan untuk menyoroti berbagai upaya adaptasi yang beragam di Sulawesi Tenggara, terutama yang melibatkan komunitas lokal dan pendekatan inovatif. Penyajian ini memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang aksi iklim di luar sekadar pengurangan emisi, dengan menekankan upaya-upaya untuk membangun ketahanan.

Tabel ini juga menggarisbawahi pentingnya partisipasi dan kepemilikan lokal dalam inisiatif adaptasi. Proyek-proyek yang melibatkan langsung masyarakat seringkali menghasilkan hasil yang lebih berkelanjutan karena memanfaatkan pengetahuan tradisional dan memperkuat kapasitas adaptif komunitas. Selain itu, tabel ini menyajikan contoh-contoh proyek praktis di lapangan yang berpotensi untuk ditingkatkan skalanya atau direplikasi di wilayah lain yang rentan di Sultra, sehingga memperluas cakupan dan dampak positif dari upaya adaptasi perubahan iklim.

7. Keterlibatan Pemangku Kepentingan dan Pendanaan

Keberhasilan implementasi aksi iklim di Sulawesi Tenggara sangat bergantung pada sinergi dan kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan, serta ketersediaan dan akses terhadap sumber pendanaan yang memadai.

Peran Pemerintah Daerah, Masyarakat Adat, Sektor Swasta, LSM, dan Akademisi

Kerangka kebijakan di Sulawesi Tenggara secara eksplisit mengakui dan mendorong keterlibatan berbagai pemangku kepentingan dalam aksi iklim:

  • Pemerintah Daerah: Pemerintah provinsi, melalui Gubernur, bertanggung jawab untuk melaksanakan dan mengawasi Rencana Aksi Daerah Adaptasi Perubahan Iklim (RAD-API). Ini melibatkan pembentukan tim lintas instansi yang dikoordinir oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) untuk monitoring dan evaluasi. Pemerintah daerah juga diberdayakan untuk berkontribusi pada target NDC nasional, dengan peran penting dalam menyusun RAD-GRK yang bersifat multisektor dan terintegrasi dengan rencana pembangunan daerah.  

     

  • Masyarakat Adat: Perda Nomor 11 Tahun 2019 tentang Adaptasi Perubahan Iklim secara langsung mengatur pemberdayaan masyarakat dalam aksi adaptasi. Contoh dari Karampuang, Sinjai (Sulawesi Selatan), dengan adat Gella yang menjaga kelestarian hutan dan adaptasi pertanian, menunjukkan bagaimana kearifan lokal masyarakat adat dapat menjadi model efektif dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Masyarakat adat seringkali menjadi aktor yang paling rentan terhadap dampak iklim, sehingga partisipasi mereka sangat krusial.  
  • Sektor Swasta: Pihak swasta diwajibkan untuk berperan serta dalam aksi adaptasi sesuai dengan bidang usaha/kegiatan mereka. Keterlibatan ini dapat dilakukan secara individu, kelompok, perkumpulan, atau melalui Forum Adaptasi Perubahan Iklim. Sektor swasta telah menunjukkan peran dalam dekarbonisasi industri nikel dan pembangunan kawasan industri hijau di Sultra , serta dalam proyek-proyek energi terbarukan.  
  • LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat): LSM dapat dilibatkan dalam pemberdayaan masyarakat untuk aksi adaptasi. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sultra aktif dalam advokasi isu lingkungan dan hak-hak masyarakat. LSM Lingkar Sultra berfokus pada penumbuhan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pelestarian lingkungan. Wahana Visi Indonesia (WVI) berkolaborasi dengan BPBD dalam manajemen risiko bencana berbasis komunitas dan program adaptasi, menunjukkan peran penting LSM dalam memfasilitasi aksi di tingkat tapak.  
  • Akademisi: Perguruan tinggi dan peneliti dapat dilibatkan dalam aksi adaptasi, dengan peran konsultatif dan aksi yang sesuai dengan kompetensi keilmuan mereka. Keterlibatan ini dapat bersifat perorangan atau melalui Pusat Studi atau Forum Adaptasi Perubahan Iklim.  

Adanya kerangka hukum yang memungkinkan keterlibatan multi-pemangku kepentingan ini merupakan fondasi yang kuat. Namun, tantangannya adalah bagaimana bergerak dari pengakuan formal menuju kolaborasi yang efektif dan berkelanjutan. Ini memerlukan pembangunan kepercayaan, saluran komunikasi yang jelas, dan mekanisme akuntabilitas yang transparan di antara semua pihak. Penting untuk memastikan partisipasi yang setara dan pembagian manfaat yang adil, terutama bagi kelompok rentan seperti masyarakat adat, untuk menghindari marginalisasi dan memastikan keberlanjutan aksi iklim.

Sumber Pendanaan (APBD, Nasional, Internasional, Swasta)

Pendanaan merupakan faktor penentu keberhasilan aksi iklim. Di Sulawesi Tenggara, sumber pendanaan berasal dari berbagai tingkatan dan sektor:

  • Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD): Pendanaan aksi adaptasi bersumber dari APBD provinsi, yang menunjukkan komitmen fiskal daerah.  
  • Pendanaan Nasional: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga berkontribusi pada pendanaan ketahanan iklim melalui mekanisme tagging atau penandaan kegiatan dalam rencana kerja pemerintah.  
  • Pendanaan Internasional: Sulawesi Tenggara memiliki akses terhadap dukungan pendanaan dari luar negeri, baik dalam bentuk hibah maupun pinjaman. Mekanisme ini dapat berasal dari lembaga seperti Adaptation Fund, Green Climate Fund (GCF), Global Environment Facility (GEF), Asian Development Bank (ADB), dan JICA. Sultra, misalnya, menerima dana Result Based Payment (RBP) REDD+ dari GCF melalui Yayasan SCF. Secara nasional, Indonesia telah menerima pembayaran RBP REDD+ sebesar USD 103,8 juta dari GCF untuk kinerja pengurangan emisi periode 2014-2016, dengan alokasi proporsional untuk tingkat sub-nasional/provinsi. Kebijakan baru GCF yang menetapkan harga USD 8 per ton karbon juga meningkatkan potensi pendanaan ini.  
  • Sektor Swasta: Keterlibatan pihak swasta dalam pendanaan aksi iklim dapat dilakukan melalui skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Misalnya, ADB juga menyediakan pembiayaan untuk proyek panas bumi di Indonesia, yang menunjukkan peran sektor swasta dan lembaga keuangan dalam mendukung transisi energi.  

Meskipun terdapat diversifikasi sumber pendanaan, terdapat tantangan dalam aksesibilitas, terutama untuk dana iklim internasional. Proses pengajuan dan persyaratan yang kompleks seringkali menjadi hambatan bagi pemerintah daerah dan organisasi lokal. Hal ini menunjukkan kebutuhan akan peningkatan kapasitas teknis dan bantuan dalam pengembangan proposal bagi pemerintah daerah dan organisasi di Sultra untuk secara efektif memanfaatkan aliran dana eksternal ini. Mempermudah akses pendanaan akan sangat penting untuk mempercepat skala implementasi aksi iklim di provinsi ini.

8. Tantangan dan Peluang dalam Implementasi Aksi Iklim

Implementasi aksi iklim di Sulawesi Tenggara, meskipun didukung oleh kerangka kebijakan dan potensi sumber daya yang signifikan, menghadapi berbagai tantangan yang kompleks. Namun, di balik setiap tantangan, terdapat peluang strategis yang dapat dimanfaatkan untuk mendorong pembangunan berkelanjutan.

Tantangan Utama (Kapasitas, Koordinasi, Data, Pendanaan, Penegakan Hukum)

  1. Kapasitas: Keterbatasan kapasitas pemerintah daerah dalam menyusun rencana teknis yang komprehensif dan efektif masih menjadi kendala. Selain itu, kurangnya tenaga ahli di berbagai sektor dapat menyebabkan permasalahan tidak terselesaikan secara tuntas dan cenderung bias dalam pengambilan keputusan.  
  2. Koordinasi: Koordinasi antar sektor dan antar tingkatan pemerintahan seringkali rentan terhadap tumpang tindih atau kurangnya sinergi. Misalnya, hubungan antar anggota Kelompok Kerja REDD+ yang belum sepenuhnya baik karena faktor mutasi personel dapat menghambat efektivitas program.  
  3. Data: Ketersediaan data inventarisasi GRK spesifik provinsi yang mutakhir masih terbatas. Kesenjangan ini menyulitkan perumusan kebijakan yang tepat sasaran dan pengukuran kemajuan yang akurat. Data yang tidak lengkap atau tidak terkini dapat menyebabkan alokasi sumber daya yang tidak optimal dan pelaporan yang kurang kredibel.  
  4. Pendanaan: Keterbatasan pendanaan merupakan kelemahan utama dalam pelaksanaan program REDD+ dan aksi iklim lainnya, yang membutuhkan pendanaan berkelanjutan. Selain itu, aliran dana dari sumber internasional seringkali tidak cukup untuk menutupi seluruh biaya yang diperlukan, dan proses pencairan dana yang panjang dapat menghambat pelaksanaan program.  
  5. Penegakan Hukum: Laju deforestasi di Sultra masih tinggi meskipun telah ada larangan pembukaan hutan.Pengawasan dan penegakan hukum terhadap aktivitas ilegal seperti penebangan liar dan konversi lahan masih sulit ditangani. Konflik kepemilikan lahan antara masyarakat adat, perusahaan, dan pemerintah juga menjadi masalah yang terus-menerus menghambat upaya konservasi dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.  

Tantangan-tantangan ini saling terkait dan membentuk hambatan sistemik yang memerlukan pendekatan holistik. Misalnya, koordinasi yang lemah dapat menyebabkan kesenjangan data, dan kapasitas yang terbatas dapat menghambat penegakan hukum yang efektif. Mengatasi hambatan ini memerlukan upaya simultan yang menangani aspek kelembagaan, teknis, finansial, dan tata kelola secara komprehensif.

Peluang Strategis (Potensi EBT, Ekonomi Hijau, Kearifan Lokal, Dukungan Internasional)

Di tengah tantangan, Sulawesi Tenggara memiliki beberapa peluang strategis yang dapat dimanfaatkan untuk mempercepat transisi menuju pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim:

  1. Potensi Energi Terbarukan (EBT) yang Melimpah: Sultra memiliki potensi besar dalam energi air, surya, angin, panas bumi, dan biomassa. Pemanfaatan potensi ini dapat mendukung dekarbonisasi sektor energi dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.  
  2. Pengembangan Ekonomi Hijau: Pembangunan kawasan industri hijau dan inisiatif dekarbonisasi industri nikel (seperti IGIP, KRIP, dan ASPIRE Stargate) menarik investasi besar dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan. Selain itu, pemanfaatan limbah sebagai sumber energi dan produk bernilai tambah (misalnya, PLTSa, pupuk organik dari limbah, produk serabut kelapa) menciptakan peluang ekonomi sirkular.  
  3. Kearifan Lokal: Peran masyarakat adat dalam konservasi hutan dan adaptasi pertanian, seperti adat Gella di Sinjai, menunjukkan nilai kearifan lokal yang dapat diintegrasikan ke dalam strategi iklim. Pengetahuan tradisional ini dapat memberikan solusi yang relevan dan berkelanjutan untuk pengelolaan sumber daya alam.  
  4. Dukungan Internasional: Adanya peluang pendanaan dan transfer teknologi dari inisiatif internasional seperti Green Climate Fund (GCF) dan Adaptation Fund, serta mekanisme perdagangan karbon, dapat menjadi katalis penting untuk membiayai proyek-proyek iklim di Sultra.  

