JAKARTA – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Energi Bersih menyatakan menolak energi nuklir dan energi baru berbasis energi fosil dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT). Dalam draf RUU EBT, sumber energi dibagi menjadi dua yaitu sumber energi baru dan sumber energi terbarukan. Nuklir diklasifikasi sebagai sumber energi baru, sementara energi matahari, angin, air, biomassa dan lainnya dikategorikan sebagai sumber energi terbarukan.
Mahawira Singh Dillon, peneliti Yayasan Indonesia Cerah, mengatakan sejumlah alasan yang membuat penggunaan nuklir sebagai sumber energi untuk pembangkit akan sangat berisiko bagi Indonesia. Pertama, secara geografis Indonesia terletak di kawasan Cincin Api (Ring of Fire) yang sangat aktif secara tektonik sehingga rawan bencana gempa bumi dan tsunami.
“Secara geografis, Indonesia tidak ramah nuklir karena berada di Ring of Fire. Kondisi ini sangat berisiko dan berpotensi mengganggu operasional PLTN. Kita semestinya bisa belajar dari kasus PLTN Fukushima di Jepang,” kata Wira dalam diskusi virtual Rabu (23/9). Masih terkait kondisi geografis, penyimpanan limbah Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) juga memerlukan lokasi yang stabil dan kedap air.
Menurut Wira, akan sangat sulit dan berisiko untuk menentukan lokasi penyimpanan limbah nuklir di Indonesia. Perencanaan fasilitas penyimpanan limbah nuklir harus memperhatikan potensi terjadinya kebocoran karena aktivitas tektonik. Bila limbah nuklir sampai bocor ke dalam air tanah, dampaknya akan sangat berbahaya.
Memasukkan nuklir ke dalam RUU EBT dinilai merupakan langkah yang kontraproduktif dengan asas keberlanjutan, ketahanan energi nasional, serta asas kedaulatan dan kemandirian yang dicantumkan sebagai prinsip dasar penyusunan RUU. Hal ini terlihat jelas dari fakta bahwa Indonesia hanya memiliki pasokan uranium untuk mengoperasikan satu pembangkit dengan kapasitas 1.000 MWe selama enam hingga tujuh tahun. Selengkapnya