Sulawesi Tenggara dapat memanfaatkan keunggulan komparatifnya, yaitu sumber daya alam yang melimpah (potensi EBT, hutan) dan modal sosial yang ada (kearifan lokal), untuk mendorong transformasi ekonomi hijau. Dukungan internasional dapat bertindak sebagai katalis, namun perencanaan strategis yang kuat dan tata kelola yang baik sangat diperlukan untuk menerjemahkan peluang-peluang ini menjadi hasil yang nyata, adil, dan berkelanjutan bagi masyarakat. Membangun kapasitas untuk mengakses dan mengelola pendanaan internasional, serta memperkuat kemitraan antara pemerintah, sektor swasta, masyarakat sipil, dan komunitas adat, akan menjadi kunci untuk mewujudkan potensi ini.

9. Kesimpulan dan Rekomendasi

Kesimpulan Komprehensif

Provinsi Sulawesi Tenggara telah menunjukkan komitmen yang jelas dalam menghadapi perubahan iklim melalui pembentukan kerangka kebijakan dan inisiatif di tingkat daerah. Peraturan Daerah tentang Adaptasi Perubahan Iklim dan Peraturan Gubernur tentang Rencana Aksi Daerah Adaptasi Perubahan Iklim (RAD-API) merupakan landasan hukum yang kuat, yang secara eksplisit mengakui pentingnya adaptasi dan mendorong partisipasi multi-pemangku kepentingan. Integrasi isu iklim ke dalam dokumen perencanaan jangka menengah dan panjang (RPJMD dan RPJPD) juga menunjukkan kesadaran strategis pemerintah provinsi.

Namun, implementasi aksi iklim di Sultra masih dihadapkan pada tantangan signifikan. Keterbatasan data inventarisasi GRK spesifik provinsi yang mutakhir menghambat perumusan kebijakan yang tepat sasaran dan pengukuran kemajuan yang akurat. Sektor kehutanan, sebagai penyumbang emisi terbesar berdasarkan data yang tersedia, terus menghadapi laju deforestasi yang tinggi, yang mengancam kemampuan provinsi untuk berkontribusi pada target NDC nasional. Selain itu, masalah kapasitas kelembagaan, koordinasi lintas sektor, pendanaan yang berkelanjutan, dan penegakan hukum masih menjadi hambatan sistemik.

Meskipun demikian, Sulawesi Tenggara memiliki potensi besar untuk transisi menuju pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim. Potensi energi terbarukan yang melimpah (air, surya, angin, panas bumi, biomassa) menawarkan peluang besar untuk dekarbonisasi sektor energi. Inisiatif industri hijau, khususnya di sektor nikel, menunjukkan komitmen terhadap pembangunan ekonomi yang lebih berkelanjutan, meskipun perlu dikelola dengan standar ESG yang ketat. Pemanfaatan limbah sebagai sumber energi dan produk bernilai tambah juga membuka jalan bagi ekonomi sirkular. Terakhir, kearifan lokal dan partisipasi masyarakat adat merupakan aset berharga yang dapat memperkuat upaya konservasi dan adaptasi.

Secara keseluruhan, Sultra berada di persimpangan jalan di mana komitmen kebijakan telah ada, tetapi implementasi yang efektif dan terukur masih memerlukan penguatan signifikan. Transformasi menuju masa depan yang rendah karbon dan berketahanan iklim akan membutuhkan upaya terpadu dan berkelanjutan dari semua pihak.

Rekomendasi Strategis

Berdasarkan analisis komprehensif ini, beberapa rekomendasi strategis diusulkan untuk memperkuat aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Provinsi Sulawesi Tenggara:

  1. Peningkatan Kapasitas dan Tata Kelola:
    • Investasi dalam Peningkatan Kapasitas SDM: Pemerintah daerah perlu mengalokasikan sumber daya untuk pelatihan dan pengembangan kapasitas bagi aparatur sipil negara (ASN) di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, khususnya dalam perencanaan, implementasi, dan pelaporan aksi iklim. Ini termasuk keahlian dalam inventarisasi GRK, analisis risiko iklim, dan pengelolaan proyek hijau.
    • Perkuat Koordinasi Lintas Sektor dan Antar-Tingkat Pemerintahan: Bentuk dan aktifkan forum koordinasi yang lebih efektif antara perangkat daerah, pemerintah kabupaten/kota, dan pemangku kepentingan non-pemerintah untuk memastikan sinergi program dan menghindari tumpang tindih. Mekanisme komunikasi yang terstruktur dan reguler sangat penting.
  2. Pembaruan Data dan Transparansi:
    • Lakukan Inventarisasi GRK yang Komprehensif dan Berkala: Prioritaskan pengembangan sistem inventarisasi GRK tingkat provinsi yang robust dan berkala per sektor. Data ini harus mutakhir dan terperinci untuk mendukung pengambilan keputusan berbasis bukti.
    • Publikasikan Data Secara Transparan: Pastikan data emisi GRK, laporan kemajuan aksi iklim, dan informasi terkait lainnya dapat diakses secara mudah oleh publik. Transparansi ini akan meningkatkan akuntabilitas dan mendorong partisipasi masyarakat.
    • Perbarui Dokumen Perencanaan Iklim: Segera perbarui dokumen Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) dan Rencana Aksi Daerah Adaptasi Perubahan Iklim (RAD-API) agar selaras dengan target Enhanced NDC 2030 nasional dan visi LTS-LCCR 2050.
  3. Konservasi dan Restorasi Hutan yang Efektif:
    • Tingkatkan Penegakan Hukum Terhadap Deforestasi Ilegal: Perkuat pengawasan hutan dan lakukan penindakan hukum yang tegas terhadap pelaku penebangan liar dan konversi lahan ilegal.
    • Prioritaskan Program Restorasi Ekosistem: Fokus pada restorasi ekosistem yang terdegradasi, terutama mangrove, mengingat potensi penyerapan karbonnya yang tinggi dan manfaat adaptasinya. Libatkan masyarakat lokal dalam program penanaman dan pemeliharaan.
    • Integrasikan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Hutan: Pelajari dan replikasi model-model pengelolaan hutan berbasis adat yang sukses dari wilayah lain di Sulawesi. Berikan pengakuan dan dukungan kepada masyarakat adat dalam menjaga kelestarian hutan mereka.
  4. Akselerasi Transisi Energi Bersih:
    • Dorong Investasi Proyek EBT Skala Besar: Atasi hambatan pendanaan untuk proyek-proyek energi terbarukan yang telah direncanakan (misalnya PLTA Watunohu) melalui skema pembiayaan inovatif dan kemitraan publik-swasta.
    • Manfaatkan Potensi Biomassa dan Limbah untuk Energi: Dukung pengembangan PLTSa dan fasilitas co-firing biomassa untuk PLTU, serta inisiatif pemanfaatan limbah organik lainnya sebagai sumber energi.
  5. Pembangunan Industri Hijau yang Bertanggung Jawab:
    • Terapkan Standar ESG yang Ketat: Pastikan bahwa pengembangan kawasan industri hijau dan hilirisasi nikel di Sultra mematuhi standar Environmental, Social, and Governance (ESG) yang ketat. Ini mencakup pengelolaan limbah yang bertanggung jawab, pengurangan polusi, dan perlindungan hak-hak masyarakat lokal.
    • Promosikan Inovasi Rendah Karbon: Berikan insentif dan dukungan untuk perusahaan yang mengadopsi teknologi dan praktik rendah karbon dalam operasional mereka.
  6. Penguatan Partisipasi Masyarakat dan Pendanaan Inovatif:
    • Pastikan Forum Adaptasi Berfungsi Efektif: Dukung Forum Adaptasi Perubahan Iklim agar menjadi wadah yang benar-benar partisipatif dan inklusif, tempat aspirasi masyarakat dapat disalurkan dan diintegrasikan ke dalam kebijakan.
    • Libatkan Masyarakat Adat Secara Bermakna: Pastikan persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan (PADIATAPA) diperoleh dari masyarakat adat dalam setiap proyek yang memengaruhi wilayah mereka, dan pastikan distribusi manfaat dari program seperti REDD+ dilakukan secara adil dan transparan.
    • Jelajahi Mekanisme Pendanaan Inovatif: Tingkatkan kapasitas daerah untuk menyusun proposal yang kompetitif guna mengakses dana iklim internasional. Pertimbangkan pula skema pembiayaan campuran (blended finance) yang mengkombinasikan dana publik, swasta, dan filantropi.

Dengan mengimplementasikan rekomendasi-rekomendasi ini secara sistematis dan terkoordinasi, Provinsi Sulawesi Tenggara dapat mempercepat langkahnya menuju pembangunan yang lebih tangguh terhadap iklim, rendah emisi, dan berkelanjutan, sekaligus memberikan kontribusi signifikan pada pencapaian target iklim nasional dan global.

unfccc.int
enhanced nationally determined contribution republic of indonesia 2022 – UNFCCC

Terbuka di jendela baru

iesr.or.id
Monitoring Indonesia’s Second NDC: A Closer Look at Indonesia’s Climate Ambitions and Performance in 2024 – IESR

Terbuka di jendela baru

ejbmr.org
Strategy to Achieve Indonesia’s Nationally Determined Contribution Target by Developing a Sustainable Carbon Market

Terbuka di jendela baru

climatepromise.undp.org
Indonesia – UNDP Climate Promise – United Nations Development Programme

Terbuka di jendela baru

climateworkscentre.org
Indonesia’s energy transition crossroads: New administration, old challenges

Terbuka di jendela baru

unfccc.int
Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050 – UNFCCC

Terbuka di jendela baru

journal.unhas.ac.id
ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KEBUN RAYA KENDARI Land Use Changes In Kebun Raya Kendari – Journal Unhas

Terbuka di jendela baru

globalforestwatch.org
Sulawesi Tenggara, Indonesia Deforestation Rates & Statistics | GFW

Terbuka di jendela baru

iesr.or.id
Pembangunan Rendah Karbon Indonesia dan Net-Zero Emission Menuju Ekonomi Hijau – IESR

Terbuka di jendela baru

lcdi-indonesia.id
PENDANAAN KETAHANAN IKLIM – Low Carbon Development Indonesia

Terbuka di jendela baru

buletinnews.com
Tantangan Indonesia dalam Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan – BuletinNews

Terbuka di jendela baru

ditjenppi.menlhk.go.id
Memperkuat Strategi Jangka Panjang: Komitmen Iklim yang Lebih Kuat Selaras dengan Tujuan Pembangunan

Terbuka di jendela baru

walhi-sultra.or.id
MASYARAKAT DALAM KEPUNGAN POLUSI PLTU CAPTIVE -WALHI SULTRA 2023

Terbuka di jendela baru

signsmart.menlhk.go.id
Sektor IPPU – Grafik Emisi

Terbuka di jendela baru

tegas.co
Wagub Sultra Serahkan RPJMD 2025–2029, Siap Hadapi Tantangan Pembangunan Kedepan – tegas.co

Terbuka di jendela baru

bappedasultra.go.id
RPJMD | Badan Perencanaan Pembangunan Provinsi Sulawesi Tenggara – BAPPEDA SULTRA

Terbuka di jendela baru

kikp-pertanian.id
Metode Penilaian Adaptasi dan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Sektor Pertanian

Terbuka di jendela baru

incas.menlhk.go.id
Emisi bersih GRK – INCAS

Terbuka di jendela baru

wahanavisi.org
Program Adaptasi Perubahan Iklim – Wahana Visi Indonesia

Terbuka di jendela baru

eprints.ipdn.ac.id
STRATEGI DINAS LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DALAM PENINGKATAN PENGELOLAAN SAMPAH DI KOTA KENDARI PROVINSI SULAWESI TENGGARA La

Terbuka di jendela baru

dlhsultra.org
Situs Pemerintah Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Tenggara – Program

Terbuka di jendela baru

lestari.kompas.com
Potensi Energi Terbarukan Sulawesi Tenggara – Lestari – Kompas.com

Terbuka di jendela baru

ojs.uho.ac.id
POTENSI TEMPURUNG KELAPA SEBAGAI SUMBER ENERGI TERBARUKAN DI KABUPATEN BOMBANA PROVINSI SULAWESI TENGGARA | Sudia | Dinamika : Jurnal Ilmiah Teknik Mesin – OJS UHO

Terbuka di jendela baru

peraturan.bpk.go.id
PERGUB Prov. Sulawesi Tenggara No. 47 Tahun 2020

Terbuka di jendela baru

journal.fib.uho.ac.id
Analisis mitigasi perubahan iklim melalui peran adat gella di Karampuang Sinjai – UHO

Terbuka di jendela baru

peraturan.bpk.go.id
GUBERNUR SULAWESI TENGGARA – Peraturan BPK

Terbuka di jendela baru

walhi-sultra.or.id
Tentang Kami – Walhi Sultra

Terbuka di jendela baru

id.scribd.com
Proposal Kegiatan LSM Lingkar Sultra | PDF – Scribd

Terbuka di jendela baru

hijau.bisnis.com
ADB Suntik Pembiayaan Rp1,5 Triliun untuk Proyek Panas Bumi di Indonesia

Terbuka di jendela baru

sultra.antaranews.com
PT Vale paparkan peran ESG dalam pengelolaan CSR Pertambangan

Terbuka di jendela baru

republika.id
Indonesia Luncurkan Peta Jalan Dekarbonisasi Industri Nikel – Republika.id

Terbuka di jendela baru

nikel.co.id
BAPPENAS Siapkan Roadmap Dekarbonisasi Nikel

Terbuka di jendela baru

ykan.or.id
Kajian Kerentanan Iklim Partisipatif – Yayasan Konservasi Alam Nusantara

Terbuka di jendela baru

kawasanindustri.id
Kawasan Industri Mendominasi 16 PSN Baru, Investasi Ratusan T Masuk Sulawesi

Terbuka di jendela baru

biru.or.id
Tentang Program BIRU – Biogas Rumah

Terbuka di jendela baru

jurnal.polbangtanmanokwari.ac.id
Pemanfaatan Limbah Organik Pasar Baruga sebagai Pupuk Organik Cair pada Tanaman Pakcoy (Brassica rapa L.) di Sulawesi Tenggara | Prosiding Seminar Nasional Pembangunan dan Pendidikan Vokasi Pertanian – Publikasi Polbangtan Manokwari

Terbuka di jendela baru

ejournal.iainkendari.ac.id
Pemanfaatan Limbah Serabut Kelapa menjadi Karya bernilai Ekonomis di Desa Salosa Bombana – IAIN Kendari

Terbuka di jendela baru

cnbcindonesia.com
PLTB Tolo Kasih Terobosan dalam Keberlanjutan Energi Terbarukan – CNBC Indonesia

Terbuka di jendela baru

sultra.antaranews.com
Aktivitas Co-Firing biomassa untuk PLTU buka peluang kerja di Konawe Selatan

Terbuka di jendela baru

sultra.bpk.go.id
pln kembangkan pembangkit listrik tenaga sampah di konawe – BPK Perwakilan Provinsi SULAWESI TENGGARA

Terbuka di jendela baru

iet-office.id
PLTA Watunohu – Proyek – Indonesia Energy Transition

Terbuka di jendela baru

heliosynar.com
Kolaborasi Helio dengan PLN dalam Membangun PLTS Hybrid Pertama di Indonesia

Terbuka di jendela baru

bps.go.id
Emisi Gas Rumah Kaca menurut Jenis Sektor (ribu ton CO2e), 2000-2019 – Tabel Statistik – Badan Pusat Statistik Indonesia

Terbuka di jendela baru

peraturan.bpk.go.id
PERDA NO 5 TAHUN 2024.pdf – Peraturan BPK

Terbuka di jendela baru

bappedasultra.go.id
BAPPEDA SULTRA | Badan Perencanaan Pembangunan Provinsi Sulawesi Tenggara

Terbuka di jendela baru

bps.go.id
Emisi Gas Rumah Kaca menurut Jenis Sektor (ribu ton CO2e), 2000-2019 – Tabel Statistik – Badan Pusat Statistik Indonesia

Terbuka di jendela baru

aji.or.id
Kompilasi Karya Jurnalistik Akademi Jurnalisme Ekonomi Lingkungan Angkatan 1 Tahun 2021 – Aliansi Jurnalis Independen | AJI

Terbuka di jendela baru

ditjenppi.menlhk.go.id
Sulawesi Barat Dapat Dana Rp12,6 Miliar dari Program RBP REDD+ untuk Pengelolaan Hutan Berkelanjutan – Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim

Terbuka di jendela baru

greenclimate.fund
Forests get a boost from new GCF policy on REDD+ results-based payments

Terbuka di jendela baru

kukarkab.go.id
Buku Masterplan Smart City – Kutai Kartanegara

Terbuka di jendela baru

id.scribd.com
Laporan Igrk MPV 2021 | PDF | Sains & Matematika – Scribd

Terbuka di jendela baru

signsmart.menlhk.go.id
Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) dan Monitoring, Pelaporan, Verifikasi (MPV) 2021 – Sign Smart – KLHK

Terbuka di jendela baru

peraturan.bpk.go.id
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraruran Gubernur tentang Perubahan atas Peraturan Gubemur Sulawesi Selatan Nomor 5

Terbuka di jendela baru

greenclimate.fund
How a cloud database is protecting forests and communities in Laos | Green Climate Fund

Terbuka di jendela baru

id.scribd.com
Se 1 | PDF | Sains & Matematika | Teknologi & Rekayasa – Scribd

Terbuka di jendela baru

signsmart.menlhk.go.id
Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (Grk) Dan Monitoring, Pelaporan, Verifikasi (Mpv) 2023 – Sign Smart – KLHK

Terbuka di jendela baru

greenclimate.fund
REDD+ – Green Climate Fund

Terbuka di jendela baru

redd.unfccc.int
Submission by Indonesia NATIONAL FOREST REFERENCE LEVEL FOR DEFORESTATION, FOREST DEGRADATION, AND ENHANCEMENT OF FOR – unfccc redd+

Terbuka di jendela baru

peraturan.bpk.go.id
RENCANA AKSI DAERAH PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA (RAD-GRK) Menimbang – Peraturan BPK

Terbuka di jendela baru

scf.or.id
Liputan Media – SCF – Sulawesi Community Foundation
Gambaran Nasional


Capaian Nationally Determined Contribution (NDC) di Tingkat Provinsi Indonesia: Analisis Data dan Implementasi

I. Pendahuluan: Komitmen NDC Indonesia dan Peran Daerah

Indonesia, sebagai negara pihak Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) dan Persetujuan Paris, telah menunjukkan komitmen yang kuat dalam mengatasi perubahan iklim melalui Nationally Determined Contribution (NDC).1 Komitmen ini merupakan bagian integral dari upaya global untuk membatasi kenaikan suhu bumi. Awalnya, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29% secara mandiri (unconditional) dan 41% dengan dukungan internasional (conditional) dari skenario Business as Usual (BAU) pada tahun 2030.2 Target ini mencerminkan ambisi Indonesia untuk berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim global.

Pada September 2022, Indonesia meningkatkan ambisinya dengan mengajukan Enhanced NDC (ENDC) ke Sekretariat UNFCCC, menaikkan target penurunan emisi menjadi 31,89% secara tanpa syarat dan 43,20% secara bersyarat.3 Peningkatan ambisi ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menghadapi krisis iklim. Selain target jangka pendek, Pemerintah Indonesia juga memiliki Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050, yang menargetkan puncak emisi GRK nasional pada tahun 2030 dengan

net sink di sektor kehutanan dan penggunaan lahan (FOLU), serta berupaya menuju net-zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat.2 Visi jangka panjang ini mengintegrasikan pembangunan ekonomi dengan ketahanan iklim.

Pencapaian target NDC nasional sangat bergantung pada implementasi yang efektif di tingkat sub-nasional. Pemerintah daerah memegang peran sentral dalam mewujudkan komitmen ini. Dukungan pemerintah daerah dimulai dari penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.10 Ini menunjukkan bahwa integrasi isu iklim ke dalam perencanaan pembangunan daerah adalah langkah fundamental. Target penurunan emisi GRK nasional dibagi menjadi target sektoral dan sub-nasional, dengan setiap provinsi atau kabupaten diharapkan menyusun rencana aksi sesuai potensi dan kebutuhan lokal.12 Pendekatan ini memungkinkan fleksibilitas dan relevansi lokal dalam upaya mitigasi.

Analisis menunjukkan adanya potensi perbedaan antara ambisi target nasional dan realitas implementasi di tingkat daerah. Target NDC nasional yang ambisius, terutama Enhanced NDC, merupakan komitmen kuat yang diproyeksikan dari tingkat pusat. Namun, keberhasilan pencapaian target ini secara eksplisit bergantung pada tindakan di tingkat sub-nasional dan integrasinya ke dalam dokumen perencanaan provinsi seperti RPJMD dan Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK). Hal ini mengindikasikan adanya kerangka kebijakan top-down yang jelas untuk aksi iklim. Namun, data aktual mengenai capaian di tingkat provinsi, seperti yang akan dibahas lebih lanjut, sering kali terfragmentasi atau tidak tersedia secara konsisten di semua provinsi. Kondisi ini menunjukkan adanya potensi kesenjangan antara target nasional yang ambisius dan beragamnya kapasitas atau kemajuan di tingkat provinsi. Dengan demikian, keberhasilan NDC nasional sangat bergantung pada kinerja kolektif dan konsisten dari berbagai entitas sub-nasional. Hal ini juga menyiratkan bahwa untuk mencapai target NDC nasional, tidak cukup hanya menetapkan tujuan yang ambisius di tingkat pusat, tetapi juga diperlukan mekanisme yang kuat untuk peningkatan kapasitas, bantuan teknis, serta pemantauan dan pelaporan yang konsisten di tingkat sub-nasional. Selain itu, muncul pertanyaan mengenai keadilan dan tanggung jawab yang berbeda antarprovinsi, mengingat struktur ekonomi dan profil emisi mereka yang beragam.

II. Kerangka Kebijakan Implementasi NDC di Tingkat Provinsi

Pemerintah Indonesia telah menetapkan kerangka kebijakan yang jelas untuk mengintegrasikan upaya penurunan emisi GRK di tingkat daerah, dengan Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) sebagai instrumen kuncinya. Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK), yang dikukuhkan dalam Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011, secara eksplisit mengamanatkan pemerintah provinsi untuk menyusun RAD-GRK di provinsinya masing-masing.5 Ini menciptakan dasar hukum bagi aksi iklim di tingkat lokal. RAD-GRK didefinisikan sebagai dokumen rencana kerja untuk pelaksanaan berbagai kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung menurunkan emisi GRK sesuai dengan target pembangunan nasional dan daerah.5 Ini menekankan peran RAD-GRK sebagai panduan operasional.

Dokumen RAD-GRK bersifat multi-sektor, mempertimbangkan karakteristik, potensi, dan kewenangan daerah, serta terintegrasi dengan Rencana Pembangunan Daerah.5 Fleksibilitas ini memungkinkan provinsi untuk merancang strategi yang relevan dengan kondisi geografis, ekonomi, dan sosial mereka. Beberapa provinsi yang telah menyusun RAD-GRK atau dokumen sejenis meliputi Kalimantan Barat (2020-2030) 5, Jawa Tengah (2010-2020) 18, Jawa Barat (melalui Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah/RPRKD) 20, Riau 6, Jambi 14, Papua 21, Sumatera Selatan 15, Kalimantan Timur 16, dan Sulawesi Selatan.17 Keberadaan dokumen-dokumen ini menunjukkan adopsi kebijakan di seluruh nusantara.

NDC Indonesia secara komprehensif mencakup sektor energi, limbah, proses industri dan penggunaan produk (IPPU), pertanian, serta kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (FOLU), di samping adaptasi.2 Cakupan luas ini menunjukkan pendekatan holistik. Sektor kehutanan diamanatkan untuk memiliki kontribusi terbesar dalam penurunan emisi.6 Hal ini mencerminkan peran vital hutan Indonesia sebagai penyerap karbon. Pemerintah menempatkan penanganan perubahan iklim sebagai agenda penting dalam pembangunan nasional, terintegrasi ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 sebagai Prioritas Nasional.22 Ini menunjukkan komitmen tingkat tinggi terhadap isu iklim.

Pendekatan desentralisasi dalam aksi iklim di Indonesia, yang diwujudkan melalui mandat penyusunan RAD-GRK bagi provinsi, memiliki kekuatan dan kelemahan yang melekat. Kerangka hukum yang mewajibkan provinsi untuk mengembangkan RAD-GRK, yang telah banyak diadopsi, menunjukkan bahwa Indonesia menggunakan model desentralisasi untuk memberdayakan pemerintah sub-nasional agar dapat menyesuaikan strategi mitigasi dan adaptasi mereka. Meskipun desentralisasi memungkinkan solusi yang spesifik konteks dan relevan secara lokal, hal ini juga secara inheren memperkenalkan variabilitas dalam kualitas implementasi dan pelaporan data di berbagai provinsi. Akibatnya, hal ini dapat menyebabkan perbedaan dalam kemajuan dan tantangan dalam mengumpulkan capaian tingkat nasional yang konsisten. Keberhasilan model ini sangat bergantung pada koordinasi vertikal yang efektif dan kerangka kerja terstandardisasi untuk pemantauan, pelaporan, dan verifikasi (MRV) yang mempertimbangkan nuansa lokal sekaligus memastikan koherensi nasional. Oleh karena itu, pemerintah pusat perlu memainkan peran yang kuat tidak hanya dalam menetapkan target tetapi juga dalam menyediakan dukungan teknis berkelanjutan, peningkatan kapasitas, dan insentif finansial untuk memastikan bahwa semua provinsi mampu mengimplementasikan RAD-GRK mereka secara efektif. Berbagi praktik terbaik antarprovinsi juga dapat menjadi mekanisme yang kuat untuk mempercepat kemajuan secara keseluruhan.

Fokus pada sektor kehutanan dan energi dalam NDC Indonesia memiliki implikasi strategis yang signifikan. Dokumen NDC secara eksplisit mencakup berbagai sektor, namun penekanan yang tidak proporsional pada sektor kehutanan dan energi menunjukkan bahwa sektor-sektor ini dianggap paling berdampak untuk mencapai target NDC Indonesia. Misalnya, sektor kehutanan diamanatkan untuk memberikan kontribusi terbesar dalam penurunan emisi, terutama melalui strategi FoLU Net Sink 2030. Demikian pula, sektor energi disorot dengan program unggulan seperti kendaraan listrik dan pembangkit listrik tenaga surya. Penekanan ini menyiratkan bahwa sebagian besar pendanaan iklim nasional dan internasional, perhatian kebijakan, serta upaya pengembangan teknologi kemungkinan besar akan disalurkan ke area-area ini. Kinerja yang kurang signifikan di kedua sektor ini dapat sangat membahayakan pencapaian NDC Indonesia secara keseluruhan, terlepas dari kemajuan di sektor lain. Oleh karena itu, kebijakan harus kuat dan diimplementasikan secara konsisten di sektor-sektor kunci ini. Hal ini juga menyoroti potensi kerentanan: jika faktor eksternal (misalnya, harga komoditas global yang memengaruhi kehutanan, atau tingkat adopsi teknologi untuk energi terbarukan) berdampak negatif pada sektor-sektor ini, NDC nasional dapat berisiko. Diversifikasi upaya mitigasi berdampak tinggi di lebih banyak sektor, sambil tetap mempertahankan fokus pada emiter terbesar, mungkin merupakan strategi jangka panjang yang bijaksana.

III. Capaian NDC di Tingkat Provinsi: Data dan Analisis Kunci

1. Provinsi Jawa Barat

Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu daerah percontohan (pilot) dalam pengarusutamaan pembangunan rendah karbon di Indonesia.10 Upaya ini telah dimulai sejak tahun 2011 melalui pembentukan Tim Koordinasi Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim.20 Laporan Analisis Lanjutan Penandaan Perubahan Iklim Provinsi Jawa Barat Tahun 2021 menyediakan data rekapitulasi capaian penurunan emisi GRK per sektor.10

Tabel 1: Rekapitulasi Capaian Penurunan Emisi GRK per Sektor Provinsi Jawa Barat (2010-2020) dan Target 2030

Sektor

Capaian Emisi Akumulatif 2010-2020 (ton eCO2)

Target pada Tahun 2030 (ton eCO2)

% Pencapaian terhadap Target 2030

Kehutanan

3,045,332.53

4,426,120.00

68.8%

Pertanian

825,023.45

829,697.00

99.4%

Energi

1,013,017.32

4,394,160.00

23.1%

Transportasi

236,540.34

414,897.00

57.0%

Limbah

116,106.39

3,381,948.17

3.4%

Total

5,236,020.03

13,446,822.17

38.9% (approx)

Sumber: Diolah dari 10

Total capaian penurunan emisi untuk periode 2010-2020 adalah 5.236.020,03 ton CO2 eq, yang merupakan 7,19% dari target Business as Usual (BaU) 2020 dan 3,87% dari target BaU 2030.10 Tabel ini memberikan data kuantitatif yang konkret mengenai kemajuan Jawa Barat dalam mencapai target 2030. Hal ini memungkinkan perbandingan langsung tingkat pencapaian di berbagai sektor dan menyoroti area kekuatan (misalnya, Pertanian, Kehutanan) dan kelemahan (misalnya, Limbah, Energi). Granularitas data ini sangat penting untuk evaluasi kebijakan dan intervensi yang ditargetkan.

Tabel 2: Persentase Target dan Capaian Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Berdasarkan Sektor Prioritas Penanganan di Provinsi Jawa Barat (2017)

nama_provinsi

sektor

kategori

persentase_penurunan_emisi_gas

satuan

tahun

JAWA BARAT

KEHUTANAN

TARGET PENURUNAN EMISI

8.17

PERSEN

2017

JAWA BARAT

KEHUTANAN

CAPAIAN PENURUNAN…source

Sumber: 25

Tabel ini menawarkan gambaran kinerja pada tahun tertentu (2017), menunjukkan apakah provinsi tersebut memenuhi atau melampaui target tahunannya untuk periode tersebut. Hal ini melengkapi data kumulatif pada Tabel 1 dengan menyediakan indikator kinerja yang lebih langsung dan memungkinkan penilaian fluktuasi kinerja tahunan terhadap target.

Data menunjukkan disparitas yang signifikan dalam kinerja sektoral di Jawa Barat. Sektor pertanian mencapai 99,4% dari target 2030 pada tahun 2020, dan kehutanan mencapai 68,8%. Namun, sektor limbah hanya mencapai 3,4% dari target 2030, dan sektor energi 23,1%.10 Kesenjangan yang mencolok ini menunjukkan bahwa upaya mitigasi dan efektivitasnya sangat tidak merata di berbagai sektor di Jawa Barat. Pencapaian tinggi di sektor pertanian dan kehutanan mungkin disebabkan oleh kebijakan yang lebih matang, emisi dasar yang lebih rendah, atau intervensi yang lebih mudah diterapkan (misalnya, penyerapan berbasis lahan, praktik pertanian berkelanjutan). Sebaliknya, pencapaian yang sangat rendah di sektor limbah menunjukkan tantangan sistemik yang signifikan, kemungkinan terkait dengan kesenjangan infrastruktur, keterbatasan kesadaran/partisipasi publik dalam pemilahan sampah, atau investasi yang tidak memadai dalam teknologi pengolahan sampah canggih. Kinerja sektor energi yang moderat menunjukkan tantangan yang berkelanjutan dalam transisi ke sumber energi yang lebih bersih atau peningkatan efisiensi energi. Hal ini menyoroti kebutuhan kritis akan intervensi kebijakan yang ditargetkan dan realokasi sumber daya. Provinsi perlu melakukan penilaian yang lebih rinci untuk mengidentifikasi hambatan spesifik di sektor-sektor yang berkinerja buruk dan mengembangkan strategi yang disesuaikan. Pembelajaran dari sektor-sektor yang berhasil (misalnya, bagaimana praktik pertanian ditingkatkan) dapat memberikan pelajaran yang dapat ditransfer, tetapi sektor-sektor kompleks seperti pengelolaan sampah kemungkinan memerlukan perubahan mendasar dalam infrastruktur, regulasi, dan perilaku publik. Pencapaian target NDC secara keseluruhan akan memerlukan upaya terpadu untuk mengatasi ketidakseimbangan sektoral ini.

2. Provinsi Riau

Provinsi Riau telah menyusun Rencana Kerja Aksi Mitigasi Perubahan Iklim Sub-Nasional, menunjukkan komitmennya dalam mendukung target NDC nasional.6 Gubernur Riau bahkan diakui sebagai pelopor nasional dalam aksi iklim dan tata kelola hijau.26 Laporan penandaan anggaran perubahan iklim 2021 menyediakan data capaian emisi dan target penurunan emisi per sektor.11

Tabel 3: Capaian Emisi (2020) dan Target Penurunan Emisi (2030) per Sektor Provinsi Riau (juta ton CO2)

Sektor

Capaian Emisi pada Tahun 2020 (juta ton CO2)

Target Penurunan Emisi di 2030 (juta ton CO2)

Kehutanan

154.585

200

Pertanian

2.269

0.317

Energi

20.567

0.311

Transportasi

3.415

Termasuk dalam sektor Energi

Limbah

6.054

0.321

Sumber: Diolah dari 11 (Tabel 5)]

Tabel ini memberikan data kuantitatif spesifik untuk Riau, memungkinkan penilaian status saat ini dan target masa depan di seluruh sektor utama. Secara eksplisit dicatat bahwa data transportasi termasuk dalam energi, yang penting untuk interpretasi akurat kontribusi sektor energi. Data ini sangat penting untuk memahami profil emisi dan prioritas mitigasi provinsi yang sangat bergantung pada sektor berbasis lahan.

Kinerja Riau di sektor kehutanan memiliki dampak signifikan terhadap tujuan nasional. Sektor kehutanan Riau menunjukkan “Capaian Emisi pada tahun 2020” sebesar 154,585 juta ton CO2 dan “Target Penurunan Emisi di 2030” sebesar 200 juta ton CO2.11 Angka ini jauh lebih besar dibandingkan sektor lain yang terdaftar untuk Riau. Secara nasional, sektor kehutanan diamanatkan untuk memberikan kontribusi terbesar dalam penurunan emisi.6 Dengan luasnya hutan dan lahan gambut, Riau memainkan peran yang sangat penting dalam upaya penurunan emisi terkait kehutanan di Indonesia secara keseluruhan. Kinerja Riau di sektor kehutanan bukan hanya pencapaian provinsi tetapi juga merupakan penentu signifikan kemampuan Indonesia untuk mencapai target NDC secara keseluruhan, terutama tujuan ambisius FoLU Net Sink 2030. Besarnya emisi dan potensi pengurangan di sektor ini berarti bahwa keberhasilan atau kegagalan di provinsi seperti Riau akan memiliki konsekuensi nasional yang substansial. Hal ini juga menunjukkan bahwa provinsi dengan sumber daya alam yang signifikan, terutama hutan dan lahan gambut, merupakan pilar strategis untuk aksi iklim nasional dan memerlukan dukungan serta investasi yang terfokus. Oleh karena itu, kebijakan dan mekanisme pendanaan nasional harus memprioritaskan dan secara memadai mendukung pengelolaan hutan dan penggunaan lahan di provinsi-provinsi utama seperti Riau. Hal ini juga menyoroti kebutuhan akan tata kelola yang kuat dan keterlibatan masyarakat di area-area ini untuk memastikan praktik berkelanjutan dan mencegah deforestasi/degradasi, karena upaya-upaya ini secara langsung berkontribusi pada keberhasilan iklim nasional.

3. Provinsi DKI Jakarta

Provinsi DKI Jakarta, sebagai ibu kota dan pusat ekonomi, memiliki profil emisi GRK yang unik, didominasi oleh sektor energi dan limbah. Laporan Inventarisasi Emisi GRK DKI Jakarta Tahun 2019 memberikan gambaran rinci mengenai sumber emisi di wilayah ini.27

Tabel 4: Inventarisasi Emisi GRK per Sektor Provinsi DKI Jakarta (2010 & 2018) (ribu ton CO2e)

Sektor

Emisi Tahun 2010 (ribu ton CO2e)

Emisi Tahun 2018 (ribu ton CO2e)

Persentase Kontribusi (2018)

Energi (Direct)

18,864

27,195

92.5%

IPPU (Industrial Process & Product Use)

NO

NO

NO

AFOLU (Agriculture, Forestry & Other Land Use)

31

3

0.0%

Limbah (Waste)

1,770

2,194

7.5%

Total Emisi Langsung (Direct Emissions)

20,665

29,392

100%

Emisi Tidak Langsung (dari penggunaan listrik PLN)

17,364

29,173

49% dari total emisi GRK (termasuk tidak langsung)

Sumber: Diolah dari 27 (Tabel 0.1)]

Tabel ini memberikan gambaran penting tentang profil emisi GRK di provinsi yang sangat urban seperti DKI Jakarta. Ini secara jelas menunjukkan dominasi sektor energi dan limbah dalam emisi langsung, dan yang lebih penting, menyoroti kontribusi besar emisi tidak langsung dari konsumsi listrik, yang merupakan karakteristik utama daerah metropolitan. Data ini sangat penting untuk merancang kebijakan iklim perkotaan yang ditargetkan.

Tabel 5: Inventarisasi Emisi GRK berdasarkan Jenis Gas Provinsi DKI Jakarta (2010 & 2018) (ribu ton CO2e)

Sektor

Jenis Gas (2010) (ribu ton CO2e)

Total (2010)

Jenis Gas (2018) (ribu ton CO2e)

Total (2018)

Energi

CO2: 18,682, CH4: 59, N2O: 123

18,864

CO2: 26,879, CH4: 84, N2O: 232

27,195

IPPU

NO

NO

NO

NO

AFOLU

CO2: 0, CH4: 9, N2O: 22

31

CO2: -7, CH4: 7, N2O: 3

3

Limbah

CO2: NE, CH4: 1,671, N2O: 99

1,770

CO2: 0, CH4: 2,034, N2O: 160

2,194

Total Keseluruhan Emisi

CO2: 18,682, CH4: 1,739, N2O: 244

20,665

CO2: 26,872, CH4: 2,125, N2O: 395

29,392

Distribusi Total Emisi per Jenis Gas:

  • 2010: CO2 (90.4%), CH4 (8.4%), N2O (1.2%)
  • 2018: CO2 (91.4%), CH4 (7.2%), N2O (1.4%)

Sumber: Diolah dari 27 (Tabel 0.2)]

Tabel ini menawarkan pandangan yang lebih terperinci dengan memecah emisi berdasarkan jenis gas rumah kaca tertentu (CO2, CH4, N2O). Ini penting untuk memahami komposisi kimia emisi dan untuk mengembangkan strategi mitigasi yang ditargetkan untuk gas yang berbeda (misalnya, berfokus pada pengurangan metana dari limbah, atau CO2 dari energi).

Profil emisi di DKI Jakarta menyoroti karakteristik unik daerah perkotaan, terutama dominasi emisi tidak langsung. Emisi langsung DKI Jakarta sebagian besar berasal dari sektor energi (92,5% pada tahun 2018), dan emisi tidak langsung dari penggunaan listrik PLN hampir sama tingginya dengan total emisi langsung.27Selain itu, CO2 mendominasi jenis gas, terutama dari sektor energi.27 Profil emisi di daerah yang sangat urban seperti DKI Jakarta secara fundamental berbeda dari provinsi dengan sektor berbasis lahan yang besar (misalnya, Riau, Jawa Barat). Konsumsi energi (baik langsung dari transportasi/industri maupun tidak langsung dari listrik jaringan) dan pengelolaan limbah adalah pendorong utama. Strategi mitigasi untuk pusat kota harus memprioritaskan efisiensi energi di semua sektor (perumahan, komersial, industri, transportasi) dan mempercepat transisi ke sumber energi terbarukan, bahkan jika pembangkitan itu sendiri terjadi di luar batas administrasi kota. Selain itu, pengelolaan limbah yang efektif (mengurangi metana dari tempat pembuangan sampah) sangat penting. Proporsi emisi tidak langsung yang tinggi menyoroti keterkaitan aksi iklim perkotaan dengan kebijakan energi nasional dan pengembangan infrastruktur. Hal ini menyiratkan bahwa kebijakan iklim nasional memerlukan strategi yang berbeda untuk provinsi perkotaan versus provinsi pedesaan/kaya sumber daya. Untuk daerah perkotaan, kebijakan mungkin lebih berfokus pada manajemen sisi permintaan, kode bangunan hijau, transportasi umum, dan prinsip ekonomi sirkular untuk limbah, daripada proyek penyerapan berbasis lahan skala besar. Kolaborasi dengan penyedia energi nasional (PLN) juga sangat penting.

4. Provinsi Kalimantan Selatan

Provinsi Kalimantan Selatan menunjukkan komitmen yang kuat dalam penurunan emisi GRK. Laporan Kinerja Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2023 mencatat capaian yang signifikan dalam indikator penurunan emisi.

Tabel 6: Persentase Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi Kalimantan Selatan (2023)

Indikator

Realisasi 2023 (%)

Target 2023 (%)

Capaian Kinerja 2023 (%)

Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca

38.30

22.2

172.52

Sumber: 28

Tabel ini memberikan indikator kinerja tingkat tinggi yang baru-baru ini untuk Kalimantan Selatan, menunjukkan bahwa provinsi tersebut secara signifikan melampaui target penurunan emisi GRK tahun 2023. Ini berfungsi sebagai studi kasus positif, menunjukkan bahwa kemajuan substansial dapat dicapai di tingkat provinsi.

Tingkat pencapaian yang tinggi di Kalimantan Selatan menunjukkan potensi praktik terbaik yang dapat direplikasi. Provinsi ini melaporkan penurunan emisi GRK sebesar 38,30% terhadap target 22,2% pada tahun 2023, menghasilkan pencapaian kinerja sebesar 172,52%.28 Tingkat pencapaian yang tinggi ini menunjukkan program mitigasi yang sangat efektif dan terimplementasi dengan baik, penetapan target awal yang konservatif, atau pengurangan emisi yang signifikan dari sektor emisi utama karena intervensi kebijakan spesifik atau mungkin pergeseran ekonomi. Mengidentifikasi pendorong yang tepat (misalnya, keberhasilan inisiatif REDD+, penerapan energi terbarukan skala besar, atau peningkatan pengelolaan limbah) akan sangat penting. Fakta bahwa Dana REDD+ GCF disalurkan ke delapan provinsi, termasuk Sumatera Utara 29, mengisyaratkan peran pendanaan eksternal dalam beberapa keberhasilan provinsi, meskipun tidak secara langsung disebutkan untuk Kalimantan Selatan dalam materi yang ada. Keberhasilan Kalimantan Selatan menawarkan “praktik terbaik” atau pelajaran berharga bagi provinsi lain yang berjuang untuk mencapai target mereka. Studi rinci tentang strategi, alokasi sumber daya, dan koordinasi pemangku kepentingan dapat memberikan cetak biru untuk mempercepat aksi iklim secara nasional. Hal ini menyiratkan bahwa memfasilitasi pertukaran pengetahuan dan pembelajaran antarprovinsi harus menjadi prioritas bagi pemerintah pusat dan organisasi pendukung.

5. Gambaran Umum Provinsi Lain (Ketersediaan Data)

Selain provinsi-provinsi yang telah disajikan datanya secara spesifik, banyak provinsi lain di Indonesia juga telah menyusun kerangka kebijakan dan laporan terkait upaya penurunan emisi GRK. Namun, ketersediaan data capaian yang terperinci dalam format tabel untuk semua provinsi tidak selalu konsisten dalam materi penelitian yang diberikan.

  • Jawa Tengah:
    Provinsi ini memiliki Peraturan Gubernur Nomor 43 Tahun 2012 tentang Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2020.18 Ini menunjukkan adanya kerangka perencanaan yang telah lama berlaku. Laporan kinerja Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Tengah tahun 2021 menunjukkan capaian Indeks Kualitas Udara (IKU) 87,36 poin dari target 84,2 poin, Indeks Kualitas Tutupan Lahan (IKTL) 60,81 poin dari target 62,9 poin, dan Indeks Kualitas Air (IKA) 52,82 poin dari target 55,2 poin.30 Meskipun indikator kualitas lingkungan hidup tercatat, data spesifik capaian emisi GRK per sektor tidak tersedia dalam materi yang diberikan. Laporan Inventarisasi GRK Kota Magelang (Jawa Tengah) tahun 2020 menunjukkan total emisi GRK sebesar 22.264,54 Gg CO2e, dengan sektor energi sebagai kontributor terbesar, diikuti oleh pengelolaan limbah.31 Ini memberikan gambaran mikro di tingkat kota.
  • Kalimantan Barat:
    Provinsi ini memiliki Peraturan Gubernur Nomor 126 Tahun 2020 tentang Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2020-2030.5 Target penurunan emisi GRK yang ditetapkan adalah 29% secara mandiri dan 41% dengan kerjasama internasional, selaras dengan target nasional.5 Laporan kinerja Ditjen PPKL tahun 2024 menyebutkan capaian Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) nasional, dengan 36 provinsi mencapai target IKLH dan 37 provinsi mencapai target IKU. Namun, data spesifik capaian emisi GRK untuk Kalimantan Barat tidak disajikan.32
  • Sumatera Utara:
    Provinsi ini memiliki Pergub Sumatera Utara Nomor 36 Tahun 2012 tentang Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, dengan target penurunan 24,8% dari BAU hingga tahun 2020, meliputi 5 sektor prioritas: pertanian, kehutanan dan lahan gambut, energi, transportasi, dan limbah.33 Dana REDD+ GCF siap disalurkan untuk delapan provinsi, termasuk Sumatera Utara, untuk program “Membangun Sumatera Utara Hijau”.29 Ini menunjukkan adanya dukungan finansial eksternal yang signifikan untuk upaya mitigasi di provinsi ini.
  • Papua:
    Provinsi Papua telah menyusun Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) untuk periode 2013-2020.21 Dokumen ini bertujuan untuk mengidentifikasi sektor dan kegiatan yang berpotensi sebagai sumber atau serapan emisi GRK, menyusun Reference Emission Level (REL) GRK, mengidentifikasi aksi mitigasi, dan memperkirakan biaya mitigasi.21 Meskipun dokumen RAD-GRK Papua mencakup potensi reduksi emisi dan biaya mitigasi, angka spesifik capaian emisi GRK atau detail implementasi tidak tersedia dalam materi yang diberikan.21
  • Kalimantan Timur:
    Provinsi Kalimantan Timur telah menyusun Dokumen Rencana Kerja Aksi Mitigasi Perubahan Iklim Sub-Nasional dan diakui sebagai Pilot Projek Perubahan Iklim di Indonesia.8 Provinsi ini mengajukan Forest Reference Emission Level (FREL) sebesar 27.469.856,40 ton CO2-e (dihitung dari rata-rata emisi 2006-2016) dan menunjukkan pengurangan emisi sebesar 34.278.664,90 ton CO2-e untuk periode 2019-2020, jauh melampaui target minimum Emission Reductions Payment Agreements (ERPA) sebesar 5 juta ton CO2-e.8 Ini menandakan keberhasilan substansial di sektor FOLU. Data Emisi GRK Prov. Kaltim Tahun 2021-2023 juga tersedia, menunjukkan adanya pemantauan berkelanjutan.34
  • Laporan Penandaan Anggaran Perubahan Iklim (Regional Climate Budget Tagging – RCBT):
    Kementerian Keuangan telah menerbitkan Laporan Anggaran Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Tahun 2018-2020.22 Laporan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menyampaikan hasil penandaan anggaran perubahan iklim kepada publik.22 Kementerian Keuangan juga melanjutkan uji coba penandaan anggaran perubahan iklim di 11 pemerintah daerah pada tahun 2020.10 RCBT merupakan kegiatan penting untuk memonitor dan mengevaluasi komitmen pemerintah daerah terhadap belanja terkait penanganan perubahan iklim.35 Laporan-laporan ini bertujuan untuk menunjukkan kapasitas daerah dalam mendanai kegiatan pengendalian perubahan iklim.10

Ketersediaan data yang heterogen dan tidak konsisten di tingkat provinsi menjadi tantangan signifikan. Data kuantitatif yang spesifik dan terperinci mengenai penurunan atau inventarisasi emisi GRK hanya tersedia untuk sejumlah provinsi terbatas. Sementara itu, untuk banyak provinsi lain, materi yang ada hanya menunjukkan keberadaan dokumen RAD-GRK atau laporan kinerja umum, tanpa data capaian NDC yang terperinci dalam format tabel yang siap pakai. Kondisi ini menyulitkan penilaian nasional yang komprehensif dan akurat terhadap kontribusi sub-nasional terhadap NDC Indonesia. Hal ini menghambat pemantauan, evaluasi, dan dukungan kebijakan yang ditargetkan dari pemerintah pusat, karena sulit untuk mengidentifikasi provinsi mana yang membutuhkan bantuan lebih lanjut atau strategi mana yang paling efektif. Untuk pelaporan internasional, heterogenitas data ini dapat menimbulkan tantangan dalam menunjukkan kemajuan yang transparan dan terverifikasi. Meskipun inisiatif seperti Regional Climate Budget Tagging (RCBT) bertujuan untuk meningkatkan data keuangan, hasil pengurangan emisi langsung di tingkat provinsi masih kurang dilaporkan secara seragam. Untuk memperkuat aksi iklim Indonesia secara keseluruhan dan memenuhi persyaratan transparansi internasional, sangat mendesak untuk meningkatkan mekanisme pengumpulan, standardisasi, dan pelaporan data publik di tingkat provinsi. Hal ini dapat melibatkan peningkatan sistem SIGN-SMART untuk mewajibkan dan memfasilitasi input data provinsi yang lebih rinci dan penyebaran publik.

Meskipun kerangka kebijakan sudah ada, implementasi bervariasi di tingkat provinsi. Keberadaan dokumen RAD-GRK yang luas di berbagai provinsi menegaskan bahwa kerangka kebijakan untuk aksi iklim sub-nasional telah mapan. Namun, meskipun ada kerangka kebijakan yang sama ini, capaian yang dilaporkan sangat bervariasi, mulai dari kinerja yang sangat baik di Kalimantan Selatan hingga pencapaian yang rendah di sektor-sektor tertentu seperti limbah di Jawa Barat. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan kerangka kebijakan tidak secara otomatis menjamin implementasi yang seragam atau efektif di semua wilayah. Tingkat pencapaian yang bervariasi menunjukkan bahwa efektivitas implementasi RAD-GRK dipengaruhi oleh berbagai faktor spesifik provinsi. Ini kemungkinan termasuk perbedaan dalam kapasitas pemerintah daerah (teknis, sumber daya manusia, dan keuangan), kemauan politik dan kepemimpinan, konteks sosial-ekonomi dan lingkungan spesifik masing-masing provinsi, serta tingkat koordinasi antar-sektoral dan keterlibatan pemangku kepentingan. Provinsi dengan kepemimpinan yang kuat dan tim teknis yang mumpuni mungkin berkinerja lebih baik daripada yang lain, bahkan dengan mandat kebijakan yang serupa. Oleh karena itu, meskipun dasar hukum dan perencanaan untuk aksi iklim sub-nasional sudah kuat, upaya di masa depan harus bergeser dari sekadar membuat rencana menjadi secara aktif memperkuat lingkungan yang memungkinkan implementasi yang efektif. Ini termasuk program peningkatan kapasitas yang ditargetkan, mendorong komitmen politik yang kuat di tingkat lokal, memfasilitasi transfer pengetahuan tentang strategi yang berhasil antarprovinsi, dan menetapkan insentif berbasis kinerja untuk memotivasi kemajuan yang konsisten.

IV. Tantangan dan Peluang dalam Implementasi NDC di Tingkat Provinsi

1. Kapasitas Teknis dan Koordinasi Pemerintah Daerah

Implementasi NDC di tingkat provinsi tidak lepas dari berbagai tantangan, terutama yang berkaitan dengan kapasitas internal pemerintah daerah. Salah satu tantangan utama adalah keterbatasan kapasitas pemerintah daerah dalam menyusun dan melaksanakan rencana teknis aksi iklim.12 Ini mencakup kurangnya keahlian dalam inventarisasi GRK, perumusan kebijakan mitigasi dan adaptasi yang spesifik, serta monitoring dan pelaporan. Koordinasi antar sektor di tingkat daerah juga rentan tumpang tindih atau kurang sinergis, yang dapat menghambat efektivitas program. Oleh karena itu, pelatihan teknis dan pendampingan dari pusat diperlukan untuk memperkuat kapasitas ini.12 Dukungan pemerintah daerah dalam penanganan perubahan iklim dimulai dari penyusunan RPJMD yang berwawasan lingkungan, namun tantangan muncul dalam menerjemahkan visi ini menjadi program operasional yang konkret dan terukur.10

2. Peran Pendanaan (Domestik dan Internasional) dan Mekanisme Ekonomi Karbon

Pendanaan adalah tulang punggung implementasi NDC, dan Indonesia menghadapi tantangan besar dalam memobilisasi sumber daya yang memadai. Isu pendanaan implementasi NDC menjadi tantangan besar karena kebutuhannya yang sangat besar.1 Skala investasi yang diperlukan untuk transisi rendah karbon sangat substansial. Sumber pendanaan domestik, khususnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), masih menjadi fokus utama untuk komitmen tanpa syarat hingga 2030.1 Namun, mobilisasi dana publik selama 2007-2019 baru mencapai sepertiga dari proyeksi kebutuhan 2020-2030, menunjukkan perlunya penguatan kemauan politik untuk memobilisasi dana lebih lanjut.1

Inovasi pendanaan melalui instrumen seperti green government bonds (sukuk hijau) dan pajak karbon menjadi opsi yang perlu dipertimbangkan untuk memperluas basis pendanaan.1 Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) merupakan langkah maju dalam kerangka ini.9Dukungan internasional membuka peluang pendanaan dan transfer teknologi, dengan inisiatif seperti

carbon trading atau pembiayaan hijau yang dapat dimanfaatkan daerah.12 Dana REDD+ GCF yang siap disalurkan untuk delapan provinsi (termasuk Sumatera Utara) adalah contoh konkret dari dukungan finansial eksternal ini.29

Kesenjangan pendanaan yang persisten merupakan ancaman kritis terhadap skala dan kecepatan implementasi NDC. Meskipun pemerintah mengakui hal ini dan menjajaki pembiayaan inovatif, pemenuhan komitmen internasional yang lambat (misalnya, target US$100 Miliar) 1 menempatkan beban yang lebih besar pada sumber daya domestik. Keberhasilan mekanisme seperti penetapan harga karbon dan obligasi hijau akan bergantung pada kerangka peraturan yang kuat, kesiapan pasar, dan kemampuan untuk menarik investasi swasta. Hal ini menyiratkan perlunya strategi pembiayaan iklim yang komprehensif yang mengintegrasikan sumber daya publik, swasta, dan internasional, dengan mekanisme yang jelas untuk menyalurkan dana ke aksi di tingkat provinsi. Pendanaan yang tidak memadai dapat menyebabkan penundaan dalam proyek mitigasi dan adaptasi yang penting, yang berpotensi menyebabkan Indonesia gagal mencapai target NDC-nya. Penekanan pada pendanaan domestik untuk komitmen tanpa syarat berarti bahwa kebijakan fiskal nasional dan penganggaran pemerintah daerah harus semakin responsif terhadap iklim. Selain itu, pengembangan pasar karbon yang kuat (IDXCarbon) 37 adalah jalan yang menjanjikan, tetapi efektivitasnya akan terikat pada kepastian peraturan yang jelas, keterlibatan pemangku kepentingan, dan kapasitas entitas sub-nasional untuk berpartisipasi.

3. Integrasi Kearifan Lokal dan Partisipasi Masyarakat

Keberhasilan implementasi aksi iklim sangat bergantung pada keterlibatan aktif seluruh lapisan masyarakat dan pemanfaatan kearifan lokal. Aksi iklim tidak akan efektif tanpa partisipasi masyarakat; program seperti penanaman pohon, pengelolaan sampah, atau pertanian rendah emisi perlu disosialisasikan secara masif dan didukung oleh komunitas.12 Peran organisasi masyarakat, kelompok pemuda, atau komunitas adat menjadi vital. Kearifan lokal, seperti sistem pertanian rotasi di Kalimantan yang menjaga kelestarian hutan, dapat diintegrasikan ke dalam strategi NDC daerah untuk solusi yang lebih berkelanjutan dan relevan secara budaya.12

Konteks lokal memiliki peran ganda, baik sebagai tantangan maupun peluang. Keterbatasan kapasitas dan masalah koordinasi di tingkat lokal berarti bahwa kebijakan nasional yang “satu ukuran untuk semua” mungkin tidak efektif. Sebaliknya, kerangka kerja nasional yang fleksibel yang mendorong dan mendukung solusi yang sesuai secara lokal, memanfaatkan pengetahuan adat dan partisipasi masyarakat, sangat penting. Integrasi kearifan lokal dapat meningkatkan relevansi, kepemilikan, dan keberlanjutan aksi iklim, menjadikannya lebih efektif dan peka budaya. Hal ini menyiratkan bahwa peningkatan kapasitas dan bantuan teknis harus disesuaikan dengan kebutuhan spesifik provinsi dan berfokus pada pemberdayaan aktor dan institusi lokal. Ini menyoroti pentingnya pendekatan tata kelola yang partisipatif dan adaptif. Strategi iklim nasional harus mendorong inovasi di tingkat lokal dengan mendukung proyek percontohan, memfasilitasi pembelajaran antarprovinsi, dan mengakui beragam jalur menuju pengurangan emisi yang menghormati konteks sosial-budaya dan ekologis lokal. Hal ini dapat menghasilkan hasil iklim yang lebih tangguh dan adil.

V. Kesimpulan dan Rekomendasi

1. Ringkasan Capaian dan Area Prioritas untuk Peningkatan

Indonesia telah menunjukkan komitmen yang kuat terhadap Nationally Determined Contribution (NDC) melalui penetapan target nasional yang ambisius, termasuk Enhanced NDC, dan pengembangan kerangka kebijakan yang melibatkan daerah melalui Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK). Capaian di tingkat provinsi menunjukkan variasi yang signifikan. Beberapa provinsi, seperti Jawa Barat di sektor pertanian dan kehutanan, serta Kalimantan Selatan secara keseluruhan, telah menunjukkan kemajuan substansial dalam penurunan emisi. Namun, sektor lain seperti limbah di Jawa Barat masih menghadapi tantangan besar. Sektor kehutanan dan energi secara konsisten diidentifikasi sebagai pilar utama mitigasi emisi nasional, dan kinerja di provinsi-provinsi dengan potensi besar di sektor ini (misalnya, Riau dan Kalimantan Timur di FOLU) akan sangat menentukan keberhasilan NDC Indonesia secara keseluruhan.

2. Rekomendasi untuk Penguatan Data, Kebijakan, dan Kolaborasi di Tingkat Provinsi

Untuk memastikan pencapaian target NDC Indonesia secara optimal dan berkelanjutan, diperlukan penguatan berkelanjutan di tingkat provinsi. Berikut adalah rekomendasi kunci:

  • Peningkatan Standardisasi dan Transparansi Data:
    Mengembangkan dan mengimplementasikan sistem pelaporan yang lebih terstandardisasi untuk capaian emisi GRK di tingkat provinsi. Hal ini akan memastikan konsistensi dan komparabilitas data antar daerah, yang saat ini masih bervariasi. Pemanfaatan dan optimalisasi sistem informasi seperti Sistem Inventarisasi GRK Nasional (SIGN-SMART) 31 perlu ditingkatkan untuk memfasilitasi pengumpulan data yang lebih granular per provinsi dan sektor, serta memastikan aksesibilitas data bagi publik dan pemangku kepentingan. Analisis yang disajikan menunjukkan heterogenitas data yang signifikan antarprovinsi, sehingga menyulitkan penilaian kemajuan nasional secara akurat dan identifikasi area untuk intervensi. Dengan menstandardisasi pengumpulan dan pelaporan data melalui sistem terpusat seperti SIGN-SMART, pemerintah dapat meningkatkan keandalan dan komparabilitas data provinsi. Peningkatan transparansi ini juga akan memfasilitasi akuntabilitas dan memungkinkan keputusan kebijakan serta alokasi sumber daya yang lebih tepat.
  • Penguatan Kapasitas Teknis Daerah:
    Menyediakan program pelatihan dan pendampingan teknis yang berkelanjutan dan terfokus bagi pemerintah daerah. Pelatihan ini harus mencakup aspek-aspek kunci seperti inventarisasi GRK, penyusunan rencana teknis mitigasi dan adaptasi yang spesifik per sektor, serta prosedur monitoring, pelaporan, dan verifikasi (MRV). Fokus khusus harus diberikan pada sektor-sektor yang masih tertinggal dalam pencapaian target (misalnya, pengelolaan limbah di beberapa daerah).12 Tantangan kapasitas teknis yang terbatas di tingkat lokal secara langsung menghambat implementasi NDC yang efektif. Dengan menyediakan pelatihan yang ditargetkan dan pendampingan berkelanjutan, pemerintah dapat memberdayakan pemerintah daerah untuk mengembangkan dan melaksanakan rencana aksi iklim yang lebih kuat. Dukungan langsung ini mengatasi akar penyebab variabilitas implementasi dan membantu menjembatani kesenjangan antara kebijakan nasional dan pelaksanaan di lapangan.
  • Diversifikasi dan Akses Pendanaan Iklim:
    Mendorong pemerintah daerah untuk lebih proaktif dalam mengidentifikasi dan mengakses sumber pendanaan inovatif. Ini termasuk memanfaatkan skema pembiayaan hijau domestik (seperti sukuk hijau) dan internasional (seperti dana REDD+ GCF yang telah disalurkan ke beberapa provinsi).1 Perlu ada panduan yang jelas dan fasilitasi dari pemerintah pusat untuk membantu daerah menyusun proposal yang kompetitif dan memenuhi persyaratan pendanaan. Kesenjangan pendanaan yang signifikan merupakan hambatan utama untuk meningkatkan aksi iklim. Mengandalkan sepenuhnya pada APBN/APBD konvensional tidak akan cukup. Dengan mendorong provinsi untuk menjajaki mekanisme pembiayaan inovatif dan memberikan dukungan untuk mengaksesnya, pemerintah dapat membuka sumber daya tambahan. Hal ini sejalan dengan strategi nasional untuk memanfaatkan beragam sumber pendanaan dan mengembangkan ekonomi karbon.
  • Peningkatan Sinergi Antar Pemangku Kepentingan:
    Memperkuat koordinasi dan kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan di tingkat lokal, termasuk pemerintah provinsi, kabupaten/kota, dunia usaha/swasta, akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan komunitas adat. Sinergi ini penting untuk memastikan implementasi aksi iklim yang terintegrasi, partisipatif, dan memanfaatkan berbagai keahlian dan sumber daya.12 Variasi kapasitas dan masalah koordinasi di tingkat lokal menunjukkan bahwa kebijakan nasional yang seragam mungkin tidak efektif. Sebaliknya, kerangka kerja nasional yang fleksibel yang mendorong dan mendukung solusi yang sesuai secara lokal, memanfaatkan pengetahuan adat dan partisipasi masyarakat, sangat penting. Integrasi kearifan lokal dapat meningkatkan relevansi, kepemilikan, dan keberlanjutan aksi iklim, menjadikannya lebih efektif dan peka budaya. Hal ini menyoroti pentingnya pendekatan tata kelola yang partisipatif dan adaptif. Strategi iklim nasional harus mendorong inovasi di tingkat lokal dengan mendukung proyek percontohan, memfasilitasi pembelajaran antarprovinsi, dan mengakui beragam jalur menuju pengurangan emisi yang menghormati konteks sosial-budaya dan ekologis lokal.

Daftar Pustaka

  1. POST-GLASGOW PACT FUNDING PRESSURES ON INDONESIA’S NATIONALLY DETERMINED CONTRIBUTION (NDC) IMPLEMENTATION – DPR RI, diakses Juni 15, 2025, https://berkas.dpr.go.id/pusaka/files/info_singkat/Info%20Singkat-XIII-23-I-P3DI-Desember-2021-184-EN.pdf
  2. Indonesia | NDC Partnership, diakses Juni 15, 2025, https://ndcpartnership.org/country/idn
  3. Memantau NDC Kedua Indonesia: Menelaah Lebih Dekat Ambisi dan Kinerja Iklim Indonesia pada Tahun 2024 – IESR, diakses Juni 15, 2025, https://iesr.or.id/memantau-ndc-kedua-indonesia-menelaah-lebih-dekat-ambisi-dan-kinerja-iklim-indonesia-pada-tahun-2024/
  4. STRATEGI PENCAPAIAN NDC 2030 dan LTS LCCR 2050 – IESR, diakses Juni 15, 2025, https://iesr.or.id/wp-content/uploads/2024/01/Strategi-Pencapaian-NDC-2030-dan-LTS-LCCR-2050-Franky-Zamzani.pdf
  5. rencana-aksi-daerah-penurunan-emisi-gas-rumah-kaca-provinsi-kalimantan.pdf – JDIH Kalbar, diakses Juni 15, 2025, https://jdih.kalbarprov.go.id/media/peraturan/2021/rencana-aksi-daerah-penurunan-emisi-gas-rumah-kaca-provinsi-kalimantan.pdf
  6. RENCANA KERJA – Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan …, diakses Juni 15, 2025, https://pktl.menlhk.go.id/assets/img/publication/Renja_Provinsi_-_RIAU.pdf
  7. Indonesia Tingkatkan Ambisi Penurunan Emisi GRK di Enhanced NDC, dari 29 Persen Jadi 31,89 Persen, diakses Juni 15, 2025, https://forestinsights.id/indonesia-tingkatkan-ambisi-penurunan-emisi-grk-di-enhanced-ndc-dari-29-persen-jadi-3189-persen/
  8. RENCANA KERJA – Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, diakses Juni 15, 2025, https://pktl.menlhk.go.id/assets/img/publication/Renja_Provinsi_KALTIM.pdf
  9. Final – Lap Igrk MPV 2023 | PDF | Teknologi & Rekayasa – Scribd, diakses Juni 15, 2025, https://id.scribd.com/document/751758247/Final-lap-Igrk-Mpv-2023
  10. PENANDAAN ANGGARAN PERUBAHAN IKLIM PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2021 – Badan Kebijakan Fiskal, diakses Juni 15, 2025, https://fiskal.kemenkeu.go.id/files/lain-lain/file/LPAPI_Prov-Jawa-Barat-2021.pdf
  11. Laporan Penandaan Anggaran Perubahan Iklim Provinsi Riau …, diakses Juni 15, 2025, https://fiskal.kemenkeu.go.id/files/lain-lain/file/LPAPI_Prov-Riau-2021.pdf
  12. Sinergi Peran Parties-Non Parties dalam Implementasi Strategi NDC – ACTIA, diakses Juni 15, 2025, https://actiaclimate.com/peran-parties-non-parties-implementasi-strategi-ndc/
  13. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, diakses Juni 15, 2025, https://jdih.setkab.go.id/PUUdoc/17288/Perpres0612011
  14. Rencana Aksi Daerah Emisi Gas Rumah Kaca (RAD – GRK) Kota Jambi tahun 2021, diakses Juni 15, 2025, https://bappeda.jambikota.go.id/file/download/rad_grk_kota_jambi_2021_1697418635.pdf
  15. Rencana Aksi Daerah Emisi Gas Rumah Kaca guna – JDIH Kabupaten Muara Enim, diakses Juni 15, 2025, https://jdih.muaraenimkab.go.id/upload/download/011b2273bf912ae8c276d224255b0651_PERBUB%2067.pdf
  16. peraturan gubernur kalimantan timur, diakses Juni 15, 2025, https://jdih.kaltimprov.go.id/produk_hukum/unduh/b0ff0e87-d81e
  17. dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraruran Gubernur tentang Perubahan atas Peraturan Gubemur Sulawesi Selatan Nomor 5, diakses Juni 15, 2025, https://peraturan.bpk.go.id/Home/Download/237458/
  18. Peraturan Gubernur (PERGUB) Provinsi Jawa Tengah Nomor 43 Tahun 2012, diakses Juni 15, 2025, https://peraturan.bpk.go.id/Details/233954/pergub-prov-jawa-tengah-no-43-tahun-2012
  19. Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 43 Tahun 2012 – JDIH Prov. Jateng, diakses Juni 15, 2025, https://jdih.jatengprov.go.id/inventarisasi-hukum/detail/no-43-tahun-2012-2
  20. Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah (RPRKD) Propinsi Jawa Barat, diakses Juni 15, 2025, https://www.un-pageindonesia.org/id/activities/read/workplan/dokumen-rprkd-jawa-barat
  21. PENDAHULUAN – DINAS KEHUTANAN DAN LINGKUNGAN HIDUP …, diakses Juni 15, 2025, https://lingkunganhidup.papua.go.id/gi/fckimage/file/bank%20data/6_%20BAB%20I-GRK.pdf
  22. Laporan Anggaran Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim – Badan Kebijakan Fiskal – Kementerian Keuangan, diakses Juni 15, 2025, https://fiskal.kemenkeu.go.id/files/buku/file/CBT-NATIONAL-2018-2020.pdf
  23. referensi-apbn-public-32.pdf – DPR RI, diakses Juni 15, 2025, https://berkas.dpr.go.id/pa3kn/referensi-apbn/public-file/referensi-apbn-public-32.pdf
  24. PEDOMAN PENANDAAN ANGGARAN PERUBAHAN IKLIM Edisi 2, diakses Juni 15, 2025, https://analisanggaran.id/dokumen/peraturan/1668823238PedomanPenandaanAnggaranPerubahanIklimEdisi2.pdf
  25. Persentase Target dan Capaian Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca …, diakses Juni 15, 2025, https://opendata.jabarprov.go.id/id/dataset/persentase-target-dan-capaian-penurunan-emisi-gas-rumah-kaca-berdasarkan-sektor-prioritas-penanganan-di-provinsi-jawa-barat
  26. Ambisi iklim Indonesia melaju dengan peluncuran inisiatif konservasi dan keberlanjutan hutan serta lahan gambut | Perserikatan Bangsa, diakses Juni 15, 2025, https://indonesia.un.org/id/294020-ambisi-iklim-indonesia-melaju-dengan-peluncuran-inisiatif-konservasi-dan-keberlanjutan-hutan
  27. inventarisasi profil emisi gas rumah kaca provinsi dki jakarta – Dinas …, diakses Juni 15, 2025, https://lingkunganhidup.jakarta.go.id/files/Laporan_Inventarisasi_Emisi_GRK_DKI_Jakarta_2019.pdf
  28. lakip 2023 – PPID UTAMA KALSEL – Provinsi Kalimantan Selatan, diakses Juni 15, 2025, https://ppidutama.kalselprov.go.id/wp-content/uploads/2024/09/LAKIP-2023.pdf
  29. Dukung Pencapaian NDC, Dana REDD+ GCF Siap Disalurkan Untuk Delapan Provinsi, diakses Juni 15, 2025, https://agroindonesia.co.id/dukung-pencapaian-ndc-dana-redd-gcf-siap-disalurkan-untuk-delapan-provinsi/
  30. 2021 – laporan kinerja – Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, diakses Juni 15, 2025, https://ppkl.menlhk.go.id/website/filebox/1069/220221103249LKj%20Ditjen%20PPKL%202021%20(FINAL).pdf
  31. LAPORAN AKHIR – DLH Kota Magelang, diakses Juni 15, 2025, https://dlh.magelangkota.go.id/download/lingkungan/FINAL-Laporan_IGRK_Kota_Magelang_2021.pdf
  32. laporan kinerja 2024 – Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, diakses Juni 15, 2025, https://ppkl.menlhk.go.id/website/filebox/1017/250224112700LKj%20Ditjen%20PPKL%202024_FINAL.pdf
  33. perjanjian kinerja tahun 2022 – Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Kota Medan, diakses Juni 15, 2025, https://dlh.medan.go.id/web/resources/data/dokumen/perjanjian-kinerja-tahun-2022_.pdf
  34. Data Emisi GRK Prov. Kaltim Tahun 2021-2023, diakses Juni 15, 2025, https://data.kaltimprov.go.id/dataset/data-emisi-grk-prov-kaltim-tahun-2021-2023
  35. PENANDAAN ANGGARAN PERUBAHAN IKLIM PROVINSI KALIMANTAN UTARA TAHUN 2021 – Badan Kebijakan Fiskal, diakses Juni 15, 2025, https://fiskal.kemenkeu.go.id/files/lain-lain/file/LPAPI_Prov-Kaltara-2021.pdf
  36. tekanan pendanaan implementasi nationally determined contribution (ndc) indonesia pasca-pakta glasgow – DPR RI, diakses Juni 15, 2025, https://berkas.dpr.go.id/pusaka/files/info_singkat/Info%20Singkat-XIII-23-I-P3DI-Desember-2021-184.pdf
  37. Strategy to Achieve Indonesia’s Nationally Determined Contribution Target by Developing a Sustainable Carbon Market, diakses Juni 15, 2025, https://www.ejbmr.org/index.php/ejbmr/article/view/2494
  38. Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) dan Monitoring, Pelaporan, Verifikasi (MPV) 2021 – Sign Smart – KLHK, diakses Juni 15, 2025, https://signsmart.menlhk.go.id/v2.1/app/frontend/pedoman/detail/44
  39. Sign Smart – KLHK, diakses Juni 15, 2025, https://signsmart.menlhk.go.id/
  40. Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (Grk) Dan Monitoring, Pelaporan, Verifikasi (Mpv) 2023 – Sign Smart – KLHK, diakses Juni 15, 2025, https://signsmart.menlhk.go.id/v2.1/app/frontend/pedoman/detail/100

Pembahasan Seputar NDC

Alamat

Jl. Tebet Utara IIID No. 12 A Jakarta Selatan

Telp

(021) 8353626

Contact Person

Choris Satun Nikmah
chorissatunnikmah@gmail.com